Cerita Pendek Walang Gustiyala
Barangkali Soraya adalah dewi. Barangkali Soraya adalah peri. Setelah Rio tiada, ia tidak mau berbicara walau sepatah kata.
Sore itu langit Jakarta gelap. Awan hitam yang pada gilirannya akan membasahi Ibu Kota tidak jarang membawa bencana. Rio yang baru berumur tujuh tahun tidak pernah takut dengan mendung hitam. Ia tidak menghiraukan pesan orang tuanya untuk tidak bermain di luar rumah-karena sebentar lagi hujan deras dipastikan turun. Begitu melihat Moly berlari keluar, ia bergegas mengejarnya.
Hujan deras turun diawali gelegar petir.
Baca Juga
Obrolan di Teras Mushala
Satu jam berlalu, ayah dan ibu Rio tampak sangat khawatir. Dia sudah menyuruh tukang kebunnya, Pak Majid, untuk mencari Rio beberapa saat setelah Rio meninggalkan rumah, namun belum juga datang membawa kabar. Hingga terpaksa Ayah yang sedang terjangkit flu memberanikan diri turut mencari, sementara itu Sang Ibu menyeduh teh panas untuk sekadar menghangatkan badan dan menenangkan pikiran. Di kamar, Soraya tengah asik melatih kelenturan tubuhnya, sudah sebulan ia mengikuti kursus tari balet, pintu dan jendela kamarnya tertutup, Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi di luar.
Hujan semakin deras, seolah-olah langit tengah marah terhadap bumi, dan menghukumnya.
Baru sampai di gerbang depan, Ayah berpapasan dengan muka musam Pak Majid yang seolah-olah tidak kuasa menyampaikan kabar buruk. Moly juga ikut berteduh di bawah payung Pak Majid, bulu-bulunya basah kuyup bercampur lumpur.
"Rio?" tanya Ayah kepada Pak Majid. Sekilas ia menatap Moly yang turut murung.
Baca Juga
Bersepeda di Kota yang Membeku
Dari kejauhan Sang Ibu melihat tanpa bisa mendengar yang mereka obrolkan. Kekhawatirannya pada Rio tampak semakin menjadi, begitu ia mendengar suaminya berteriak dengan suara keras kepada Pak Majid, "Apa!!!", tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar sehingga cangkir teh di tangannya jatuh dan pecah di atas lantai. Ia masih tersadar ketika tiba-tiba suaminya menjatuhkan payung dan berlari tergesa-gesa ke jalan, hingga sampai Pak Majid menghampirinya dan menyampaikan kabar tentang Rio, wanita itu pun jatuh pingsan. Pecahan gelas di atas lantai menyambut leher serta kepala bagian belakangnya, mengakibatkannya berdarah.
Pada detik yang sama Soraya terjatuh karena kakinya tergelincir, dari dalam kamar ia berteriak kencang minta tolong, "Mama!!!"
Karena luka di leher dan kepala bagian belakang Ibu mengalami pendarahan yang cukup serius, Pak Majid dan dua pembantu yang lain langsung membawanya ke puskesmas terdekat. Baru pukul sembilan malam ia siuman. Begitu mendengar Rio belum ditemukan, Sang Ibu mendadak kejang karena serangan jantung. Ia pun harus segera dirujuk ke rumah sakit.
Jarum jam terasa lambat berputar. Duapuluh empat jam setelah Rio menghilang, belum juga ada kabar di mana keberadaannya. Kabar yang diterima Pak Majid kemarin sore mengatakan, Rio terpeleset dan jatuh ke Sungai Ciliwung ketika mengejar seekor anjing. Saksi mata yang didengar Pak Majid pada peristiwa tersebut adalah penduduk di tepi sungai kumuh Ciliwung sendiri, ia berujar bahwa seorang anak kecil dengan kriteria persis seperti yang dipaparkan Pak Majid, berlari mengejar anjing ketika hujan deras, kemudian terpeleset. Sungai Ciliwung yang dipastikan selalu banjir karena derasnya hujan sangat memungkinkan sekali menghanyutkan anak sekecil Rio dengan kekuatan arusnya.
"Saya tidak berani menolong karena sejak kecil saya alergi sama anjing," aku saksi mata tersebut kemarin sore.
"Yang terpeleset kan orangnya, bukan anjingnya!" bentak Pak Majid kesal.
Baca Juga
Dua Pohon Mangga
***
Sekarang, umur Soraya menginjak duapuluh tahun. Peristiwa sepuluh tahun lalu sangat membekas dalam ingatannya: aparat keamanan tidak berhasil menemukan Rio, tidak ada yang bisa memastikan ia masih hidup atau sudah mati. Tidak hanya itu, akibat serangan jantung yang tak kunjung membaik ditambah dengan rasa sedih kehilangan Rio, Sang Ibu meninggal dunia setelah melewati tiga hari perawatan di rumah sakit. Karena kurang tabah kehilangan istri dan anak kesayangannya, Sang Ayah mengalami perubahan mental secara drastis yang mengharuskannya menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Sebulan kemudian Sang Ayah ditemukan gantung diri di dalam kamar mandi rumah sakit. Sementara itu, Pak Majid dan dua pembantu yang lain merasa menyimpan dendam terhadap Moly bersepakat untuk menyiksa anjing tersebut sampai mati.
Kini Soraya tinggal bersama Bibinya di Denpasar. Ia tidak sekolah. Ia tidak menari. Dan ia tidak bicara. Selama sepuluh tahun belum satu kata pun keluar dari bibirnya. Tidak ada yang berhasil menyimpulkan kenapa ia berlaku demikian. Yang ada hanya praduga, barangkali ia sudah kehilangan akal sehat, barangkali ia tidak akan buka mulut sebelum mengetahui kebenaran tentang Rio. Barangkali ia dikutuk oleh Tuhan. Semua serba barangkali. Atau, barangkali Soraya sendiri tidak tahu alasan kenapa ia membisu.
Seperti sepuluh tahun terakhir, tidak ada yang spesial di hari ulang tahun Soraya kali ini. Ia juga tidak mengindahkan baju baru yang dihadiahkan Bibinya semalam. Seperti biasa, pagi ini ia menghabiskan waktu di pelataran rumah dengan mencoreti buku saku yang menjadi alat komunikasi baginya. Tampak ia tengah menulis beberapa kalimat sama; ‘Selamat ulang tahun, Soraya!’ Entah apa yang bersarang dalam pikirannya sehingga memaksanya menulis kata tersebut berulang-ulang. Berlembar-lembar.
"Raya, Bibi tinggal belanja sebentar, ya?" kata Sang Bibi.
Soraya mengangguk. Bibinya melihat mata Soraya tampak tidak seperti biasanya. Merah dan basah.
"Ada apa, sayang?"
Soraya tidak menjawab. Ia berdiri dan memeluk Bibinya, air matanya pun menetes perlahan.
Pandangan Bibi tertuju pada buku saku di atas meja, tampaklah dengan jelas coretan Soraya. Sang bibi melepaskan pelukan Soraya dan mengusap air mata di pipinya. "Raya kurang suka dengan hadiah bibi?"
Baca Juga
Kita Harus Pulang
Soraya menggeleng. Dihampirinya buku saku dan bergegas menuliskan sesuatu untuk diperlihatkan pada bibinya: 'SEMALAM SORAYA MIMPI RIO'.
Begitu membaca tulisan Soraya, Sang Bibi mengerti dengan apa yang dirasakan Soraya. Ia pun kembali mendekap gadis bisu tersebut. "Tabahkan dirimu, sayang!"
Soraya pun kembali terisak dalam dekapan Bibinya. Ia tidak mungkin menceritakan semua pada Bibinya. Tidak mungkin baginya menuliskan semua yang dirasakan ke dalam buku saku. Ia sudah kehilangan rasa bagaimana mengucapkan kata. Namun dengan menulis bahwa semalam ia bermimpi bertemu adiknya, ia berharap itu sudah mewakili isi hatinya.
"Ikut bibi belanja, yuk! Sekalian mampir ke toko buku. Bibi lihat Raya sudah jarang baca buku akhir-akhir ini."
Soraya mengangguk tersenyum. Tampaknya Sang Bibi tahu benar bagaimana cara menyegarkan pikiran Soraya. Toko buku adalah tempat yang paling indah bagi Soraya. Selama ini, teman sejati kesehariannya tak lain adalah buku. Ia gemar menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku fiksi berupa novel ataupun kumpulan cerita pendek, dan juga puisi. Baginya, membaca cerita sama halnya dengan memasuki dunia kecil ciptaan Sang penulis, begitu ia mengetahui semua isi dalam dunia tersebut, ia memiliki hak untuk menginovasi dan memindahkan dunia tersebut ke dalam kesehariannya, bahkan, ia juga berhak menghancurkan dunia tersebut. Ia selalu berangan-angan suatu hari kelak mampu menciptakan dunia kecilnya sendiri. Menjadi penulis.
***
Barangkali Soraya adalah dewi. Barangkali Soraya adakah peri. Ia tidak menggunakan bahasa apapun kecuali bahasa air mata.
Selama tiga malam berturut-turut Soraya bermimpi bertemu keluarganya. Pertama Rio, kemudian ibunya, baru saja ia terbangun karena melihat ayahnya berulang kali memanggilnya dalam mimpi. Ia menyalakan lampu dan melihat jam menunjukkan pukul setengah lima dini hari. Dari kaca jendela ia melihat luar masih gelap. Ia menangis seorang diri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berusaha tenang dengan memutar musik, namun mimpi-mimpi itu tampak semakin jelas dalam bayangannya. Air matanya semakin deras. Perasaannya semakin tidak tenang. Hingga akhirnya ia mengambil sebuah keputusan. Pergi.
Ia memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas punggung berukuran sedang. Buku saku, pena, dan beberapa buku bacaan turut dibawa. Tidak hanya tiga mimpi aneh tersebut yang kini bersarang dalam benaknya, kejadian sepuluh tahun lalu dirasakannya begitu nyata. Dinding kamarnya menjelma layar bioskop yang memutar kembali mendung hitam sore itu:
Soraya yang baru berumur sepuluh tahun memiliki semangat menggebu untuk segera menguasai tarian balet. Di tengah-tengah keseriusannya melenturkan tubuh, ia melihat Moly mendekatinya dan menggonggong ke arahnya, ia pun merasa terganggu.
"Moly…"
Anjing itu masih menggonggong ke arahnya.
"Main sama Rio sana!"
Gonggongan Moly semakin keras, seolah-olah ia tengah mengabarkan sesuatu pada Soraya, atau barangkali ia ingin mengajak Soraya bermain di halaman depan.
"Uch…" Soraya jengkel.
Kesabarannya hilang, ia melemparkan sandal lantai ke muka Moly. Anjing itu pun lari terbirit-birit meninggalkan kamar Soraya. Di depan pintu, Rio melihat kejadian tersebut.
"Kak Raya jahat!"
Soraya tidak peduli.
"Moly… tunggu!"
Soraya melihat adiknya berteriak mengejar Moly ketika ia menutup pintu dari dalam kamar. Kemudian, ia melanjutkan latihannya tanpa mempedulikan kemungkinan buruk yang akan terjadi pada Rio.
***
Barangkali Soraya adalah dewi. Barangkali Soraya adalah peri. Selama sepuluh tahun ia membawa luka seorang diri.
Pukul tujuh pagi, Sang Bibi tidak mendapatkan apa-apa di kamar Soraya kecuali selembar kertas bertuliskan: "BI, RAYA PERGI MENCARI RIO'.
Walang Gustiyala, penulis novel Katarsis Hitam Putih (Prenada Media Group, 2014), dan kumpulan esai Hijrah Ekologis - Katak Rebus dan Kampanye Muslim Ramah Lingkungan (Sanad Media Pustaka, 2022). Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, dan Al-Azhar Kairo. Saat ini sedang mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul 'Uluum Lido, Bogor, ia melatarbelakangi lahirnya majalah bilingual Kalamuna, majalah santri yang disajikan khusus dalam Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, juga menjadi redaktur ahli majalah bulanan AL-MA’HAD sebagai salah satu bacaan wajib seluruh santri.