Cerpen

Rumah Mutiara

Ahad, 16 Desember 2012 | 07:52 WIB

Rumah itu begitu reyot. Gentengnya pada bocor. Dinding bilik bambu pada bolong. Hampir tidak layak dikatakan rumah. Kontras dengan rumah-rumah lain yang berada di sekelilingnya. Tapi, bagi penghuninya adalah rumah.

<>Rumah itu ditinggali dua wanita. Ia bernama Mutiara, anak yang pandai dan rajin. Wanita satunya adalah seorang Ibu yang tegar dan penuh kasih sayang. Demi menyokong perekonomian keluarga setiap hari dia berjualan tempe ke pasar.

Sore itu hujan turun begitu deras disertai angin dan petir. Mutiara beserta ibunya sibuk mencari tempat untuk menampung air dari genteng bocor. Dia mengabaikan rasa takutnya supaya rumahnya tidak banjir.

Tapi dia tidak bisa menahan ketakutannya ketika suara petir begitu keras.

"Deeeeer...deeeer...deeeeeer!" 

Ia berlari memeluk ibunya.

“Ibu, Ara takut, Bu. Hiks..hiks...hiks,” Mutiara mendekap ibunya begitu erat.

Dengan penuh kasih sayang, sang ibu memeluk dan membelainya begitu lembut.

“Ara, gak usah takut, sayang. Allah akan selalu melindungi kita.”

“Bagaimana kalau rumah kita roboh, Bu? Hujannya begitu deras dan tidak reda. Kalau rumah kita roboh kita mau tinggal dimana?”

Sejenak ibu itu berpikir apa yang harus dilakukannya agar anaknya tidak takut.

“Ara, rumah kita tidak akan roboh. Sebentar lagi hujan pasti reda. Ara harus berpikir hujan ini adalah anugerah Allah.”

Ia mendekap putri kecilnya semakin erat di sudut rumah yang paling pojok.

Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu berusaha sekuat tenaga menenangkan putrinya agar tidak takut. Tapi setiap hujan turun, ia selalu terkenang suaminya yang sudah meninggal karena tersambar petir ketika Mutiara berusia lima tahun tepatnya tiga tahun yang lalu.

“Ibu menangis?” tanya Mutiara ketika beberapa titik air mata jatuh di pipinya.

“Tidak Ara, sayang. Ibu tidak menangis.”

“Ara janji, Bu. Ara gak akan takut lagi kalau ada hujan. Tapi ibu jangan menangis ya!”

“Ya, sayang.”

Siang bersulih malam. Hujan pun berangsur reda. Mutiara dan ibunya mengepel lantai rumah. Mereka hanya berharap malam ini bisa tidur nyenyak dengan segala keterbatasan yang ada. Sebelum tidur, ibu Mutiara selalu membaca cerita untuk putrinya.

***

“Ibu, buku Ara basah,” Mutiara berteriak memangil ibunya.

Tergopoh-opoh sang ibu menemui putrinya.

“Buku apa, Nak, yang basah?”

“Semua buku pelajaran terkena air hujan, Bu, hiks... hiks... hiks,” Mutiara mulai manangis.

Ketika semalam hujan turun sang ibu lupa kalau genteng di meja tempat meja belajar Mutiara bocor.

“Sudah jangan menangis sayang, ibu keringkan dulu bukunya mumpung sekarang masih jam lima. Sekarang Ara mandi dulu dan siap-siap.”

Sang ibu bergegas ke dapur. Hal seperti ini bukan hal baru baginya. Setiap musim hujan turun dia sering mengeringkan buku pelajaran anaknya. Dengan sigap dia menyalakam kompor, sebelum buku dikeringkan dia menaruh seng di atas kompor. Dengan sabar, ia mengeringkan buku mutiara satu per satu. Setelah bukunya kering, dia bergegas memberikan buku itu kepada putrinya.

“Ara, ini bukunya sudah kering dan bisa dibawa ke sekolah. Belajar yang rajin ya, Nak. Kalau sudah besar Ara harus jadi orang sukses.”

“Oke, Bu, suatu saat nanti Ara akan jadi orang sukses dan membelikan istana untuk ibu.” Dengan mengacungkan jempolnya berusaha menyakinkan ibunya kalau dia akan jadi orang sukses.

Mutiara termasuk anak yang cerdas. Di kelas empat dia selalu mendapat juara satu. Belajar dan membaca adalah kegemarannya. Dia juga anak yang supel sehingga mempunyai banyak teman. Salah satu teman dekatnya adalah Ami. Mereka sudah berteman sejak kecil.

“Ara, besok kita ulangan harian IPA lho, kamu sudah belajar belum?” dengan membawa buku IPA ia mendekati Mutiara.

“Belum, apa kamu sudah belajar?”

“Belum juga.”

“Pokoknya nanti malam aku mau belajar agar dapat seratus.”

“Aku juga ah, supaya dapat nilai bagus seperti kamu.”

Setelah berbincang-bincang, mereka masuk kelas. Seperti biasa Mutiara dengan senang mengikuti pelajaran. Hari itu dia mendapatkan pelajara PKN dari bu Ani. Dia dikenal sebagai guru yang senang mengajarkan anak-anak untuk mengejar impian mereka. Hari itu bu Ani bertanya mengenai impian mereka.

“Siapa yang ingin jadi dokter angkat tangan?” Bu Ani bertanya cita-cita muridnya.

Dengan semangat Mutiara mengangkat tangannya.

“Kalau sudah besar Ara mau jadi orang sukses dan bisa membangun istana mutiara bagi ibu,” Mutiara berkata dengan lantang.

“Mulia sekali cita-citamu, Mutiara. Tapi jangan lupa untuk jadi orang sukses harus rajin belajar dan berdoa ya!”

“Iya, Bu Guru.”

Bel pulang berbunyi. Para murid berhamburan keluar dari kelas. Mutiara langsung menuju ke sepedanya untuk pulang. Seperti biasa, sesampai di rumah ,ia langsung mencari ibunya.

“Ibu, Ara sudah pulang.”

“Wah, kelihatanya anak ibu bahagia hari ini.”

“Iya, Bu. Tadi di sekolahan bu Ani tanya tentang cita cita kalau suda besar mau jadi apa. Aku langsung angkat tangan dan bilang kalau sudah besar Mutiara mau jadi orang sukses dan membuatkan ibu istana mutiara yaitu rumah yang sangat.”

“Amin...”

Sebagai seorang ibu, Nina sangat terharu. Dia sangat bersyukur mempunyai anak seperti Mutiara. Dia sudah bertekad untuk tidak menikah lagi demi putrinya. Dia ingin putrinya menjadi orang yang berhasil di masa depan dan mempunyai masa depan yang lebih bagus darinya.

Seperti biasa, setiap sore hujan turun. Jika sudah begitu, Mutiara dan ibunya mulai kuatir. Mereka takut kalau hujan turun rumah mereka akan terendam air karena hampir semua rumahnya banjir. Tapi hujan sore itu benar-benar menyayat hatinya. Sejak pukul empat sore hingga malam hujan tidak juga reda. Juga mati lampu. Mutiara dan ibunya sibuk mencari tempat untuk menampung air karena genteng yang bocor. Saat mereka sibuk menampung air tiba-tiba lampu mati seketika dia menjerit karena takut.

“Ibu, Ara takut gelap,” sejak kecil Ara memang anak yang takut gelap.

“Tenang Ara, gak usah takut. Sekarang kita cari lilin agar tidak gelap.”

Melihat ketakutan anaknya, Nina tidak bisa membendung air matanya. Dia selalu berpikir andai saja suaminya masih hidup mereka tidak akan susah seperti ini.

“Ini, ketemu lilinnya. Sekarang kita nyalakan ya, agar rumah kita tidak gelap.”

“Tapi besok Ara ulangan IPA, Bu. Kalau lampu mati, Ara kan gak bisa belajar.”

“Belajarnya besok saja habis sholat subuh.”

“Gak ah, Bu. Ara takut besok Ara ketiduran dan gak bisa belajar.

Pokoknya Ara tetap mau belajar biar dapat nilai bagus dan ibu bahagia.”

Gadis kecil itu bergegas mengambil buku IPA-nya.

Ketika Mutiara belajar hujan mulai reda. Mutiara belajar di sudut kamarnya di bawah temaram lilin. Dia tidak bisa memilih tempat lainnya karena hampir seluruh rumahnya basah. Tangan yang kanan memegang lilin sedangkan tangan yang kiri memegang buku IPA. Dengan penuh semangat, dia melahap bukunya.

Melihat anaknya belajar dalam sudut kamar, Nina tidak kuasa menahan tangisnya.

Setelah semalam hujan deras pagi itu udara tersa sejuk. Matahari pun bersinar dengan terangnya. Tidak hanya matahari saja yang bersinar terang pagi itu adalah pagi yang sangat membahagiakan bagi Mutiara dan Ibunya. Pagi pak lurah datang dengan membawa map ke rumah Mutiara.

“Assamualaikum.”

“Waalaikum salam. Eh, Pak Lurah ada apa, Pak? Tumben pagi-pagi datang ke rumah.”

“ Ini, Nin, ada bantuan bedah rumah dari pemerintahan. Dan kamu salah satu warga yang rumahnya akan dibedah.”

“Alhandulilah. Terima kasih, Pak.”

“Iya, Nin. Saya berharap kamu dan anakmu dapat tinggal dengan nyaman di rumah ini setelah dibedah.”

Nina segera memberi tahu Mutiara kalau rumahnya akan segara dibedah. Sehingga kalau hujan turun mereka tidak perlu kuatir.

“Ara sebentar lagi rumah kita akan diperbaiki kita mendapat bentuan dari pemerintah, Nak.”

“Alhamdulillah ya, Bu, Ara sangat bahagia.”

“Makanya ara sesulit apapun keadaan yang kita hadapi, kita harus selalu bersyukur, karena Allah mendatangkan rizki dari arah yang tidak pernah kita duga,” sambil dia memeluk putri kecilnya.

Mereka berdua hanyut dalam kebahagian yang telah Allah berikan kepada mereka dan berharap mendapatkan kemudahan dari segala kesulitan yang mereka hadapi.

 

Siti Musriatun, adalah anggota IPPNU dan mahasiswi UNISDA Lamongan.


Terkait