Daerah

Bagaimana Menjaga Tradisi Debat Ulama?

Senin, 4 Maret 2013 | 18:45 WIB

Jombang, NU Online
Diiringi gerimis, disusul hujan menjelang siang yang cukup lebat, sekitar 40 orang berkumpul di sebuah aula kantor organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. 
<>
Di depan, di bawah banner besar yang bertuliskan kegiatan yang sedang berlangsung, 10 orang kiai duduk bersila di belakang meja. Sementara di depan para kiai, berjarak sekitar 5 meter, sekitar 30-an orang duduk bersila di belakang meja kecil baris dua-dua menghadap ke depan.

Sementara, itu di samping kanan dan kiri, di dalam aula yang berukuran 5x10 meter tersebut tampak berjajar beberapa orang yang sejak awal sibuk mengatur acara, dan di tengah-tengah di antara semuanya, seorang duduk bersila di belakang meja kecil. 

Mula-mula orang duduk sendirian di tengah-tengah semua yang hadir, yang menjadi moderator kegiatan pagi itu, membuka dengan membacakan pertanyaan yang harus dijawab. 

Pada hari itu, ada lima pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya. Bukan sekedar menjawab dengan hanya memakai logika atau pendapat pribadi. Seluruh peserta jika berkenan memberikan jawaban harus menyertakan referensi rujukan dari pendapat ulama yang ditulis dalam buku (kitab) klasik ulama madzhab empat (Syafii, Hanafi, Hambali dan Maliki) dan kitab-kitab lain yang dianggap muktabar (diakui keakuratannya). 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Pertanyaan pertama yang harus dicarikan jawabannya adalah tentang pendapat ulama tentang bolehnya menebas umbi-umbian ketika masih muda. Semua yang duduk bersiala berjajar dua-dua, yang menjadi peserta kegiatan tersebut satu persatu memberikan komentar dan jawaban. 

Perdebatan muncul saat jawaban antara satu orang dengan yang lain berbeda. Namun masing-masing memiliki argumantasi yang diambil dari kitab-kitab rujukan masing-masing. Dalam kegiatan tersebut pengurus kegiatan sudah menyediakan beberapa rujukan yang diambil dari beberapa kitab klasik. 

Setelah semua sudah bisa menerima argumentasi masing-masing, meskipun terjadi perdebatan yang cukup alot, namun diakhiri dengan dingin, dan  salah satu kiyai yang duduk di depan memimpin membaca surat al fatihah, sebagai pertanda persoalan sudah selesai, diharapkan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. 

Setelah sampai pada pertanyaan nomer lima, perdebatan sengit terjadi. Perdebatan tidak hanya terjadi di antara peserta diskusi, tetapi juga antara peserta yang kebanyakan adalah santri dengan para kiai yang duduk di depan. 

Pertanyaan terakhir tersebut terkait dengan persoalan menara masjid yang disewakan untuk antena BTS perusahaan telekmunikasi. Perdebatan tersebut berakhir dengan dimauqufkannya (dihentikan sementara, red.) pembahasan tentang persoalan tersebut dan akan dibicarakan lagi dalam kegiatan mendatang.  

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kondisi tersebut terjadi saat LBMNU (Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama) Jombang sedang menggelar kegiatan Bahtsul Masail secara bergilir setiap tiga bulan sekali bergilir diantara MWC-MWC NU se Jombang. Kegiatan rutin yang bertujuan untuk menjawab problem-problem riil keagamaan dan kemasyarakatan tersebut diadakan di Aula kantor MWC NU Ngoro Jombang pada Ahad (3/3). 

Para kiai yang hadir dalam acara tersebut antara lain KH Taufiqurrahman Muchid, Mustasyar PCNU, KH Abd Nashir Fattah, Rais Syuriah PCNU, KH Wazir Ali, Wakil Rais PCNU, KH Masrukh, Rais Syuriah MWC NU Ngoro, Muhyidin, Ketua MWC NU Ngoro dan KM. Sholeh, Ketua LBMNU Jombang. Sedangkan para peserta yang hadir adalah dari utusan-utusan LBMNU MWC dan pondok-pondok yang ada di Jombang. 

Dari proses yang terjadi dalam bahtsul masail tersebut tergambar bagaimana iklim dialog dan perdebatan dibangun dan terus terwarisi dengan baik dalam oragnsiasi Nahdlatul Ulama. Perdebatan itu terjadi tidak hanya terjadi di antara santri dengan santri, tetapi juga antara santri dengan kiai. Bahkan ketika argumen kiai tidak lebih kuat, maka argumen santri yang dijadikan sebagai rujukan. 

Dan yang lebih mengagumkan, perdebatan yang terjadi begitu keras tersebut, tetap dingin. Hal ini karena adu argumentasi yang terjadi betul-betul berdasarkan ilmu, untuk mencari dalil yang tepat sebagai rujukan umat, tidak ada kepentingan di luar itu.  

Sayang kondisi yang terjadi dalam tradisi bahtsul masail ini tidak bisa merembet dalam kehidupan sehari-hari umat. Belum tahu kenapa tidak terjadi. Namun jika perdebatan, dialog dan diskusi juga terjadi dan dikembangkan di kalangan masyarakat secara umum, berdasarkan argumentasi yang tepat, tidak sekedar kuat-kuatan otot, maka akan sangat menopang kehidupan sosial budaya yang lebih dewasa, logis dan bisa menghormati orang lain. 

Pertanyaannya yang muncul memang masih sederhana, yakni, "Bagaimana Menjaga Tradisi Debat Ulama?"

Redaktur      : Hamzah Sahal
Kontributor  : Muslimin Abdilla


Terkait