Gus Baiquni Purnomo (sebelah kiri) bersama Wakil Ketua LDNU-PBNU, KH Badri Hamidi. (Foto: NU Online/Aryudi AR)
Jember, NU Online
Gonjang-ganjing tentang pelengseran KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam beberapa hari ini kembali hangat diperbincangkan seiring ditemukannya setumpuk bukti oleh jurnalis lepas, Virdika Rizky Utama. Menurut pengasuh Majelis Dzikir Dzikrul Ghafilin, Gus Baiquni Purnomo, aroma tentang rekayasa pelengseran Gus Dur sebenarnya sudah lama tercium, bahkan sejak Gus Dur akan dilengserkan. Tapi apa yang terjadi hari-hari ini terkait dengan penemuan bukti itu diakuinya sebagai penunjang keabsahan rekayasa itu.
“Issunya memang seperti itu (rekayasa), dan tarnyata kemudian muncul buktinya,” ucap Gus Baiqun kepada NU Online dikediamannya, Talangsari, Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (4/1).
Walaupun demikian, terlepas dari dugaan adanya pemufakatan jahat untuk menghancurkan Gus Dur, sesungguhnya berhentinya Gus Dur dari kursi presdien, merupakan pengorbanan untuk demokrasi. Dikatakannya, Gus Dur nyata-nyata telah berkorban untuk pendewasaan politik bangsa Indonesia. Sebab jika Gus Dur mau, niscaya kursi presiden bisa dipertahankan hingga masa jabatannya usai. Apalagi ada beberapa pihak yang menjamin itu asalkan Gus Dur mau memenuhi persyaratan yang mereka ajukan.
“Gus Dur adalah sosok yang cukup kuat memegang prinsip,” ungkapnya.
Di sisi lain, apa yang dialami Gus Dur saat menjadi presiden dan menjelang detik-detik pelengserannya, juga cukup berharga bagi pembangunan demokrasi. Gus Dur tak anti kritik meski beliau seorang presiden. Gus Durlah Presiden RI yang membuka kran demokrasi cukup luas di Istana Negara.
“Gus Dur mengorbankan dirinya untuk membangun demokrasi,” terang Gus Baiqun.
Cucu KH Ahmad Siddiq itu menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini cukup maju meski terkadang kebablasan. Salah satu kontributornya adalah Gus Dur. Katanya, saat ini masyarakat begitu leluasa menyampaikan kritik kepada presiden terkait soal apapun. Sehingga akhirnya mengkritik dan mendemo presiden dianggap biasa.
“Kalau tidak terbiasa seperti itu, mungkin sekarang masyarakat gak berani mengkritik Jokowi,” jelasnya.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi