Oleh Aksan
Taqwin Embe
Papa meneleponku agar
aku segera pulang lima hari sebelum lebaran. Segera mungkin aku menghentikan
adukan kopi yang sebermula sudah kurencanakan sampai tiga puluh tiga kali
putaran ke arah jarum jam. Konon rasa kopi akan semakin berkualitas jika
adukannya sampai tiga puluh tiga kali.
Aku mengamini dari
kawanku. Sebab, aku merasakan betul kualitas kopi setelah aku mengaduknya
dengan tepat dan mengingat wajah kekasihku. Kekasih yang datang dan memukaudiriku
sedari dini. Ah, ini hanyalah sugesti! Kau tak perlu percaya.
Aku bergegas menuju
meja kerja. Mengemas seluruh dokumen yang sudah kurapikan sebelumnya. Untung
saja. Kalau saja aku mendengar kalimat Jose bahwa pekerjaan bisa diulur sampai
dua atau tiga hari sebelum cuti, pasti aku akan kesulitan mengerjakan satu demi
satu rekapan administrasi rumah sakit yang begitu besar. Ketika papa
meneleponku mengabarkan bahwa ibu sedang sakit, tubuhku menggigil selaksa
anggur-anggur yang di petik kemudian diperas-peras sebelum matahari terbit.
“Silakan, semoga Tuhanmu memberikan keajaiban untuk ibumu.
Semoga Lebaranmu membahagiakan”
Sekitar lima belas
menit aku berbicara dengan manajer rumah sakit Traumacare di kota Gija’.
Aku mengambil cuti lebih awal, pulang seminggu sebelum lebaran. Aku sudah
membayangkan melepas kerinduanku bersama mereka. Menikmati secangkir kopi robva
yang di petik langsung ketika matahari terbenam. Kopi-kopi yang tumbuh dari
belakang rumah. Kopi-kopi yang menyesakkan, juga melegakan ingatan-ingatan
yang.…
Daun-daun di tepian
jalanan rumah sakit berguguran. Bus yang kutumpangi menuju bilangan Roscit
melaju kencang. Jalanan Gija’ sangat lenggang. Barangkali orang-orang sudah
lebih dulu pulang kampung atau ke tempat lain untuk berlibur menyambut lebaran
dan tahun baru. Iya, seperti aku. Pasti dengan segelung kepentingan dan harapan
yang berbeda-beda.
“Bagaimana kondisi
ibu?”
“Ia sedang istirahat.”
Aku membuka sepertiga
pintu kamar secara hati-hati. Aku melihat ibu tertidur pulas. Sepertinya ia menanggung
beban yang sangat berat. Entah, aku tidak tahu apa yang diderita saat ini.
Ibu adalah perempuan
yang sangat pendiam di rumah ini. Tidak banyak bicara. Tidak banyak mengeluh.
Tapi ketika aku melakukan kesalahan yang sangat besar, ia bisa murka memecah
perkapungan. Orang-orang akan berdatangan untuk meredamkan dadanya. Setelah
itu, ibu akan mendiamiku selama dua hari, tiga hari, bahkan sampai
berminggu-minggu.
“Jangan kau ganggu
ibumu dulu. Mandilah, setelah itu kau istirahat. Wajahmu nampak lelah”
Esoknya aku masih
melihat ibu tidak berdaya. Wajahnya pasi. Aku pelan-pelan memasuki kamarnya.
Duduk di tepinya. Aku mengelus-elus rambutnya. Ada cahaya gemerlap yang
terpantul dari rambutnya ke mataku. Cahaya yang nampak bahwa sepertinya senja
akan segera pecah.
Ibuku terbangun dengan
wajah yang seperti biasa. Seperti apa yang kujelaskan sebelumnya. Selayaknya
wajah orang-orang yang pendiam. Seperti menyimpan dendam, padahal di kedalaman
hatinya mengalir sungai-sungai kebaikan.
“Kapan kau datang?”
“Semalam, Bu. Bagaimana
kabar ibu?”
“Beginilah. Ibu masih
lemas.”
“Apa kata dokter?”
“Ibu terserang darah
tinggi”
“Ibu harus menjaga
kesehatan. Mengatur makanan yang layak dimakan untuk kesehatan ibu”
Percakapan kami
tiba-tiba terhenti ketika Paman Bert dan Bibi Nda datang memasuki kamar. Mereka
datang bersama dua anaknya; Resta dan Iney. Rumah itu mendadak riuh. Sudah
hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengan mereka. Anaknya yang bernama Resta
berusia tujuh tahun. Iney berusia lima tahun. Sepupu-sepupu yang sangat
menggemaskan.
Ibu pelan-pelan bangkit
atas bantuan papa. Kali ini wajah ibu merekah, matanya mencair seperti sungai
yang mengalir. Air yang keluar dari dua matanya menetes pelan-pelan dari
dagunya. Inilah harapan ibu. Didatangi saudaranya yang sangat dirindukan.
Apakah harus sakit dulu baru mereka datang menemui ibu? Ah, seperti yang sudah
kukatakan di awal setiap manusia memiliki kepentingan dan harapan yang
bebeda-beda.
“Bagaimana kabarmu,
Kak?”
“Sudah lebih baik dari
sebelumnya”
“Kami berencana merayakan
lebarandan tahun baru di sini”
“Sungguh?”
“Iya”
Bi Nda adalah saudara
ibu satu-satunya. Mereka yatim piatu semenjak sudah memiliki kehidupan
masing-masing dan membangun keluarga seperti harapannya. Sebenarnya mereka
sangat akur. Karena jarak kota yang memutus sangat jauh, berkunjung pun harus
membutuhkan persiapan waktu dan uang yang sangat teratur.
“Anak-anak libur
panjang. Kali ini suamiku juga mengambil cuti lumayan panjang. Barangkali kami
di sini bisa sampai seminggu setelah lebaran”
Bi Nda mengusap-usap
kepala ibu. Mengusap air mata ibu. Memeluk secara lembut. Kemudian menggenggam
jemarinya.
Kebahagiaan ibu kali
itu ikut serta kunikmati, begitu juga papa. Barangkali yang ada di dalam batin
ibu adalah merayakan hari-hari bahagia bersama saudara adalah mengupas
ingatan-ingatan masa lampau.
“Demi Tuhan, aku sangat
bahagia atas kedatangan kalian, Nda. Rupanya doa-doa kebaikanku telah sampai ke
semesta. Esok ketika aku sudah sedikit baik, kita berkunjung ke surau. Aku
ingin menembus ingatan-ingatan kita semasa lampau. Semasa kita kecil dulu
bersama mama dan papa. Aku rindu….”
“Sungguh, maafkanlah
aku, Kak. Aku tak pernah banyak waktu untuk mengunjungimu. lebaran sebelumnya
kami menghabiskan waktu di rumah ayahnya anak-anak. Kau tahu bukan betapa
jauhnya rumah suamiku?”
“Sudahlah. Aku memahami
dan memaklumi itu semua. Yang terpenting adalah kita sudah berkumpul di sini.
Semoga lebaran kali ini lebih sempurna dan semakin sempurna dari…”
Sungai di mata ibu
kembali mengalir. Semakin deras dan semakin…
“Kau kenapa lagi, Kak”
“Ingatan-ingatan ini
selalu melintas menjelang lebaran, adikku. Aku teringat dengan papa dan mama
ketika hari-hari seperti ini. Papa akan sibuk menghias dinding dengan
ketupatlebaran. Sementara mama akan dipersibukan membuat kue dan
hidangan-hidangan lezat kesukaan kita”
“Itu juga kerap
terlintas di pikiranku”
“Semoga ia tenang di
surga yang paling membahagiakan”
“Aamiin”
***
“Ada seorang tentara
yang ingin melamarmu!”
Percakapan ibu ketika
di meja makan itu membuat kami tertegun. Ibu sudah lebih baik dan semakin baik
dari hari sebelumnya. Papa hanya diam meski ia tahu segalanya. Sebab di rumah
itu segala keputusan apapun berada di tangan ibu. Harus, harga mati!
“Namanya Ben Sephtiane.
Anak kawan ibu ketika SMA dulu”
Aku merundukkan kepala.
Mengambil celah, sebisa mungkin agar tidak menyingung atau menyakiti hati ibu
dalam kalimat per- kalimat yang akan kuucapkan.
“Anaknya bagaimana,
Bu?”
“Baik, santun….”
Di kampungku, seorang
dokter atau perawat akan menjadi terhormat ketika sudah dinikahi oleh perwira.
Aku tidak bisa membayangkan hidup bersama orang yang kucintai kemudian
ditinggal pergi berbulan-bulan. Bahkan ketika aku menunggu kedatangannya,
hanyalah mayat yang kuterima. Oh Tuhan….
“Terimalah. Ini adalah
mimpi kami. Ini adalah kebahagiaan kami.”
Ibuku tidak
memberikanku waktu barang sekalipun untuk berpikir. Jusru aku menyangka bahwa
ini adalah jebakan bagiku. Ibuku berpura-pura sakit agar aku bisa pulang lebih
dulu, kemudian menikah dengan lelaki yang sama sekali tak kukenal setelah
lebaran. Aku masih ingin menikmati hidupku. Bukankah ibu tahu kalau aku sedang
berpacaran dengan lelaki bertubuh jangkung pemanen kopi tetangga sebelah?
Iya, kehormatan yang
lebih baik. Itulah yang selalu mendiami harapan ibu.
“Malam lebaran ia akan
kemari.”
“Secepat itu?”
“Tidak usah membantah.
Aku yakin ini terbaik untukmu”
Daun-daun berguguran di
depan rumah. Burung-burung kecil hitam terbang berhamburan dari surau seberang rumah. Terbang pelan-pelan menghampiri pohon depan
rumah yang menggugurkan daun-daunnya. Orang-orang menyebutnya itu adalah burung
suci. Burung yang akan mati ketika menyentuh tanah. Burung yang mampu menyambar
seketika kapanpun yang ia anggap musuh.
Aku masih diam.
Hari-hari berikutnya kondisi ibu semakin parah. Entah apalagi yang dipikirkan
atau dideritanya. Aku belum mengambil keputusan atau mengiyakan keputusan ibu.
Tapi nyatanya Tuhan sangat sayang ibu. Ia mengajaknya naik ke semesta dua hari
sebelum lelaki itu melamarku.
***
Tangerang, 30 Desember 2017
Catatan kaki:
1. Kota Gija’ adalah
sebuah kota imajinasi penulis yang dijuluki dengan kota pendidikan terbesar.
Mayoritas penduduknya adalah, peternak domba dan pemeras anggur yang
difermentasikan menjadi wine.
2. Kota Roscit adalah
bilangan kecil yang masuk dalam keperintahan kota Gija’. Penduduknya mayoritas
petani kopi.
Penulis termasuk 15 penulis terpilih yang diundang dalam perhelatan internasional Ubud Writers and Readers Festival 2017.
Buku kumpulan cerpennya bertajuk Gadis Pingitan.