Cerpen

Samudera Cinta

Ahad, 23 September 2012 | 08:08 WIB

Oleh Mohammad Haris Suhud

Aku tidak ingat lagi, mengapa aku harus hidup di bumi ini. Aku tidak ingat, mengapa aku harus hidup. Mula-mula aku terperangkap di dalam lubang sumur. Gelap sekali tentunya.
<>
Tiba-tiba hadir sesosok naga yang mengejutkan. “Tidak, tidak!!! Aku tidak boleh takut,” kata hatiku.

“Ya, memang kau tak perlu takut,” kata naga, ia mengerti suara hatiku. “Aku di sini akan menjadi teman yang baik buatmu. Aku bisa mengubah diriku menjadi apa saja yang kau mau.”

Semua perasaan takut jadi hilang. Naga itu memang menjadi teman yang baik bagiku. Ia bisa menuruti apa saja yang aku ingin. Makanan berlimpah, teman hidup, kekuasaan, semuanya aku dapatkan. Membahagiakan, tapi semuanya menjadi hal yang membosankan setelah semuanya dan sekian lama.

Kegelisahan muncul dalam hati. Aku menemui naga itu lagi. Aku ingin kebahagiaan abadi, ketenangan, kedamaian.

“Maaf, Tuan, kami hanya bisa memberikan yang bersifat materi. Kebahagiaan abadi itu, kau sendiri yang menentukan.”

Setiap malamku berubah menjadi penjara kesedihan. Menakutkan.

“Hai, Naga, sesungguhnya tempat apa ini, jika tak bisa memberi kebahagiaan abadi? “

“Sumur Durangga, atau sumur kebohongan.”

“Jadi, apa yang aku miliki selama ini hanya sebuah kobohongan?”

“Benar.”

“Bagaimana cara terbebas dari dunia kebohongan ini, hai Naga?”

“Bunuhlah aku.”

“Bagaimana cara membunuhmu?”

“Kau harus berperang sekuat tenagamu, melawanku?”


***

Tak mudah melawan naga. Aku harus berpuasa selama 40 hari. Gunanya, untuk melemahkan panca indraku yang selalu tergoda dengan apa yang diberikan oleh naga. Nafsu yang membelenggu kumatikan, naga itupun mati bersamanya.

Sumur yang sempit itu, kemudian berubah menjadi hutan. Lebih luas dari pada Sumur Durangga. Aku bebas bernafas.

Nafsu yang telah kumatikan dalam diriku, menjadikan aku tak mempunyai hasrat apa-apa. Desir angin, suara gemericik air sungai, kicau burung yang beraneka suara, semua menenangkan. Semua terasa aman, tenang, bebas, damai, membahagiakan. Kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di dalam hutan Andadawa namanya, aku duduk bersemedi, menghanyutkan diri dalam kidung dzikir alam.

***

Setelah sekian waktu aku bersemedi, aku mendapati diriku berada di dalam dasar samudera. Tak ada ketakutan, karena aku baru ingat, memang di sinilah tujuan hidupku yang sempat terlupa. Aku bertemu dengan Dewa Ruci, ia menyuguhiku segelas air Khidir. Setelah kuteguk minuman itu, aku menjadi ombak di samudera. Menyatu dengan ombak yang lainnya, di dalam samudera yang maha luas. Samudera Lawana Udadu. Di sinilah aku ingat segalanya, aku pernah tersesat, lupa diri sendiri. Aku adalah air yang harus kembali lagi ke dalam samudera.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... sesungguhnya kami adalah milikmu, kembali kepadamu.


*Cerita ini berdasarkan serat yang ditulis oleh Empu Siwa Murti, ditulis pada akhir kerajaan Majapahit. Merupakan imajinasi saya sendiri tentang isi serat tersebut, yang disampaikan oleh guruku.

Malang, 02 Agustus 2012

MOHAMMAD HARIS SUHUD, adalah mahasiswa semester akhir di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Malang. Nyantri di pesantren mahasiswa Al Hikam Malang, dibimbing KH Hasyim Muzadi dan  juga aktif dalam kajian-kajian di Pesantren Global asuhan Romo Agus Sunyoto. Semua tulisannya bisa dibaca di http://morpiss.blogspot.com


Terkait