Cerpen

Pengemis yang Kelima

Ahad, 4 September 2022 | 07:00 WIB

Pengemis yang Kelima

Ilustrasi

Dia adalah pengemis kelima yang kutemui hari ini. Dia tidak seperti pengemis sebelumnya. Pengemis sebelumnya dengan tanpa ragu datang meminta uang kepadaku. Aku tidak yakin, apakah dia seorang pengemis. Atau jangan-jangan dia hanya sedang melepas lelah di jembatan penyeberangan. Tidak ada gelas air mineral berisi uang koin, yang ada hanya sebungkus nasi kotak tergeletak di sampingnya.


Cukup lama aku diliputi kebimbangan, apakah akan memberikan uang atau tidak. Aku takut jika memberikan uang, ternyata dia bukan pengemis, lalu ia merasa tersinggung. Tidak cukup sampai di situ, kemudian ia mengucapkan sumpah serapah. Itulah hal yang membuat aku takut.


Sementara itu, para pegawai kantoran yang lalu lalang hendak pulang ke rumah silih berganti menyeberang. Tampaknya, mereka tidak peduli dengan kehadiran pengemis tersebut. Justru akulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Setiap pegawai kantor yang lewat di jembatan penyeberangan tersebut pasti menatap kepadaku, lalu memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki.


Mereka mungkin bertanya-tanya, ada apa gerangan seorang pemuda dengan rambut gondrong melamun di tengah jembatan penyeberangan. Mungkinkah ia sedang putus cinta, atau putus asa karena tidak kunjung juga mendapatkan pekerjaan.


Aku tidak peduli dengan tatapan para pegawai kantoran yang memandangku dengan tatapan semacam itu. Pikiranku terus berkecamuk di antara dua pilihan, apakah akan memberikan uang kepada pengemis yang kelima, atau justru sebaliknya.


Dalam kondisi dilema semacam itu, aku jadi teringat petuah dari kaiku sewaktu aku masih mondok dulu.


"Kalau ada pengemis, ya berikanlah seribu atau dua ribu. Ya, memang sekarang itu banyak sekali pengemis, tetapi rumahnya gedongan. Jangan hal itu yang kalian pikirkan, seribu atau dua ribu yang kalian berikan tidak akan membuat kalian miskin, begitu juga sebaliknya tidak akan membuat mereka kaya. Berpikirlah positif, siapa tahu mereka adalah golongan orang-orang yang arif," begitulah kata kiaku.


Hal yang mirip pernah diungkapkan oleh kakekku. Aku masih ingat betul, sewaktu kakek masih hidup, setiap kali bertemu dengan pengemis pasti dia akan memberikan uang. Ibu juga mewarisi sifat kakek, dia akan melakukan hal serupa jika bertemu dengan pengemis.


Lain halnya dengan bapak, dia justru kebalikan dari ibu. Waktu itu aku sedang membantu bapak berjualan bakso, pengemis datang dan pergi silih berganti ke warung bakso. Setiap pengemis yang datang aku berikan uang seribu rupiah.


Melihat itu, bapak menegurku, "Pengemis di sekitar sini orang-orang mampu, bahkan punya rumah mewah. Itulah sebabnya bapak tidak pernah memberikan uang kepada mereka. Anak-anak bayi yang para pengemis itu bawa bukanlah anak mereka, melainkan menyewa dari orang lain."


***


Sudah 30 menit aku berpikir, namun belum menemui titik terang. Di saat berpikir itulah ingatanku flashback ke masa lalu. Aku jadi teringat, dulu adik dari kakekku pernah sakit parah. Tetapi anehnya ketika diperiksakan ke dokter tidak ada penyakitnya. Kondisinya normal. Kemudian dibawalah ke ahli ilmu kebatinan. Dan, apa hasilnya? Katanya, penyebabnya adalah adik dari kakekku tidak memedulikan pengemis yang datang ke rumah. Dia akan sembunyi ketika ada pengemis yang datang.


Lain halnya dengan adik kakekku, sepupu ayahku memiliki cerita lain perihal pengemis. Begini ceritanya: Awalnya ia membuka rumah makan kecil. Akan tetapi tempatnya tidak strategis, yaitu masuk ke dalam gang. Omsetnya pun tidaklah besar, bahkan justru sering masakannya tidak habis.


Pada suatu sore dia kedatangan seorang pengemis tua, pengemis tua tersebut meminta makan. Maka dilayanilah dengan baik pengemis tersebut oleh sepupu ayahku. Setelah selesai makan, pengemis tersebut bercerita bahwa tadi dia meminta makan di warung sate, akan tetapi justru malah diusir.


Sebelum pamit, pengemis tua tersebut memberikan uang seribu rupiah kepada sepupu ayahku. Awalnya sepupu ayahku menolak, akan tetapi pengemis tua tersebut langsung lari keluar. Begitu dikejar, pengemis tua tersebut sudah hilang tanpa jejak. Oleh sepupu ayahku, uang tersebut lalu disimpan. Semenjak saat itu, rumah makan sepupu ayahku menjadi besar, dan memiliki banyak cabang. Sementara warung makan sate yang mengusir pengemis tua, menjadi bangkrut.


Setelah cukup lama berpikir, aku pun memutuskan untuk memberikan uang kepada pengemis di jembatan penyeberangan itu. Kantong saku pun aku rogoh. Akan tetapi tidak ada uang receh. Hanya ada satu lembar lima puluh ribu rupiah. Aku kembali dilema, jika uang itu diberikan semua, lalu aku akan makan apa? Sementara honor dari menulis baru akan cari satu minggu lagi.


Maka aku memutuskan: Aku akan kembali lagi ke jembatan penyeberangan esok hari, dan akan memberikan uang kepada pengemis tersebut. Aku pun berjalan menuju ke halte busway, hendak pulang ke kosan. Tanpa sengaja di dalam busway aku bertemu dengan pengemis kesatu, pengemis kedua, pengemis ketiga, dan pengemis keempat. Penampilan mereka sangat berbeda sekali. Kini mereka memakai kemeja, rambutnya pun disisir rapi. Berbeda sekali dengan waktu siang tadi, ketika mereka masih menjadi pengemis.


Dalam hati, aku begitu jengkel mengetahui kebenaran itu. Seperti kata orang-orang bahwa penyesalan itu datang di akhir. Tidak seharusnya aku memberikan uang kepada pengemis satu, pengemis dua, pengemis tiga, dan pengemis keempat. Seharusnya aku memberikan uang kepada pengemis kelima.


Sesampainya di kosan, begitu merogoh kantong saku, uang lima puluh ribu sudah tidak ada. Berlipat-lipatlah rasa penyesalanku ini. Mau tidak mau, aku meminjam uang kepada kawanku, Luki. Kepada Luki aku menceritakan apa yang tadi kualami.


"Aku kan sudah sering bilang ke kamu, jangan percaya dengan para pengemis. Kebanyakan dari mereka itu kaya-kaya. Rumahnya besar, punya mobil, tabungannya banyak," kata Luki.

 

Keesokan harinya aku kembali ke jembatan penyeberangan tersebut untuk mencari pengemis kelima. Akan tetapi, tetap saja aku tidak menemukannya. Selama seminggu aku datang ke jembatan penyeberangan untuk mencari pengemis kelima. Namun aku tidak menemukannya.


Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah, mahasiswa Psikologi UIN Jakarta, kontributor NU Online. Malik menulis sejumlah cerpen dan esai yang tersebar di beberapa media online. Karyanya yang telah dibukukan berjudul 'Catatan Mistis'.