Jakarta, NU Online
Pihak keluarga mengungkap sejumlah kejadian yang tidak biasa dilakukan KH Tb Zainal Arifin beberapa bulan menjelang wafat. Kiai yang semasa hidupnya mengabdikan diri untuk Pesantren Qur’an di Sukahati Pandeglang itu tidak banyak menceritakan banyak hal kepada siapa pun termasuk kepada keluarga.
Anak kelima Abah Zainal (sapaan akrab KH Tb Zainal Arifin), Ustadz Sirojudin ZA, mengatakan ada beberapa kejadian yang baru disadari keluarga setelah wafat ayahnya. Antara lain, sang ayah telah membeli kain kafan sendiri, menyimpan uang jutaan rupiah untuk bekal mengurus kematiannya selama 40 hari, dan mengumpulkan semua anak dan cucunya untuk diberikan hadiah serta menyedekahkan seluruh pakaiannya hingga tak tersisa.
“Yang tersisa hanya pakaian dan sarung putih, dan juga peci tiga. Semua itu ditemukan dan disadari keluarga setelah Abah wafat,” katanya kepada NU Online, Rabu (10/7).
Ia mengatakan, pendiri Pesantren Huffadz Manba’ul Qur’an itu memang orang yang tidak mau merepotkan orang lain termasuk keluarganya sendiri. Keluarganya tidak menyangka Abah Zainal begitu cepat meninggalkan dunia. Sebab, kesehariannya penuh dengan kebahagiaan dan terlihat sehat.
Bagi Sirojuddin, Kiai Zainal Arifin bukan sebatas orang tua melainkan motivator hidup orang-orang yang sedang dilanda kesusahan hidup. Terutama nasihat nasihatnya yang menjadikan semua anak anaknya hidup dalam keadaan sehat dan penuh keberkahan.
“Nasihat yang tidak pernah saya lupa tentang disiplin. Disiplin dalam banyak hal, sampai sekarang belum bisa dipraktikkan sama kita kita orang biasa, terutama disiplin dalam hal mencari ilmu, shalat berjamaah. Itu diperintahkan juga kepada santri-santrinya,” tuturnya.
Ia teringat masa masa ayahnya ingin membangun Pesantren Qur’an tahun 2000-an, karena kesabaran dan ketekunannya. Akhirnya pesantren Qur’an di Pandeglang berdiri dan berkembang dengan baik.
Kiprahnya di Organisasi masyarakat terutama Nahdlatul Ulama (NU) tidak diragukan, ia merupakan penasihat sekaligus Rais Syuriah PCNU Kabupaten Pandeglang tahun 2006-2011 juga sebagai mufti tafsir Qur’an Jalalain.
Dalam berorganisasi, Kiai Zainal tidak main main, ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk NU dengan cara terus membimbing masyarakat dan umat.
“Pesan pesan abah yang paling berkesan itu seperti ‘saya ini NU, sampai mati saya NU’ terus ‘saya ini ingin memintarkan orang benar dan membenarkan orang pintar’ dan nasihat itu menjadi familiar di kalangan NU,” ucapnya.
KH Tb Zainal Arifin merupakan tokoh sekaligus ulama sepuh asal Kabupaten Pandeglang-Banten, beliau lahir di Pandeglang tahun 1944. Sejak usia muda beliau belajar di beberapa pesantren antara lain Pesantren Tahfidz Yanba’ul Qur’an Kudus, Pesantren Bidayatul Hidayah Sukamara, Menes, Pandeglang. Sementara guru-gurunya yaitu KH Tb Hayani, KH Arwani Amin dan Abuya Damanhuri Cikaduen, Makkah. Semasa hidup, beliau mengambil tarekat Khalidiyah wa Naqsabandiyah dari KH Arwani Kudus dan sanad tafsirnya Bukhari Muslim dari Abuya Damanhuri.
Kiai yang wafat dalam keadaan berdoa ini meninggalkan seorang istri, Hj Ratu Haspiah, 4 orang anak dan 35 cucu serta satu orang cicit.Selain mengurus pesantren Kiai Zainal Arifin merupakan Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pandeglang sekaligus pemantik Ngaji Mingguan Tafsir Al-Jalalain. Kini 140-an santri Pesantren Huffadz Manba’ul Qur’an dikelola dan diurus anak anaknya. (Abdul Rahman Ahdori/Abdullah Alawi)