Cerpen

Sebuah Kado Untukmu

Senin, 25 Maret 2019 | 21:20 WIB

Oleh Abdullah Alawi 

Hari pernikahanmu semakin dekat. Kamu pasti sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Membagi-bagikan surat undangan, mempersiapkan mas kawin, mendatangi penghulu, membeli pakaian baru dan sebagainya. Pokoknya mempersiapkan lahir dan batin. 

Lalu akad nikah pun dilaksanakan di sebuah masjid. Ikatan suci memang mesti dilakukan di tempat suci. Itu rencanamu dari dulu yang sering diceritakan. Pihak keluargamu dan keluarga calon isterimu semuanya hadir. Mereka memanggilmu ‘pengantin baru’. Kamu menjadi raja sehari. Makanan serba enak. Pakaian serba bagus. Semuanya mengucapkan 'selamat'. Sungguh sejarah emas episode kehidupanmu. Kamu mengabadikannya dalam potret. Manusia memang menginginkan keabadian. Atau sekedar untuk kenang-kenangan. Sesekali kamu bisa membukanya di album. Atau ditempel di ruang keluarga. Meski sudah buram, tapi sangat tinggi nilainya.

Lalu kamu pun berbulan madu. Apa yang sering kita bayangkan dan diobrolkan di larut malam, di kamar kost itu, sekarang kamu menunaikan dengan halalnya. Kamu menunaikan titah alam. Melaksanakan sunnah Rasul dan sabda Tuhan.

Di malam pertamamu, kamu bagaimana ya? Canggung tidak? Kamu pasti memakai obat kuat bertenaga kuda. Mudah-mudahan kamu tidak impotensi. Kalau seperti itu, kamu harus berurusan dengan Mak Erot. Suatu saat kalau kita bertemu, entah kapan dan di mana pun, kamu harus menceritakannya. Seperti yang sering kita obrolkan tentang pernikahan, teman hidup, malam pertama, waktu larut malam sambil tiduran. Kalau sudah larut malam, pikiran memang selalu seperti itu. Hasrat paling purba datang menyapa.

Sekarang kamu disebut suami dan pendampingmu disebut isteri. Kamu boleh memanggil isterimu 'mama', 'umi', 'sayangku', namanya, atau 'humaira' seperti Nabi memanggil isterinya. Dan isterimu boleh memanggilmu 'aa', 'kang mas', 'papa', 'sayangku' atau namamu sendiri. Terserah apa kesepakatan kalian berdua. Atau bisa juga kamu membikin istilah baru yang dipahami dan disenangi kalian berdua.

Kamu sekarang berumah tangga. Punya lembaga yang bernama keluarga.  Punya mertua, adik ipar, dan kakak ipar. Mereka pasti memanggilmu berbeda-beda sesuai posisinya masing-masing. Untuk sementara, kamu bisa tinggal di rumah orang tua isterimu atau di rumah orang tuamu. Tugasmu sekarang bertambah, mencari nafkah. Apa pun caranya rezeki harus dicari asal halal. 

Dalam berumah tangga, kamu jangan memikirkan enaknya saja. Pada kenyataannya, pasti banyak menemukan masalah. Mulai dari masalah keuangan, rumah, kebutuhan sehari-hari hingga masalah ranjang. Itulah pernak-pernik perkawinan. Kamu harus ingat dalam berumah tangga, semua orang itu belajar. Yang sudah lama berkelurga saja bisa bercerai, apalagi pengantin baru. Semua masalah harus dihadapi dengan kepala dingin. Segala cara harus dilakukan untuk mempertahankan perkawinanmu. Kalau bisa semur hidup.
***

Beberapa bulan kemudian, isterimu ngidam. Dia hamil. Kamu mengantarnya ke puskesmas untuk memeriksa kandungan. Sebentar lagi buah hatimu akan lahir. Pada saat-saat senggang, kamu dan isterimu main tebak-tebakan; lelakikah, atau perempuankah anakmu kelak. Kalian mempersiapkan nama-nama yang indah seperti putra-putri rasul, nama-nama sahabat Nabi, tokoh-tokoh besar atau nama yang belum pernah ada. Kalian semakin bahagia. Pada saat usia kandungannya tujuh bulan, kamu melaksanakan ritual nujuh bulan. Kamu mengundang tetangga untuk membaca surat Yusuf dan surat Maryam. Itu maksudnya kalau lelaki ingin solih seperti Yusuf yang diceritakan dalam kitab suci. Dan kalau perempuan ingin solihah seperti Maryam. Perempuan suci ibundanya Al-masih. 

Usia kandungan isterimu semakin tua. Dan saat yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Kamu pasti berdebar-debar saat isterimu antara hidup dan mati melahirkan. Menyaksikan orang yang paling kamu cintai kesakitan yang tak terperikan untuk pertama kalinya. Kamu pasti berdoa sebisanya untuk keselamatan isteri dam anakmu.

Setelah anakmu lahir, isterimu tersenyum dengan penuh kemenangan. Kamu pun bahagia. Kamu dengan senangnya menyenandungkan azan di telinga sebelah kanan dan iqamah di sebelah kiri. Mungkin maksudnya pertama yang  didengar anakmu adalah panggilan shalat.  Kemudian  anakmu diberi nama yang indah sesuai kesepakatan kalian berdua. Kalau perempuan bisa Fatimah, Aisyah, atau Maryam. Kalau lelaki bisa Ali, Muhammad, atau nama yang belum pernah ada sebelumnya. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, kalau anakmu lelaki, tapi diberi Aisyah misalnya, atau kalau anakmu perempuan dan diberi nama Yusuf, orang-orang akan heran. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan semua itu. Tapi orang-orang terlanjur sepakat bahwa Aisyah untuk orang yang berjenis kelamin perempuan, dan Yusuf untuk manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Entah sejak kapan pembedaan tersebut. Lagi pula kasihan anakmu yang akan diolok-olok temannya. 

Kamu sekarang menjadi ayah dan isterimu menjadi ibu. Tugas kalian bertambah. Isterimu harus menyusui bayi, memandikan, mengganti popok. Kadang-kadang kamu juga menggantikannya bila ia sibuk. Betapa repotnya punya. Tapi ingat, kamu dan istrimu seperti itu waktu kecil. 

Kelak anakmu boleh memanggilmu 'ayah', 'bapak, 'abi', 'papa'. Kepada isterimu dia boleh memanggil 'ibu', 'bunda', 'mama' 'umi', atau panggilan yang sering digunakan di tempat tinggalmu. Atau panggilan yang sedang ngetrend saat itu. Atau istilah yang belum ada sebelumnya yang kalian pahami dan senangi. Anak itu bagaimana kamu membiasakannya. Dia akan menurutimu. Dan kamu boleh memanggil anakmu 'ade', 'nak', atau apa saja sesuai tempat kamu berada atau kesepakatanmu dengan isterimu. 

Pada hari ketujuh, kamu pasti aqiqah. Kalau laki-laki menyembelih dua ekor domba, sedangkan perempuan satu. Begitulah aturan fiqihnya. Kita pernah diskusi panjang lebar tantang perbedaan itu hingga masalah pambagian warisan, pemimpin, hakim, dan saksi perempuan sampai pada masalah kesetaraan jender. Kita mengeluarkan hadits dan dalil Alquran yang menjadi dasarnya. Pendapat-pendapat ulama klasik hingga ulama kontemporer kita kutip. Masing-masimg ngotot dengan pendapat sendiri. Tapi semua berakhir dengan tidak jelas. Dan ujung-ujungnya kembali pada masalah hidup, perkawinan, malam pertama, masa depan. Pada akhirnya kita bertanya pada diri sendiri, siapakah yang akan jadi isteriku kelak? Bagaimanakah wajahnya? Dimanakah dia sekarang? Orang manakah? Sedang apa dia sekarang, ya? Tahu tidak ya, kelak dia akan menjadi pasangan hidupku, menjadi ibu dari anak-anakku. Betapa misteriusnya jodoh. Seperti hidup itu sendiri.  Setelah itu kita terdiam dengan pikiran masing-masing. Menerawang ke dunia antah-berantah. Kemudian tertidur. Bangun kesiangan. Tidak mandi pagi. Berangkat kuliah. Dicemberutin dosen.

***


Anakmu sekarang sudah mulai pandai bicara. Betapa lucunya. Dia mulai belajar menyebut ‘ayah’ dan ‘ibu’. Betapa indah kata-kata yang keluar dari buah hatimu. Kata-kata itu menegaskan eksistensimu sebagai ayah. Ketika berumur empat tahun, anakmu masuk TK. Dia mulai diperkenalkan pada rimba angka dan dunia aksara. Belajar menulis dan membaca. Mulai mengenal kawan dan belajar jajan. Pada usia enam tahun, anakmu mulai masuk sekolah dasar. Seperti anak-anak lain. Dia memasuki dunia baru lagi. Mulai mengenal PR. Saat itu adalah fase yang sangat mempengaruhi perkembangan anakmu. Biaya hidup bertambahmu pun bertambah.

Kemudian isterimu hamil lagi. Seperti yang kamu rencanakan. Jarak lahir anak-anakmu kira-kira enam tahun. Isterimu ikut program KB. Kamu berencana punya anak empat atau lima. Di sinilah aku salut padamu. Hidup itu terprogram. Meski hidup itu sebenarnya sulit ditebak.

Anak-anakmu semakin besar. Usiamu bertambah tua. Pendidikan anakmu sudah melewati beberapa jenjang. Ada yang sudah lulus dari perguruan tinggi dan bekerja. Anakmu sudah ada yang merengek minta nikah pula. Kamu kemudian punya besan dan mantu yang tentunya orang-orang yang tak terduga sebelumnya. Seperti pernikahanmu dengan isterimu.  Kamu mandapat panggilan lagi sesuai posisinya. Dan ketika anakmu lahir, kamu punya cucu. Kelak kalau cucumu punya anak, kamu punya cicit. Begitu seterusnya. Kamu sekarang mempunyai keluarga besar.

***

Suatu hari, beberapa hari sehabis lebaran, seluruh keluarga besarmu bekumpul. Beramah-tamah setelah setahun tak berjumpa. Membicarakan tentang apa saja. Salah seorang cucumu yang sudah duduk di perguruan tinggi bertanya pengalamanmu selama kuliah. Kamu pun bercerita. Saat itulah kamu ingat seorang sahabat semasa kuliah. Dan kamu pun ingat pada secarik kertas yang usang.

"Kakek punya sahabat semasa kuliah. Pada waktu pernikahan kakek, dia tidak datang. Dia hanya menitip kado yang isinya cuma sebuah cerpen." Kemudian kamu menunjukkan kertas yang sudah usang itu. Cucumu berebut ingin membacanya.

"Siapa namanya teman Kakek itu?"

Kamu diam. Ingatamu mengaduk nama-nama yang pernah dekat. Pada sahabatmu yang dulu pernah sekamar, saling bercerita tentang hidup, keluh-kesah, sampai lupa. Karena bertahun-tahun terlindas dalam silang-sengkarut pikiranmu. Begitulah, kadang kita lupa pada orang yang begitu dekat dengan kita.  

"Dimana dia sekarang, Kek?" tanya cucumu yang lain karena dia memahami bahwa kamu memang lupa. Dan tidak mementingkan persoalan nama.

"Kakek tidak tahu. Sahabat kakek ini pemalas. Tidurnya kuat. Kabarnya dia tidak menyelesaikan kuliahnya. Dan sekarang kakek tidak tahu, apakah dia sudah menikah apa belum.” 

“Atau mungkin sudah mati, Kek?” kata salah seorang cucumu yang manis. Kemudian seluruh keluarga besarmu tertawa lepas. 

Kamu tak menjawab. Cuma senyum tertahan. Ingatan-ingatan tentangku menampakan diri. Berkelebat begitu cepat di kepalamu. Kemudian lenyap...

Dan aku tak tahu sudah seperti apakah keadaanku waktu itu.


25 Desember 2005




Terkait