Oleh Abdullah Zuma
Semasa kecil, saya memiliki kesan khusus dengan tarawih, yang biasa diucapkan 'taraweh'. Kemudian diplesetkan oleh ‘kirata’ (dikira-kira tapi nyata) menjadi 'tara sawareh' (hanya sebagian yang melakukan). Taraweh memang hukumnya sunat. Karenanya yang melakukan dijanjikan pahala, jika ditinggalkan tak berdosa.
Meski demikian, taraweh di masjid kampungku tak pernah kurang dari lima saf. Apalagi kalau malam-malam awal; bisa mencapai 6 -7 saf. Di malam pertengahan bisa surut, hanya 2 atau atau 3 saf bertahan. Mungkin makmum lain mulai jenuh atau karena cuaca, misalnya hujan. Mendekati lebaran, kembali 7 hingga 8 saf. Itu karena dua hal: orang dari perantaun pulang, dan pak ajengan atau pak DKM memperingatkan bahwa puasa sebentar lagi finish.
Formasi saf taraweh di masjid kampungku adalah demikian, 4 saf depan diisi makmum paling tua, setengah baya, atau anak muda yang memakai koko dan sorban. Dua saf terakhir diisi anak-anak sebayaku dan para pemuda.
Saf depan merupakan paling khusuk rapi dan aman. Kalau melafal amin, mereka hanya terdengar gemeremang, seperti tawon hijrah. Sebaliknya, saf belakang merupakan saf paling kacau; jika melafal amin terdengar nyaring seperti meneriaki maling kepergok, tidak lurus, maian-main, sedikit hiburan dan berbahaya.
Bagiamana tidak, peci bisa hilang dari kepala. Sarung dipelorotkan. Dan saat sujud merupakan bagian yang paling berbahaya. Apalagi jika tidak mengenakan celana dalam. Kadang diganjal sapu ijuk, atau pemukul bedug. Dan yang paling brengsek adalah menyentil “anu” yang tergantung bebas. Rasanya kesetrum sekujur tubuh. Otomatis kaki menerjang ke belakang. Tarawih seperti shalat siddatul khauf saja.
Tapi ketika duduk akhir, kami ikut barisan, ikut awe salam, melirik kanan-kiri dan mengusap muka dengan wajar seolah tak terjadi apa-apa.
“Hei, anak-anak tarawih jangan main-main!” kata Pak DKM yang bernama Kang Romli. Dia mungkin merasa punya otoritas atas kenyamanan makmum lain.
Tapi kami pura-pura tak tahu.
Beberapa rakaat aman. Tapi rakaat-rakaat selanjutnya, kami berisik lagi. Terdengar pula cekikian lepas tak bertanggung jawab. Ternyata kepala seorang teman telah dikopiahi celana karet pendek entah milik siapa.
Perlu diketahui, di pojokan masjid saya waktu itu terselip celana kolor orang tua, bahkan celana dalam.
Teman yang dikopiahi celana dalam, membalas dendam kepada siapa yang menurutnya berani dan terdekat dengan barisannya. Dia pun memperlakukan hal serupa ke orang itu. Estapet kolor pun terjadi dengan akhir saling melempar-lempar kolor.
"Berisik!" kata Kang Romli sambil melototi kami. Dia membatalkan shalatnya. Telinga kami pun menjadi sasaran Pak DKM ini. Kami cuma bisa pasrah.
Adalah Firman, teman kami yang tidak ikut-ikutan, tapi terkena imbas dijewer telinganya. Dia protes tidak langsung. Dia keluar sambil menggerutu. Tak lama kemudian terdengar suara beduk dipukul sekerasnya.
Setelah tarawih bubar, kami mendapati tulisan "ROMLI GALAK" di beduk itu dengan huruf-huruf kapital. Tapi kami tak mempedulikannya karena tiga pentungan, kaleng bekas, panci bekas mulai ditabuh.
Tong tang tong tung crek... Tong tong tung crek...
Kemudian masuk suara beduk;
Dag dug dug dag dug ... Dag dug dug dag dug...
Sukabumi 2017