Bandung, NU Online
Secara geografis, Kampung Adat Mahmud memiliki posisi strategis. Kampung tersebut persis terletak di tengah Kota Bandung dan Soreang, Ibu Kota Kabupaten Bandung. Jarak tempuh bagi peziarah yang berangkat dari arah Soreang sekitar 6 kilometer dengan berkendara mobil berkecepatan sedang. Sedangkan dari arah Kota Bandung bisa ditempuh melewati Jl Soekarno Hatta dengan jarak tempuh 16,6 km.
Nampak dari kejauhan, sebuah plang berwarna hijau berdiri tegak di samping jembatan yang menghubungkan perkampungan warga umum dengan Kampung Adat Mahmud. Matahari nampak berani membakar semangat para pecinta wisata religi tanpa terkecuali kontributor NU Online yang tengah berkunjung pada Senin, akhir Desember 2020.
Sepanjang perjalanan, para peziarah disuguhi hamparan sawah dan aliran sungai Citarum yang menjadi ikon kampung tersebut. Memasuki Kampung Mahmud, sebutan umum warga bagi perkampungan adat tersebut, disambut dengan kios-kios layaknya di makam-makam para wali. Akan tetapi, hal yang cukup menonjol di kampung tersebut dapat dicirikan dengan pola-pola budaya lokal yang dibalut dengan nilai-nilai sufistik.
“Rumah tanpa tembok alias rumah panggung, tanpa jendela kaca, tanpa genteng barong, juga tanpa sumur menjadi pantangan Kampung Mahmud,” ungkap Encep, salah satu sesepuh Kampung Mahmud.
Selain itu larangan memukul gong dan memelihari hewan angsa menjadi pantangan bagi warga. Struktur bangunan dan budaya tersebut memiliki nilai filosofis tersendiri.
”Sekitar abad ke-15, Eyang Dalem Abdul Manaf sebagai penyebar agama Islam di wilayah Bandung mendirikan perkampungan ini sebagai tempat persembunyian dari kejaran kolonial Belanda,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia sebagai seorang tokoh agama yang menentang keras Belanda melarang para warga untuk menyerupai perilaku Belanda dengan membangun rumah-rumah mewah.
Encep menambahkan, alasan lainnya karena merawat angsa dan memukul gong ini menandakan adanya kehidupan ramai. Hal inilah yang dihindari oleh Eyang Dalem Abdul Manaf dalam rangka menghindari Belanda.
Hidup sederhana
Akan tetapi, di samping alasan logis tersebut, Eyang Dalem sapaan warga kepada karuhun atau sesepuh kampung tersebut didasarkan pada penerapan ilmu tasawuf yang mengajarkan seorang muslim untuk bertindak sederhana dalam kehidupan yang sementara.
Walau sedemikian rupa peraturan dari para para karuhun tersebut, pada hari ini sudah ada sebagian warga yang sekaligus keturunan dari Eyang Dalem yang tidak lagi menjalankan amanat tersebut.
“Banyak sekali para sejarawan, mahasiswa yang tertarik dengan sejarah kampung ini. Mereka kebanyakan menyayangkan perubahan yang mulai terkikis dari ciri khas kampung adat,” terang sesepuh Kampung Mahmud yang juga ketua RW 01 ini.
Adanya disfungsi atau melemahnya fungsi-fungsi dari tradisi ini tidak dapat dihindari. Terlebih letak geografis Kampung Mahmud yang berada di daerah perkotaan besar tidak mudah untuk menutup budaya luar masuk dan mengubah pola pikir warga Kampung Mahmud.
Walau demikian tradisi keberagamaan masih tetap istiqamah. “Mungkin dari sisi budaya sudah mulai bergeser. Akan tetapi, nilai-nilai Islam yang sudah diwariskan Eyang Dalem tidak akan luntur sampai kapanpun,” tambahnya.
Pengajian kitab-kitab turats terus berlangsung. “Bahkan, Kampung Mahmud tidak ada istilah libur mengaji. Setiap hari penuh dengan jadwal mengaji dari semua kalangan anak muda hingga orang tua,” imbuh lelaki generasi ke-7 Eyang Dalem ini.
Menyikapi perubahan di atas, para sesepuh tidak bisa menolak dan akan menerima dengan legowo selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Ya mau bagaimana lagi, karena Kampung Mahmud ini berada di tengah-tengah kota besar,” ujarnya diiringi gelak tawa yang khas.
Keturunan Sunan Gunung Djati
Menurut Sesepuh Kampung Mahmud, Eyang Dalem Abdul Manaf merupakan generasi ke-7 keturunan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati Cirebon. Sebelum mendirikan perkampungan Mahmud, ia menetap dan belajar di Kota Suci Makkah untuk beberapa lamanya.
Selepas itu, Eyang Dalem kembali ke Tanah Air dengan membawa sekepal tanah dari perkampungan Arab bernama Mahmud.
“Eyang Dalem kemudian mencari sebuah pemukiman yang cocok untuk tempat persembunyian dari Belanda. Ditemukanlah sebuah rawa yang bertetangga dengan Sungai Citarum,” ungkap Encep.
Selepas ditemukannya rawa tersebut, Eyang Dalem mengubur tanah yang ia bawa di rawa tersebut. Lantas, setelah itu ia membuat sebuah pemukiman di atasnya. “Kini, rawa itu telah menjadi kampung yang dikenal banyak orang dengan sebutan Kampung Mahmud,” ujar ayah tujuh anak ini.
Namun, selama kampung ini berdiri, lanjut Encep, tidak pernah sekalipun dihampiri oleh banjir. “Padahal pada Maret kemarin kampung di sekitar Sungai Citarum terendam hingga kedalaman tiga meter. Dengan izin Allah, hanya Kampung Mahmud saja yang tidak terendam,” tuturnya seraya bersyukur.
Ketika ditanya soal silsilah Eyang Dalem secara runtut, Encep hanya berkomentar sedikit saja. ”Jadi, Kampung Mahmud ku sepuh-sepuh disumputkeun sejarahna sabab bisi agul ku payung butut. Ngaku turunan mahmud (terpuji) tapi akhlak madzmum (tercela). (Jadi, Kampung Mahmud oleh para sesepuh sejarahnya disembunyikan karena tidak ingin menyombongkan diri karena nasab. Mengaku keturunan yang mahmud tapi akhlaqnya tercela),”jelas Encep dengan aksen Sundanya.
Adapun peninggalan berupa benda-benda kuno semacam manuskrip tidak ada. Ia menegaskan kembali bahwa sesepuh tidak ingin takabur karena nasab. “Eyang Dalem hanya meninggalkan masjid dengan arsitektur rumah panggung dan Kampung Mahmud itu sendiri,” pungkas Encep.
Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori