Kudus, NU Online
Santri Lasem, Rembang, Jawa Tengah bernama Wasis Saifur Rosyid (31) ini memantapkan hati untuk terus berdakwah. Selepas lulus dari pesantren di tahun 2018, ia mengabdikan dirinya kepada masyarakat di desanya, yakni Leran Kulon, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Ia memulai pengabdiannya dengan membentuk sebuah komunitas yang ia beri nama Paguyuban Santri Kalong Palang. Saat ini paguyuban telah berganti nama menjadi Santri Kalong Nusantara.
Seiring berjalannya waktu, alumnus Pesantren Al Hidayat Lasem itu banyak dibantu pemuda desa sekitar membuka tempat mengaji di sembilan tempat. Ia sendiri memilih untuk mengajar di Dusun Sidorejo, Desa Ngimbang, Kecamatan Palang, Tuban. Berjarak kurang lebih 7 km dari rumahnya, setiap hari Selasa malam Rabu ia mengajar di mushala wakafan yang sebelumnya tampak sepi dan tidak terurus. Letaknya berada di dekat hutan serta dikelilingi pohon aren yang cukup banyak.
"Mulai Maghrib sampai jam 9 malam saya mengajar di sana. Setelah Maghrib untuk anak-anak dan dewasa, setelah Isya biasanya orang dewasa juga dan biasanya saya tambahi ngaji bab akhlak. Kemudian sekitar jam 9 malam untuk orang tua semua, dan biasanya saya tambahkan tasawuf," ungkapnya kepada NU Online, Rabu (30/6).
Ia mengatakan dengan suka rela membantu masyarakat setempat yang haus akan ilmu agama, khususnya dalam hal mengaji dan mempelajari kalam Tuhan yang begitu agung, yakni Al-Qur’an. Banyak masyarakat yang jauh-jauh datang dari rumah menuju ke tempat ngaji yang pertama kali dibuatnya di Desa Lerankulon. Ia pun terketuk hati untuk membuka sejumlah tempat mengaji di desa-desa sekitarnya.
Dibantu pemuda desa setempat yang telah dulu ikut mengaji di daerah lain, ia bergegas membuka pengajian. Hingga akhirnya mereka berhasil menghidupkan tiga tempat mengaji di Desa Ngimbang. Mendirikan tempat mengaji di sana terbilang tidak mudah. Pasalnya, keadaan sekitar mushala saat itu masih diwarnai keadaan masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Namun, perlahan dan pasti, beberapa masyarakat mulai membuka mata dan mengikuti pengajian yang dibuatnya.
Ia mengaku berbagai pendekatan dilakukan, di antaranya bersilaturrahim kepada warga sekitar dan tokoh masyarakat. Selain itu tidak lupa ia menjalankan berbagai tirakat dan berdoa kepada Allah memohon kemudahan dan kelancaran.
Wasis, sapaan akrabnya, menceritakan kisah pertama kali saat mengajar di Dusun Siderojo, Desa Ngimbang tersebut. Dengan basah kuyup serta melewati jalanan yang masih berupa tanah, ia terus menyusuri jalan yang dipenuhi genangan air saat turun hujan. Ia mendatangi tempat tersebut dengan membawa secercah asa untuk membantu masyarakat dapat mengenai, mencintai dan memuliakan Al-Qur’an.
"Meskipun turun hujan, keinginan masyarakat untuk mengaji sangat tinggi. Dengan kondisi di sana saat itu belum ada Al-Qur’an, namun mereka terlihat sangat ingin belajar agama. Sehingga saya bersama teman-teman dulu pertama kali hanya bisa memberikan bantuan tiga buah Al-Qur’an dan Juz Amma agar bisa dimanfaatkan," ungkapnya.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Kendi Setiawan