Tapi setelah lahir, kekalahan demi kekalahan dimulai. Aku tidak bisa menentukan diri sendiri. Aku tak bisa menamakan diriku sendiri. Nama yang kupakai –dan juga nama-nama orang lain- adalah nama yang pernah dipakai oleh orang-orang lain sebelumnya. Dan orang-orang sebelumnya itu memakai nama yang mirip atau bahkan sama dengan orang-orang sebelumnya pula. Begitu seterusnya. Ad infinitum. Aku tidak bisa mengucapkan kata-kataku sendiri karena kata-kata itu adalah kata-kata bikinan orang lain yang lebih dulu lahir. Aku tidak bisa melakukan perbuatanku sendiri karena perbuatan itu telah jauh dilakukan orang lain yang lebih dulu lahir dariku. Dan, jika ada keinginanku untuk melakuakan sesuatu yang berbeda, orang-orang sebelumku telah mengantisipasinya dengan norma. Yang tidak mengikutinya akan diberi label oleh orang-orang. Aku hanya mengulang dan mencontoh perbuatannya. Hidupku hanya mengulang orang lain. Aku tidak bisa menentukan diriku sendiri. Maka mungkin tak salah -mungkin juga tidak benar– jika aku menyimpulkan hidup ini hanya pengulangan-pengulangan belaka. Tentu saja orang lain boleh sepakat dan tidak sepakat denganku. Aku tidak bisa menentukan diri sendiri sepenuhnya. Cuma sebagian kecil saja yang bisa kutentukan.
Aku melihat ibuku sedang menampi beras yang baru saja digiling di belakang rumahku. Dia kemudian memunguti antahnya kemudian dikumpulkan untuk makanan ciak yang bergerombol bersama induknya. “Bu, kenapa aku dilahirkan sedangkan aku tidak memintanya? Aku ingin masuk lagi di perut ibu, atau menjadi sperma ayah lagi. Aku tidak ingin keluar,” kataku sambil duduk di atas lesung samping ibuku.
Ibu berhenti menampi sebentar. Mukanya menatap ke arahku dengan tatapan yang tak kumengerti maksudnya. “Heh, Jalu kamu jangan berkata begitu. Doraka. Pemali. Itu sudah ada yang mengaturnya,” ibuku membentak.
“Tapi aku tidak minta dilahirkan. Aku tidak ingin lahir. Kenapa aku dilahirkan tanpa perstujuanku sendiri sedang aku tidak bisa memilih.”
Tiba-tiba ibu mlemparkan segenggam beras ke arah mukaku sambil berteriak. “Jaluuuuu…..tobatlah!!!” Ibuku mencak-mencak. Aku kabur sebelum ibu bertambah marah.
Aku mendekati ayah yang sedang duduk di kursi di beranda. Di sela jari tangannya terselip sebatang rokok. Dia mengisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke udara dengan nikmatnya. Di sampingnya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Dia menyeruput air kopi itu kemudian meletakkan di tempat semula.
“Ayah, kenapa kau semprotkan spermamu ke rahim ibu, tanpa kau minta persetujuan dariku? Ayah sembarangan dan seenaknya saja menyemprotkan sperma. Setelah lahir kau seenaknya menamaiku Jalu. Aku tidak mau nama itu. Sekarang aku ingin kembali menjadi spermamu. Biarkanlah teman-temanku yang lahir. Aku tak sanggup.”
Ayah melotot dengan dahi berkerut. Dia kemudian melemparkan air kopi yang masih panas itu ke mukaku. Aku langsung ambil langkah seribu sebelum marah ayah bertambah.
Aku melihat orang yang sedang menggembala puluhan itik di sawah basah yang jeraminya sudah busuk belum dibajak. Dia memakai topi khas di film-film koboy, tangannya menggenggam cemeti panjang. Aku mendekatinya dari belakang. Mengendap-endap. Tanpa suara. Kemudian menendang bokongnya hingga terjatuh. Aku mengambil segenggam lumpur dan menyumbatkan ke mulutnya hingga dia tidak bisa berteriak meminta tolong.
Kemudian aku memperkosa itik itu satu per satu hingga teler. Si gembala itu hanya memperhatikanku dengan tak bisa berbuat apa-apa sambil menahan rasa sakitnya. Tidak lama kemudian itik-itik itu bertelur masing-masing satu buah. Kemudian telur itu aku pecahkan satu per satu di hadapan si gembala itu. Kemudian aku berjingkrak-jingkrak karena hasratku terpenuhi. Aku orgasme bersama itik-itik itu. Terima kasih, ya itik.
Aku melihat isteri tetanggaku sedang menjemur kutang dan pakaiannya di depan rumahnya. Kemudian dia menjemur celana dalam bekas senggama tadi malam bersama tetangganya ketika suaminya ronda malam dan anak-anaknya tertidur pulas. Di celana dalam itu ada bekas spermanya. Kemudian aku datang ke hadapannya.
“Kamu serong tadi malam bersama tetanggamu kan?”
Dia kaget penuh ketakutan. Wajahnya pucat. Aku mengambill kutang itu dan merebut celana dalam yang hendak dijemur itu. Aku memakai kutang dan celana dalam itu di hadapannya. Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga. Aku pergi.
Aku melihat anak-anak SD sedang belajar di ruangan kelas yang berdebu yang langit-langitnya sudah pada bolong. Mereka khusu dan tampak ketakutan di hadapan guru yang garang. Guru adalah teror bagi anak-anak itu. Aku masuk ke kelas itu dan merebut kapur tulis yang digenggam guru itu. Aku menghapus segala yang telah ditulisnya di papan tulis tersebut. Aku mengusir dia keluar. Aku ingin membebaskan anak-anak itu dari penjara yang dinamai sekolah oleh orang tuanya.
Aku berkata begini kepada anak-anak yang masih di dalam kelas dan terbengong-bengong,” Anak-anak, sekarang silakan duduk dengan sesuka hatimu, sebisa kamu. Yang mau keluar silakan keluar, yang mau tetap duduk silakan duduk atau apa pun terserah kalian”.
Anak-anak itu tidak ada yang keluar, tetapi mereka tidak tegang lagi.
“Besok kalian tidak usah memakai pakaian seragam. Pakai saja pakaian yang kamu miliki dan kamu sukai. Atau tidak berpakaian pun tidak apa-apa. Terserah kalian.”
Kemudian aku menulis seperti ini di papan tulis itu, “Wati memperkosa Budi.” “Iwan mencekik ayah.” “Ibu meminum nasi.” “Andi dipukul anjing.”
Kemudian aku melanjutkan, “2x3=40 10:12=32,5 4+5=O.”
Aku pergi ke sebuah rumah ibadah. Rumah ibadah yang bagus namun jarang diisi. Aku menggulung karpet penutup lantai keramiknya. Kemudian aku berak di setiap keramik itu sepuas-puasnya. Aku naik ke mimbar seperti seorang yang mau menyampaikan khotbah di hadapan ribuan jemaah. Kemudian aku menyalakan sebuah mikropon di mimbar itu. Aku kentut di mikropon itu berkali-kali.
Aku pergi ke sebuah warung untuk membeli jarum dan benang sambil telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Orang-orang sepanjang jalan melihatku dengan pandangan aneh.
“Buat apa jarum dan benang itu?” tanya pemilik warung terheran-heran melihatku telanjang.
“Buat menjahit mulutmu,” jawabku. Aku melihat mukanya pucat. Tubuhnya menggigil. Dia terkencing-kencing. Padahal aku hendak menjahit celanaku yang bolong di selangkangannya.
Ketika sampai di rumah, aku tidak langsung menjahit celanaku. Aku mengambil gunting dari laci lemariku dan kemudian aku menggunting kemaluanku.
Tentu saja aku tidak melakukan semua itu.