Cerpen

Percakapan Ibu

Jumat, 23 Maret 2018 | 21:00 WIB

Percakapan Ibu

Abstract Mother Child Hand dari vkalart.com

Oleh Aksan Taqwin Embe

Papa meneleponku agar aku segera pulang lima hari sebelum lebaran. Segera mungkin aku menghentikan adukan kopi yang sebermula sudah kurencanakan sampai tiga puluh tiga kali putaran ke arah jarum jam. Konon rasa kopi akan semakin berkualitas jika adukannya sampai tiga puluh tiga kali.

Aku mengamini dari kawanku. Sebab, aku merasakan betul kualitas kopi setelah aku mengaduknya dengan tepat dan mengingat wajah kekasihku. Kekasih yang datang dan memukaudiriku sedari dini. Ah, ini hanyalah sugesti! Kau tak perlu percaya.

Aku bergegas menuju meja kerja. Mengemas seluruh dokumen yang sudah kurapikan sebelumnya. Untung saja. Kalau saja aku mendengar kalimat Jose bahwa pekerjaan bisa diulur sampai dua atau tiga hari sebelum cuti, pasti aku akan kesulitan mengerjakan satu demi satu rekapan administrasi rumah sakit yang begitu besar. Ketika papa meneleponku mengabarkan bahwa ibu sedang sakit, tubuhku menggigil selaksa anggur-anggur yang di petik kemudian diperas-peras sebelum matahari terbit.

“Silakan, semoga Tuhanmu memberikan keajaiban untuk ibumu. Semoga Lebaranmu membahagiakan”

Sekitar lima belas menit aku berbicara dengan manajer rumah sakit Traumacare di kota Gija’. Aku mengambil cuti lebih awal, pulang seminggu sebelum lebaran. Aku sudah membayangkan melepas kerinduanku bersama mereka. Menikmati secangkir kopi robva yang di petik langsung ketika matahari terbenam. Kopi-kopi yang tumbuh dari belakang rumah. Kopi-kopi yang menyesakkan, juga melegakan ingatan-ingatan yang.…

Daun-daun di tepian jalanan rumah sakit berguguran. Bus yang kutumpangi menuju bilangan Roscit melaju kencang. Jalanan Gija’ sangat lenggang. Barangkali orang-orang sudah lebih dulu pulang kampung atau ke tempat lain untuk berlibur menyambut lebaran dan tahun baru. Iya, seperti aku. Pasti dengan segelung kepentingan dan harapan yang berbeda-beda.

“Bagaimana kondisi ibu?”

“Ia sedang istirahat.”

Aku membuka sepertiga pintu kamar secara hati-hati. Aku melihat ibu tertidur pulas. Sepertinya ia menanggung beban yang sangat berat. Entah, aku tidak tahu apa yang diderita saat ini.

Ibu adalah perempuan yang sangat pendiam di rumah ini. Tidak banyak bicara. Tidak banyak mengeluh. Tapi ketika aku melakukan kesalahan yang sangat besar, ia bisa murka memecah perkapungan. Orang-orang akan berdatangan untuk meredamkan dadanya. Setelah itu, ibu akan mendiamiku selama dua hari, tiga hari, bahkan sampai berminggu-minggu.

“Jangan kau ganggu ibumu dulu. Mandilah, setelah itu kau istirahat. Wajahmu nampak lelah”

Esoknya aku masih melihat ibu tidak berdaya. Wajahnya pasi. Aku pelan-pelan memasuki kamarnya. Duduk di tepinya. Aku mengelus-elus rambutnya. Ada cahaya gemerlap yang terpantul dari rambutnya ke mataku. Cahaya yang nampak bahwa sepertinya senja akan segera pecah.

Ibuku terbangun dengan wajah yang seperti biasa. Seperti apa yang kujelaskan sebelumnya. Selayaknya wajah orang-orang yang pendiam. Seperti menyimpan dendam, padahal di kedalaman hatinya mengalir sungai-sungai kebaikan.

“Kapan kau datang?”

“Semalam, Bu. Bagaimana kabar ibu?”

“Beginilah. Ibu masih lemas.”

“Apa kata dokter?”

“Ibu terserang darah tinggi”

“Ibu harus menjaga kesehatan. Mengatur makanan yang layak dimakan untuk kesehatan ibu”

Percakapan kami tiba-tiba terhenti ketika Paman Bert dan Bibi Nda datang memasuki kamar. Mereka datang bersama dua anaknya; Resta dan Iney. Rumah itu mendadak riuh. Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengan mereka. Anaknya yang bernama Resta berusia tujuh tahun. Iney berusia lima tahun. Sepupu-sepupu yang sangat menggemaskan.

Ibu pelan-pelan bangkit atas bantuan papa. Kali ini wajah ibu merekah, matanya mencair seperti sungai yang mengalir. Air yang keluar dari dua matanya menetes pelan-pelan dari dagunya. Inilah harapan ibu. Didatangi saudaranya yang sangat dirindukan. Apakah harus sakit dulu baru mereka datang menemui ibu? Ah, seperti yang sudah kukatakan di awal setiap manusia memiliki kepentingan dan harapan yang bebeda-beda.

“Bagaimana kabarmu, Kak?”

“Sudah lebih baik dari sebelumnya”

“Kami berencana merayakan lebarandan tahun baru di sini”

“Sungguh?”

“Iya”

Bi Nda adalah saudara ibu satu-satunya. Mereka yatim piatu semenjak sudah memiliki kehidupan masing-masing dan membangun keluarga seperti harapannya. Sebenarnya mereka sangat akur. Karena jarak kota yang memutus sangat jauh, berkunjung pun harus membutuhkan persiapan waktu dan uang yang sangat teratur.

“Anak-anak libur panjang. Kali ini suamiku juga mengambil cuti lumayan panjang. Barangkali kami di sini bisa sampai seminggu setelah lebaran”

Bi Nda mengusap-usap kepala ibu. Mengusap air mata ibu. Memeluk secara lembut. Kemudian menggenggam jemarinya.

Kebahagiaan ibu kali itu ikut serta kunikmati, begitu juga papa. Barangkali yang ada di dalam batin ibu adalah merayakan hari-hari bahagia bersama saudara adalah mengupas ingatan-ingatan masa lampau.

“Demi Tuhan, aku sangat bahagia atas kedatangan kalian, Nda. Rupanya doa-doa kebaikanku telah sampai ke semesta. Esok ketika aku sudah sedikit baik, kita berkunjung ke surau. Aku ingin menembus ingatan-ingatan kita semasa lampau. Semasa kita kecil dulu bersama mama dan papa. Aku rindu….”

“Sungguh, maafkanlah aku, Kak. Aku tak pernah banyak waktu untuk mengunjungimu. lebaran sebelumnya kami menghabiskan waktu di rumah ayahnya anak-anak. Kau tahu bukan betapa jauhnya rumah suamiku?”

“Sudahlah. Aku memahami dan memaklumi itu semua. Yang terpenting adalah kita sudah berkumpul di sini. Semoga lebaran kali ini lebih sempurna dan semakin sempurna dari…”

Sungai di mata ibu kembali mengalir. Semakin deras dan semakin…

“Kau kenapa lagi, Kak”

“Ingatan-ingatan ini selalu melintas menjelang lebaran, adikku. Aku teringat dengan papa dan mama ketika hari-hari seperti ini. Papa akan sibuk menghias dinding dengan ketupatlebaran. Sementara mama akan dipersibukan membuat kue dan hidangan-hidangan lezat kesukaan kita”

“Itu juga kerap terlintas di pikiranku”

“Semoga ia tenang di surga yang paling membahagiakan”

“Aamiin”

***

“Ada seorang tentara yang ingin melamarmu!”

Percakapan ibu ketika di meja makan itu membuat kami tertegun. Ibu sudah lebih baik dan semakin baik dari hari sebelumnya. Papa hanya diam meski ia tahu segalanya. Sebab di rumah itu segala keputusan apapun berada di tangan ibu. Harus, harga mati!

“Namanya Ben Sephtiane. Anak kawan ibu ketika SMA dulu”

Aku merundukkan kepala. Mengambil celah, sebisa mungkin agar tidak menyingung atau menyakiti hati ibu dalam kalimat per- kalimat yang akan kuucapkan.

“Anaknya bagaimana, Bu?”

“Baik, santun….”

Di kampungku, seorang dokter atau perawat akan menjadi terhormat ketika sudah dinikahi oleh perwira. Aku tidak bisa membayangkan hidup bersama orang yang kucintai kemudian ditinggal pergi berbulan-bulan. Bahkan ketika aku menunggu kedatangannya, hanyalah mayat yang kuterima. Oh Tuhan….

“Terimalah. Ini adalah mimpi kami. Ini adalah kebahagiaan kami.”

Ibuku tidak memberikanku waktu barang sekalipun untuk berpikir. Jusru aku menyangka bahwa ini adalah jebakan bagiku. Ibuku berpura-pura sakit agar aku bisa pulang lebih dulu, kemudian menikah dengan lelaki yang sama sekali tak kukenal setelah lebaran. Aku masih ingin menikmati hidupku. Bukankah ibu tahu kalau aku sedang berpacaran dengan lelaki bertubuh jangkung pemanen kopi tetangga sebelah?

Iya, kehormatan yang lebih baik. Itulah yang selalu mendiami harapan ibu.

“Malam lebaran ia akan kemari.”

“Secepat itu?”

“Tidak usah membantah. Aku yakin ini terbaik untukmu”

Daun-daun berguguran di depan rumah. Burung-burung kecil hitam terbang berhamburan dari surau seberang rumah. Terbang pelan-pelan menghampiri pohon depan rumah yang menggugurkan daun-daunnya. Orang-orang menyebutnya itu adalah burung suci. Burung yang akan mati ketika menyentuh tanah. Burung yang mampu menyambar seketika kapanpun yang ia anggap musuh.

Aku masih diam. Hari-hari berikutnya kondisi ibu semakin parah. Entah apalagi yang dipikirkan atau dideritanya. Aku belum mengambil keputusan atau mengiyakan keputusan ibu. Tapi nyatanya Tuhan sangat sayang ibu. Ia mengajaknya naik ke semesta dua hari sebelum lelaki itu melamarku.

***

 

Tangerang, 30 Desember 2017


Catatan kaki:

1. Kota Gija’ adalah sebuah kota imajinasi penulis yang dijuluki dengan kota pendidikan terbesar. Mayoritas penduduknya adalah, peternak domba dan pemeras anggur yang difermentasikan menjadi wine.

2. Kota Roscit adalah bilangan kecil yang masuk dalam keperintahan kota Gija’. Penduduknya mayoritas petani kopi.


Penulis termasuk 15 penulis terpilih yang diundang dalam perhelatan internasional Ubud Writers and Readers Festival 2017.

Buku kumpulan cerpennya bertajuk Gadis Pingitan.



Terkait