Daerah

KH Sholihin Pasinan Wetan, 'Kiai Sumur' yang Gemar Manaqiban

Selasa, 26 Desember 2017 | 17:05 WIB

Mojokerto, NU Online
Kehidupan masyarakat Dusun Pasinan Wetan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis, Mojokerto, Jawa Timur yang menjadi guyub (akrab, bersahabat) tidak lepas dari peran kiai sepuh yang senantiasa memberikan arahan serta mengayomi. Sosok KH Sholihin,mampu memberikan warna baru di kalangan masyarakat Dusun Pasinan. Pribadinya yang bersahaja dan supel menjadikannya mudah menempatkan diri dengan berbagai lapisan masyarakat.

KH Sholihin adalah putra dari pasangan Abdul Hadi dan Nur Jannah. Ia dilahirkan pada 2 September 1958. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu agama kepada KH Abu Hasan Hamzah di Sidoarjo.

Ada hal unik semasa nyantri; ia tidak mondok layaknya santri pada umumnya, akan tetapi datang secara langsung kepada KH Abu Hasan Hamzah di rumahnya. Ia berangkat dari Jetis, Mojokerto menuju Ngelom Sepanjang, Sidoarjo menggunakan sepeda pancal. Jarak yang jauh dan di tengah keterbatasan, tidaklah mengendurkan semangatnya dalam menuntut ilmu.

Ilmu yang diberikan oleh KH Abu Hasan Hamzah tidak seperti yang diberikan kepada santri lainnya. Kiai Sholihin diwarisi ilmu hikmah. Ilmu hikmah menuntut pengamalnya berpuasa sambil mengamalkan wirid. Hal demikian dilakukan oleh KH Sholihin hingga KH Abu Hasan Hamzah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sekitar tahun 1993.

Karena keluwesan ilmunya, masyarakat setempat menyebut KH Sholihin dengan julukan Kiai Sumur. Tidak hanya mahir dalam bidang ilmu hikmah dan agama, akan tetapi ilmu politik dan kepemimpinan juga ia kuasai.

Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk Nahdlatul Ulama (NU). KH Sholihin aktif dan berperan penting dalam organisasi NU sebagai Ketua Tanfidziyah MWCNU Jetis 2005-2015; kemudian Rais Syuriyah Jetis tahun 2015 sampai sekarang.

Adanya dorongan rasa cinta dan peduli kepada generasi penerus NU, membuatnya memilih mendirikan pendidikan TPQ dan MDTA Al-Furqon pada tahun 1995. Kedua tempat pendidikan itu dia jadikan ajang mensyiarkan agama kepada para siswa usiak kanak-kanak hingga remaja.

Seiring pejalanan waktu, jumlah santri pun semakin banyak. Kiai Sholihin mengajar seusai shalat subuh. Sementara waktu mengajar setelah shalat ashar dan maghrib ia dibantu oleh Ustadz Abdul Wahib.

Pada tahun 1997, ia memanggil seorang guru dari luar daerah yaitu Ustadz Bahrul Ulum yang berasal dari Kecamatan Kutorejo. Penambahan tenaga pendidik menyebabkan lembaga pendidikan Al-Furqon berjalan pesat. Pendidikan yang diajarkan meliputi pembelajaran Al-Qur'an hingga kitab kuning klasik.       

Berkat ketekunan dalam mendidik santrinya, banyak bermunculan kader pemuda militan.

"Jika sejak dini sudah ditanamkan pendidikan agama pada hati mereka, meski anak itu (terlihat) nakal, niscaya pasti akan kembali baik lagi," terang KH Sholihin di kediamannya, Selasa (25/12).

Biasakan Manaqib
Di balik kiprahnya di NU dan masyarakat, ada sisi yang menarik dari sosok KH Sholihin. Ia merupakan sosok yang gemar melakukan istighotsah dan manaqib. Salah satu amaliyah yang terus diamalkan KH Sholihin yaitu membaca Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jailani.

Manaqib ini rutin dilaksanakan bersama warga kampung. Sering pula ada teman bahkan orang yang tidak dikenalnya berkeinginan mengadakan manaqib di rumah mereka dengan syarat KH Sholihin yang memimpin.

Setiap menyambut tamu termasuk saat manaqiban, Kiai Sholihin sangat memperhatikan betul jamuan yang akan dihidangkan.

"Penyuguhan itu dalam rangka memuliakan tamu karena memuliakan tamu termasuk salah satu tanda dari kesempurnaan keimanan. Mengajak orang dalam hal kebaikan itu sulit," ujar Kiai Sholihin.

Ia pun sering menyisihkan sebagian harta pribadi untuk berjuang mengajak orang dalam kebaikan. Dakwah yang ia jalankan dengan cara yang halus sehingga bisa diterima dengan baik oleh berbagai kalangan.

Kiai Sholihin sering berkata, keistimewaan membaca manaqib memiliki berkah yang sangat luar biasa.

"Para wali merupakan hamba-hamba yang shaleh, dekat dengan Allah, dan dipilih oleh Allah sendiri. Karena mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah maka sudah sewajarnya jika kita mencintai mereka," kata Kiai Shlihin.

Dengan membaca manaqib, seseorang mengetahui keshalehan dan kebaikan wali. Hal ini tentunya akan menambah kecintaan kita. (Nuruddin/Kendi Setiawan)


Terkait