Jakarta, NU Online
Pernyataan mencengangkan datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo, di acara Konvensi PBB Antikorupsi, The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), baru-baru ini. Rawannya tingkat korupsi di Indonesia, menjadikan KPK merasa yakin bisa melakukan Operasi Tangkap tangan (OTT) setiap hari. Sayangnya lembaga antirasuah ini kekurangan sumber daya.
Menanggapi hal tersebut, pengajar Hukum Pidana Korupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Roziqin Matlap merasa ada yang salah dalam sistem di Indonesia. “Bayangkan, untuk tahun 2018 saja, ada 61 anggota DPR/DPRD, dan 16 bupati dan wali kota yang tertangkap KPK karena kasus korupsi,” katanya kepada NU Online, Rabu (28/11).
Dalam catatannya, total hingga saat ini ada 19 gubernur, serta 190 bupati dan wali kota yang tertangkap sejak KPK dibentuk. “Jadi ini kesalahan sistem, bukan orang perorang,” ungkapnya.
Roziqin menilai saat ini, orang baik pun bisa terjebak korupsi karena sistemnya belum bagus. “Bahkan tokoh agama dan akademisi pun, sudah banyak yang terkena korupsi,” ungkapnya
Sistem yang bermasalah menurut peneliti di Pusat Pendidikan dan Kajian Anti Korupsi (Pusdak) ini, antara lain sistem pemilu dengan biaya tinggi. “Juga persetujuan anggaran yang memerlukan lobi-lobi,” jelasnya.
Demikian pula rumitnya pengadaan barang maupun jasa, belum adanya pembatasan transaksi tunai, belum adanya integrasi data kependudukan. “Termasuk banyaknya celah peraturan perundang-undangan, serta banyaknya tontotan yang mengajarkan sikap hedonisme, dan sejenisnya,” ujarnya.
Menurut Roziqin, sistem yang ada harus segera dibenahi untuk mencegah korupsi. Misalnya, Pemilu harus dibuat berbiaya murah. “Kalau biaya untuk kampanye mahal, jadinya rawan korupsi. Donatur yang masuk pun, dikhawatirkan punya kepentingan tersembunyi, yang harus direalisasikan saat sang calon terpilih,” urainya.
Roziqin berharap saat ini ada larangan transaksi tunai untuk jumlah besar. “Untuk pembayaran dengan nominal besar, harus pakai transfer agar mudah dilacak,” usulnya.
Selain itu, integrasi data sangat dibutuhkan. Misal data keluarga terhubung dengan data pajak pribadi, data pendirian perusahaan, pajak kendaraan, rekening bank, asuransi, ketenagakerjaan, LHKPN, dan seterusnya. “Kalau ada integrasi data semacam itu, orang tidak bisa berbohong lagi mengenai asal-usul kekayaan,” kata Roziqin.
Dirinya meminta calon presiden dan wakil presiden yang sedang berlaga saat ini memaparkan program konkret dalam memberantas korupsi.
“Cobalah dipaparkan secara jelas, bagaimana cara memberantas korupsi secara konkret. Jangan sekadar bicara akan memberantas korupsi, tapi nihil program,” tandas auditor hukum dan auditor forensik tersebut. (Ibnu Nawawi)