Cerpen

Pesona Kiai Jalal

Ahad, 7 Juli 2013 | 03:00 WIB

Nama Kiai Jalal, beberapa tahun ini tengah menjadi buah bibir masyarakat Kota Purwokerto dan sekitarnya. Pasalnya, selain menguasai ilmu fiqh, ia juga dipercaya memiliki ilmu hikmah yang tidak dimiliki oleh sembarangan kiai. 
<>
Akhirnya, pesantrennya pun kini menjadi begitu ramai. Semua berbondong-bondong untuk menimba ilmu dengannya. Tidak hanya berasal dari Jawa, tapi banyak juga santrinya yang berasal dari luar seperti Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan, ada beberapa santri dari Malaysia dan Brunei Darussalam yang juga ikut nyantri di pesantren Kiai Jalal, yakni pesantren Darul Hikmah.

Dahulunya pesantren ini sangatlah sepi. Jumlah santrinya pun tak pernah lebih dari 30 orang. Apalagi setelah meninggalnya Kiai Abdul Rohim—ayah dari Kiai Jalal—hampir semua santri meninggalkan pesantren ini. Mereka memilih untuk pindah ke pesantren yang lain, karena di pesantren Darul Hikmah tak ada lagi yang mengajar mereka. 

Namun, setelah kepulangan Kiai Jalal dari Mekkah, suasana pesantren menjadi sangat berbeda. Sepertinya Kiai Jalal menjadi matahari yang siap menyuguhkan energi baru melalui cahaya keilmuannya. Jumlah santrinya pun berubah drastis, jumlahnya kurang lebih mencapai 5000 santri. Semuanya rela berdesak-desakan di pesantren demi mengharap barokah ilmu dari Kiai Jalal.

Tapi karena jumlah santrinya yang terlalu banyak, akibatnya tak semua santri bisa mengaji langsung kepada Kiai Jalal. Hanya santri yang sudah lama dan minimal duduk di kelas Alfiyah yang bisa mengais ilmu langsung darinya. Hal ini pula yang menyebabkan santri-santri tak pernah melewatkan ngaji selapanan setiap Ahad Kliwon. Setiap hari itu, Kiai Jalal mengajar Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Meski hanya 35 hari sekali, paling tidak bisa sedikit mengobati rasa rindu mereka untuk bisa mengikuti pengajian langsung dengan sosok yang mereka kagumi itu. 

Namun sayangnya pengajian itu tidak diperuntukkan bagi para santri Darul Hikmah saja, melainkan untuk seluruh warga yang ingin mengaji dengan Kiai Jalal. Alhasil, ketika hari Ahad Kliwon masjid pun selalu dipenuhi ribuan jama’ahnya yang datang dari seluruh penjuru kota di Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka adalah para kiai kampung yang sangat menaruh segan kepada Kiai Jalal. Ustadz Fahruddin salah satunya. Ia rela datang jauh-jauh dari Batang hanya untuk mengaji kepada Kiai Jalal. Katanya untuk ngalap berkah dengan ahli ilmu.

Bahkan menurutnya, Kiai Jalal adalah orang yang sangat alim. Walau usianya belum genap setengah abad, tapi pesonannya telah memikat seluruh masyarakat di Purwokerto khususnya, dan Jawa Tengah pada umumnya. Tak hanya kiai-kiai kampung, banyak juga pejabat-pejabat daerah yang secara khusus sowan untuk meminta nasehat kepada Kiai Jalal. Dan ia pun dengan senang hati menerima seluruh tamunya yang datang ke ndalemnya. Mulai dari rakyat biasa hingga pejabat, mulai dari yang miskin hingga konglemerat. Semuanya dianggap sama oleh Kiai Jalal. 

Tapi jika mereka ingin sowan dengan Kiai Jalal, mereka harus memilih antara Rabu, Jum’at atau Ahad, karena selebihnya ia berada di luar kota untuk mengisi pengajian. Seperti di Pekalongan, Temanggung, Wonosobo, Semarang, Magelang dan Kaliwungu.

****
Pagi ini, Kiai Jalal tak ada jadwal pergi ke luar kota. Setelah jama’ah subuh ia pun ke ndalem untukbersiap-siap menerima para tamu yang sudah rela menginap semalaman  di pesantrennya. Sementara para santri beraktivitas seperti biasanya, mengaji Al-Qur’an dengan para ustadznya hingga matahari nampak sempurna keluar dari peraduannya. Namun, tak seperti biasanya, pagi itu, suasana di Pesantren Darul Hikmah sangat ramai, semua santri tertuju pada sebuah kamar yang terletak di ujung lantai satu. Kamar itu merupakan kamar yang dihuni oleh Gus Huda, putra Kiai Abdul Wahid Bangkalan. 


Para santri pun berlarian menuju kamar itu, tak terkecuali para pengurus yang kamarnya berada di lantai tiga. Pun dengan para santri yang berada di masjid yang tak mau ketinggalan. Mereka ikut berlarian meski sebenarnya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu.

“Ada apa Kang?” Tanya Lukman kepada Kang Aziz, lurah pesantren Darul Hikmah.

“Katanya ada maling.” Jawabnya dengan tegas.

“Owalah, gebugi wae Kang!” ucapannya dengan keras sembari mempercepat langkah kakinya.

Sesampainya di depan kamar yang dituju, Kang Aziz pun kaget bukan kepalang, karena semua santri sudah berkumpul di sana. Wajah mereka tampak begitu garang. Sepertinya sudah siap memuntahkan seluruh amarahnya. Kang Aziz yang penasaran mencoba menerobos barisan santri yang sangat rapat. Ia pun mencoba menenangkan para santri dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu. Ia tak mau, para santri terkena isu yang belum jelas kebenarannya.

“Mohon teman-teman semua tenang. Kita pastikan dulu apa yang terjadi, mohon jangan main hakim sendiri.” Ucap Kang Aziz dengan tegas.

“Sudah jelas Kang, ada santri yang jadi maling. Sampeyan sebagai lurah jangan berusaha membela maling, Kang. Kita gunduli saja kang di depan semua santri. Bagaimana teman-teman, setuju!” jawab salah seorang santri berusaha memprovokasi.

“Setuju!” ucap semua santri secara serempak.

Kang Aziz pun akhirnya tak bisa berbuat banyak. Para santri memaksa masuk ke kamar dan menyeret si maling yang kini masih berada di dalam kamar.  Dan benar saja, mereka pun menyeret seorang santri keluar dari kamarnya Gus Huda, sembari meneriaki maling kepadanya. Bahkan mereka pun berkali-kali menjatuhkan pukulan ke wajahnya. Alhasil ia pun babak belur dan darah pun keluar dari mulutnya. 

Melihat itu, para santri bukannya berhenti. Ia terus menyeret santri itu menuju ndalem Kiai Jalal. Kang Aziz pun tak bisa berbuat apa-apa, karena melihat emosi para santri sudah tak mungkin lagi dikendalikan. Ia pasrah dan ikut membawanya menuju ndalem. Para santri berharap agar si maling dapat hukuman seberat-beratnya dari Kiai Jalal.  

Sesampainya di ndalem, Kiai Jalal sangat kaget karena disuguhi salah seorang santrinya yang sudah babak belur di hajar oleh teman-temannya sendiri. Begitu pula dengan para tamunya yang tak percaya melihat hal itu. Mereka menilai santri itu telah menodai kewibawaan Kiai Jalal. Namun, Kiai Jalal tak gegabah untuk memberikan hukuman kepadanya, meski para santri mendesak agar ia menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya.

“Maaf Kiai, santri ini telah mencuri. Kami atas nama santri meminta agar Kiai memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Ia telah menodai pesantren Darul Hikmah Kiai,” ucap salah seorang santri.

“Tenang. Semuanya tenang. Izinkan kiai tanya kepada yang bersangkutan. Kita tidak boleh main hakim sendiri. Kita harus dengarkan dulu apa pengakuannya, siapa saksinya, mana buktinya. Begitu yang diajarkan oleh Islam,” jawab Kiai Jalal dengan penuh wibawa. Semua santri pun terdiam. 

Setelah suasana tenang, Kiai Jalal pun duduk di sampingnya dan bertanya dengan penuh wibawa. Meski salah seorang santrinya mencuri, ia tak menunjukkan wajah murka, bahkan sebaliknya. Tetap santun kepada siapapun.

“Cah bagus, namamu siapa?” tanya Kiai Jalal.

“Nama saya Hakim, Kiai,” jawabnya dengan lirih.

“Namamu bagus sekali. Terus apa yang kamu ambil?”

“Kitab, Kiai,” jawabnya sambil menunjuk kitab Mukhtaru Al Ahadits yang diambilnya.

“Apa kamu tidak uang untuk membeli kitab ini. Atau karena kamu sangat suka dengan kitab ini sehingga kamu mengambilnya?”

“Bukan, Kiai.”

“Lalu?”

“Saya mencuri kitab ini demi satu tujuan, Kiai.”

“Apa tujuanmu mencuri?” tanya Kiai Jalal penasaran

“Saya ini sudah mondok selama 3 tahun disini Kiai. Tapi belum pernah sekali pun saya bersamalaman dan mencium tangan kiai. Jadi saya lakukan ini semata-mata agar saya bisa bertemu dengan kiai, bisa bersalaman, dan mencium tangan kiai. Itu saja kiai. Tak ada yang lain,” jawabnya dengan polos.

Mendengar jawabannya, Kiai Jalal pun tersenyum lebar. Ia pun akhirnya mengerti alasan santrinya mencuri. Ia tak habis pikir, santrinya nekat melakukan hal itu demi keinginannya untuk bersalaman dan mencium tangannya. 

Para santri yang awalnya garang pun akhirnya terdiam ketika mendengar jawabannya. Pun dengan Kiai Jalal yang akhirnya meminta kepada para santrinya untuk kembali ke pesantren. Hanya Hakim dan Kang Aziz yang tetap berada di ndalemnya. Hakim pun tak mau membuang kesempatan itu, ia langsung bersalaman dan mencium tangan Sang Kiai sembari tersenyum. 

Sementara Kiai Jalal masih tak percaya dengan kejadian yang dilakukan oleh santrinya sendiri. “Tak bisa dinalar kelakuan satu santri ini,” ucap Kiai Jalal sambil tersenyum. Kemudian ia pun mempersilahkan Hakim dan Kang Aziz untuk kembali ke kamarnya masing-masing. 
 

 

SLAMET TUHAIRIE NG adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada konsentrasi Agama dan Sains (Kajian Komunikasi). Penulis juga merupakan Wakil Sekjend Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Periode 2012-2015. Beberapa karya penulis yang pernah dipublikasikan antara lain; Anggaran yang masih wajar (Kompas, 2010), Selebrasi Tanpa Refleksi (Kompas, 2010), Bukan Ilmu Laduni (Cerpen, NU Online 2012), Wanita Senja (Cerpen, NU Online, 2013), Jadzab Gus Nasr (Cerpen, NU Online 2013), Putra Mahkota Kiai Fatwa (Cerpen, Harian Satelit Post, 2013), dan lain-lain. Selain itu, penulis juga merupakan peraih Juara II Musabaqoh Menulis Makalah Ilmiah Al Qur’an tingkat perguruan tinggi se-Jawa Tengah tahun 2011 yang diadakan oleh LPTQ Provinsi Jawa Tengah, dengan judul makalah; “Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Kewirausahaan Berbasis Pertanian Aqua Hidroponik.”

 

Ilustrasi: lukisan karya Nasirun


Terkait