Kaneman Kajen Jonggringan, Memelihara Ajaran Mbah Mutamakkin
Sabtu, 7 November 2020 | 02:00 WIB
Para muda-mudi Kajen, Pati, Jawa Tengah mengeluarkan pendapat mereka, kebanyakan berupa spirit dan harapan untuk merawat kampung halaman melaui persembahan karya. (Foto: Istimewa)
Pati, NU Online
Bulan Syura tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Khususnya bagi masyarakat Kajen, Margoyoso, Kabupaten Pati. Biasanya, setiap Syura diperingati haul waliyullah KH Ahmad Mutamakkin. Ia adalah seorang pangeran dari Pajang yang lebih memilih 'keraton akhirat' daripada 'keraton dunia'. Mbah Mutamakkin menolak meneruskan takhta kerajaan, memilih berdakwah di tengah masyarakat, hingga menghabiskan akhir hidupnya di Desa Kajen.
Ada berbagai rangkaian acara untuk memperingati perjuangan Sang Wali. Seperti tahlilan, buka selambu, hingga karnaval keliling kampung yang melibatkan khalayak ramai. Namun kerana masih dalam suasana pandemi, peringatan haul digelar secara terbatas, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Pada bulan Syuro pula, biasanya Perpustakaan Mutamakkin menggelar berbagai acara. Misalnya pameran buku, diskusi, maupun pengajian. Tujuannya tak lain adalah ikut memperingati perjuangan Al-Mutamakkin. Tahun ini, terpaksa Perpustakaan Mutamakkin tidak menggelar apa-apa. Tetapi, organisasi yang dibidani para muda-mudi Kajen itu, tak kehabisan akal.
Kendati dalam suasana pandemi, semangat untuk nguri-uri kampung halaman tak surut. Pada 2 September 2020 lalu, mereka kembali berkumpul merumuskan peta jalan sebuah gerakan kebudayaan. Tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan.
Para muda-mudi Kajen itu mewedhar uneg-uneg. Kebanyakan berupa spirit dan harapan untuk merawat kampung halaman melaui persembahan karya. Disadari dalam dua tahun belakangan, Perpustakaan Mutamakkin tidak menggelar kegiatan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Hanya sekali dua kali menggelar pengajian dan diskusi.
"Sebetulnya, para pegiat Perpustakaan Mutamakkin tak vakum-vakum amat. Beberapa anggota, sebagaimana biasanya, tetap berburu data-data tentang Mbah Mutamakkin. Meliputi manuskrip kuno, artefak, maupun cerita-cerita lokal yang masih bisa digali dari para sepuh," terang Ganu Yahya, Ketua Perpustakaan Mutamakkin.
"Rutinitas tersebut tetap dilakoni. Mengalir begitu saja. Tanpa menghiraukan keterbatasan. Justru keterbatasan itu menjadi pelecut kami untuk tetap berkarya," imbuh pria yang sehari-hari berjualan pakaian ini.
Misalnya, kata Ganu, saat membutuhkan kamera untuk mendokumentasi manuskrip yang telah ditemukan, seorang anggota dengan senang hati meminjamkan kameranya. Begitu juga saat hendak kumpul membahas hasil temuan di lapangan. Seorang anggota dengan senang hati mempersilakan njagong di kediamannya.
"Kira-kira begitulah cara kerja kami. Kami berjalan dengan semangat yang sama: nguri-uri kampung halaman," imbuhnya.
Pada prinsipnya, semangat untuk nguri-uri kampung halaman tetap menyeruak. Ganu bertutur, Perpustakaan Mutamakkin adalah komunitas yang dibentuk pada 2014 untuk bersilaturahmi, bertukar gagasan dan cita-cita. Beragamnya kegiatan yang telah sukses digelar, seperti pengajian, bazar buku,dan beberapa pelatihan softskill, akhirnya mendorong mereka untuk menciptakan sebuah wadah baru di bawah naungan Perpustakaan Mutamakkin.
"Wadah baru ini lebih spesifik digunakan sebagai arena berkarya di ranah intelektual dan kebudayaan. Khususnya menggali khasanah sejarah, keilmuan, maupun ajaran-ajaran luhur Mbah Mutamakkin," terangnya.
"Begitu juga tentang khasanah keilmuan dan riwayat para sesepuh Desa Kajen dan sekitarnya. Sebagai Kota Santri, tentunya Kajen menyimpan banyak hal yang perlu digali dan dilestarikan," ujarnya.
Adalah 'Kanjengan', atau Kaneman Kajen Jonggringan. Seperti namanya, wadah ini merupakan kumpulan dari para muda-mudi Kajen. Sementara jonggringan diambil dari kata Jonggring Seloka. Tempat bersemayamnya para dewa. Tempat penyucian, penggodokan dan pangleburan, kawah candradimuka.
"Dengan demikian, wadah baru ini adalah semacam ruang pertemuan untuk melebur jarak, antara yang lampau dan yang kini, untuk menggurat yang menjelang," jelas Farid Abbad, Koordinator Kanjengan.
Beberapa kegiatan awal yang telah dilakukan, kata Farid, antara lain melakukan penelusuran manuskrip maupun artefak di Desa Kajen, diskusi bulanan, workshop, serta menerbitkan buletin bulanan. Buletin akan rutin menyajikan temuan-temuan para muda-mudi Kajen ikhwal hikayat dan ajaran Mbah Mutamakkin yang telah ditemukan dan didiskusikan bersama.
"Selain itu juga disajikan informasi aktual seputar Kajen, karya-karya para santri, juga isu-isu aktual seputar kebangsaan dalam kacamata Kajen. Kami juga telah merilis film pendek tentang Kajen, kebetulan teman-teman juga suka film, ini coba kita wadahi dan kembangkan," tandasnya.
"Kanjengan juga bermaksud melanjutkan semangat para kiai Kajen terdahulu. Dulu ada forum diskusi di Kajen, Roudlotul Musyawaroh. Dulu pada era Mbah Sahal Mahfudz masih ada. Beberapa dokumentasi dalam musyawarah tersebut juga telah kami kaji sebagai inspirasi," terang Wakil Pengasuh Pesantren Al-Roudloh ini.
Editor: Kendi Setiawan