Daerah

Jibaku Penuh Luka dan Harapan: Kisah Kemanusiaan Relawan di Tengah Banjir di Tapanuli

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:00 WIB

Jibaku Penuh Luka dan Harapan: Kisah Kemanusiaan Relawan di Tengah Banjir di Tapanuli

Potret Ali Akbar bersama relawan lainnya sepulang dari Desa Bandar Tarutung Kecamatan Angkola Sangkunur pukul 00.30 WIB. (Foto: dok istimewa)

Tapanuli Selatan, NU Online

Rasa pilu menyelimuti hati Ali Akbar Siregar, warga Desa Adian Simaninggir, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara ketika mendengar kabar banjir dan tanah longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatra Utara, mulai dari Garoga hingga Padangsidimpuan. Hujan yang tak kunjung reda selama hampir tiga pekan membuatnya tak sanggup tinggal diam. Ia segera bergerak menuju lokasi terdampak bersama para relawan dari berbagai komunitas.


“Awalnya kami turun ke lokasi bukan atas nama NU, tetapi bersama komunitas lain. Karena memang di sini para kader NU juga punya komunitas masing-masing. Tetapi setelah ada arahan PBNU dan LAZISNU, kami sepakat menyatukan barisan untuk fokus pada tanggap darurat,” ujarnya kepada NU Online, Jumat (12/12/2025).


Dari langkah awal itu, Ali bersama rekannya kemudian mendirikan posko peduli. Mereka menyalurkan bantuan berupa dana dan kebutuhan pokok. Pada hari itu pula, ia bersiap menuju Desa Simataniari dan Dusun Sibara-bara yang hingga kini masih minim bantuan.


Ali aktif menjalin komunikasi dengan para penyintas melalui kepala desa. Ia dan relawan lain berencana bergerak hingga Tapanuli Tengah, meski selalu dibayangi cuaca ekstrem.


“Kalau cuaca tidak memungkinkan, kami tunda ke hari Senin,” kata Relawan LAZISNU Tapanuli Selatan itu.


Bantuan Mulai Cukup, Pemulihan Belum

Ali menilai kondisi di Padangsidimpuan mulai membaik. Namun, pemulihan ekonomi warga terdampak masih jauh dari tuntas. “Rumah banyak yang rusak, terutama rumah-rumah dekat sungai,” ungkapnya.


Berbeda dengan Padangsidimpuan, wilayah Siberok dan Batang Tolu yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah jauh lebih memprihatinkan. Minim penerangan, logistik terbatas, dan ancaman banjir susulan membuat warga hidup dalam ketidakpastian.


“Melihat warga di sana, saya benar-benar sedih. Cuacanya mencekam, takutnya banjir susulan datang lagi,” ujarnya.


Banjir susulan yang menghantam Desa Garoga juga menyisakan luka mendalam. Meski kali ini tidak ada kayu gelondongan terbawa arus, kerusakannya tetap masif.


“Banyak rumah hanyut, ada korban meninggal, listrik padam, pakaian layak pun sangat terbatas,” tuturnya.


Pelukan Anak-anak Penghapus Lelah

Setiap kali tiba di desa-desa terdampak, rasa empati Ali selalu menguat. Ia melihat langsung bagaimana warga bertahan tanpa listrik berhari-hari, tanpa akses makanan atau air bersih.


“Ketika saya datang, mereka menyambut dengan gembira. Itu membuat semua lelah hilang,” katanya.


Ia juga menyaksikan rumah-rumah warga yang tenggelam hingga dua meter, pintu tak bisa dibuka, dan lumpur menutupi hampir seluruh bagian rumah. Namun kebahagiaan anak-anak saat menyambut kedatangan relawan menjadi alasan baginya untuk terus bergerak.


Ada satu momen yang tak pernah ia lupakan: ketika mobil relawan mereka terperosok dan setengah badan mobil tenggelam. Warga dewasa hingga anak-anak berbondong-bondong membantu mendorong. “Bahkan anak kecil ikut mendorong mobil kami. Itu momen yang sangat membekas,” kisahnya.


Duka yang Mengguncang

Tak hanya kerusakan fisik, Ali juga menemui kisah memilukan di Garoga. Ia bertemu seorang ibu dan seorang remaja yang duduk berdampingan dalam diam.


“Saya tanya, rupanya ibu itu kehilangan anak dan suaminya. Sementara anak gadis di sebelahnya kehilangan ayah ketika diselamatkan di atap rumah,” ucapnya lirih.


Sejak saat itu, Ali semakin bersyukur atas nikmat kehidupan yang ia miliki. “Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa listrik berhari-hari, menunggu bantuan untuk makan, bahkan kesulitan sekadar mendapatkan air minum,” katanya.


Tantangan Menjadi Relawan

Ali juga mengaku kesulitan memberi informasi melalui media sosial karena jaringan yang putus dan minimnya perangkat komunikasi. “Jaringan terputus, alat media sedikit, jadi banyak daerah terisolasi yang tidak bisa kami kabarkan,” tuturnya.


Menurutnya, penyintas masih sangat membutuhkan berbagai perlengkapan seperti sembako, sayur, minyak kayu putih, perlengkapan mandi, pembalut, pakaian dalam, serta bantuan pemenuhan gizi. Bantuan bahan bangunan belum tersedia, padahal banyak kebun warga rata dengan tanah.


Bagi Ali, menjadi relawan membutuhkan prinsip kuat, terutama soal keikhlasan. “Kalau kita ikhlas membantu orang lain saat kesusahan, Allah akan meringankan beban kita dan memudahkan urusan kita,” pungkasnya.

 

============

Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman Beranda atau via web filantropi di tautan berikut: filantropi.nu.or.id.