Yogyakarta memang kota kenangan. Banyak orang yang menyimpan rapi kenangan manisnya di hati masing-masing. Kenangan di kota ini masih saja tersimpan di bilik ingatan meski sudah lama telah kembali ke kampung halaman. Mungkin juga kamu. Kamu perempuan santri dari Jawa Timur yang pernah belajar di salah satu perguruan tinggi kota ini. Kamu yang datang dari kultur sederhana dan <>apa adanya. Kamu yang ramah dan murah senyum juga sedikit pemalu. Kamu yang di kampung halamanmu tidak bisa bebas bergaul dengan lawan jenismu. Dan kamu yang sekarang telah mengenal lelaki di kota ini. Yogyakarta.
Kamu, perempuan santri yang taat beragama, suatu hari bercerita kepadaku tentang lelaki itu. Lelaki yang mampu mengendurkan keajegan hatimu. Lelaki yang sering memberimu buku-buku bacaan. Lelaki yang sering mengajakmu diskusi. Lelaki dengan pemikiran-pemikiran dan argumentasinya yang bisa membuatmu menelan ludah. Lelaki yang dengan sikap lembut-tegasnya mampu membuatmu terkesan. Lelaki yang membuatmu mengakui kalau kamu tidak hanya sebatas mengagumi, lebih dari itu, jatuh. Jatuh cinta.
Malam itu, seusai aku membuat puisi untuk Tuhanku, Yesus, kamu datang. Kamu bercerita, bahwa saat bersamanya di sebuah warung kopi, abahmu menelfon. Menanyakan kabarmu dan keberadaanmu. Kamu bilang, saat itu kamu begitu bingung. Karena tak mungkin kamu mengatakan dimana kamu berada waktu itu--di sebuah warung kopi yang dipenuhi kerumunan mahasiswa yang didominasi laki-laki. Warung kopi di malam hari--, tapi berbohong pada abah, kamu juga tidak berani. Tidak bisa. Dalam perbincangan via telfon itu, kamu mendengar sayup-sayup para santri di rumahmu sedang melantunkan bait-bait Alfiyah serempak. Lama-lama suara abah putus-putus. Signal berpihak padamu. Tiba-tiba sambungan putus.
Berkali-kali kamu bersyukur. Lalu, sebelum kembali ke kamarmu, kamu masih sempat menceritakan padaku tentang diskusimu malam ini dengan lelaki pujaanmu itu. Katamu tentang peran santri pada kemerdekaan Indonesia. Juga tentang menjadi NU adalah menjadi Indonesia. Dan sebelum matamu benar-benar terkatup, sayup-sayup masih kudengar kamu menyebut-nyebut seorang Kiai Kauman. Kamu tertidur dengan senyum yang anggun.
Kabar terakhir tentangmu yang kudengar adalah bahwa lelakimu benar-benar serius. Dia bertandang ke rumahmu. Melewati gapura pondok pesantrenmu yang kokoh berdiri semenjak pra-kemerdekaan Indonesia. Abah-ummimu menyambut senang. Mungkin sekarang kamu sudah memiliki bayi-bayi mungil. Ah! Aku jadi teringat mimpimu. Katamu kala itu, kalau anakmu laki-laki akan kamu beri nama Hasyim Asy’ari agar… mm.. tabarrukan kalau tidak salah. Kamu juga ingin supaya anak itu memiliki sifat yang rendah hati. Mmm… tawadhu’, bahasamu waktu itu.
Ah! mengingatmu aku jadi lupa pada larutnya malam. Sebelum kumatikan lampu untuk bersiap tidur, sempat kulirik Alkitabku di atas cermin rias. Besok Minggu. Bersua Tuhan.
Sepulang dari gereja, kubuka kotak surat di depan kost. Darimu. Aku senyum-senyum sampai masuk kamar. Lekas kubuka suratmu ini Syamsiyah. Karena rindu sudah bermekaran di hatiku, Kawan.
Rinduku padamu, Maria.
Perempuan berbudi luhur.
Semoga Yesus selalu menyertaimu.
Maria, aku bingung. Kuputuskan saja mengirim surat padamu. Semoga kamu masih di kost kita yang dulu. Dan semoga kamu juga bisa membaca dan merasakan kegelisahan ini.
Maria, aku kembali menjadi katak. Katak dalam tempurung. Hidupku kembali bukan hidupku. Hidupku kembali seperti dulu, sebelum kukenal Yogyakarta. Maria, hidupku milik abahku dan pesantrenku. Maria, esok aku akan menikah dengan seorang putra Kiai dari Bangkalan Madura. Bukan dia! Bukan dia, Maria!
Maria, Mas Dahlan, Maria. Abah meminta dia menjadi imam di masjid pesantren. Memimpin shalat subuh ribuan santri, Maria. Dia menolak sopan. Tapi abah memaksa. Dari jauh, dari shaf santri putri aku menatapnya gamang. Aku bisa melihat denyut jantung di balik baju koko putihnya. Aku seakan merasakan kegugupannya.
Maria, kegugupanku menjadi utuh setelah salam. Setelah shalat subuh rampung. Abah tahu, dan celakanya ribuan santri juga tahu. Seluruh jamaah subuh riuh. Aku paham perasaan abah. Tapi aku juga paham bagaimana keadaan psikis Mas Dahlan. Maria,,, mungkin bagimu hal ini akan sedikit rumit dimengerti. Tapi beginilah. Beginilah agama di mata keluarga. Pada Mas Dahlan, abah sudah tak tak mengatakan ‘Islam kita’ tapi ‘Islamku’ dan Islammu’. Itu awal isyarah perubahan pandangan abah tentang Mas Dahlan.
Mungkin benar kata dalang waktu kita nonton pertunjukan di Yogyakarta dulu bahwa cinta itu takdir dan jodoh itu nasib!
Maria, aku belum bisa lupa bayangan terakhir tentang Mas Dahlan. Kupandangi punggungnya saat keluar melewati gapura pesantren. Aku hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan tangisan. Bahunya yang bidang masih terbayang-bayang. Langkahnya yang gontai mengiringi wajah abah yang murka.
Yogyakarta, 02 Juni 2013
HALIMAH GARNASIH lahir di kota dingin Malang Jawa Timur. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang. Koordinator Divisi Pendampingan dan Pelatihan Komunitas Matapena Yogyakarta ini mencintai sastra karena di sana ditemukannya ejawantah keindahan-Nya. Sekarang sedang menyelesaikan studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.