Daerah

Kurikulum 2013 Harus Ditunda

Selasa, 14 Mei 2013 | 15:00 WIB

Sidoarjo, NU Online
Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, kurikulum baru yang sedang dipersiapkan pemerintah, seharusnya ditunda pemberlakuannya hingga tahun depan. Ia menilai dunia pendidikan belum siap.  
<>
Ia menilai Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dulu gagal karena masyarakat belum siap. CBSA mengajarkan murid sikap kritis, sementara kalangan orang tua belum siap.

“Ketika murid bersikap kritis, seringkali justru memicu benturan dengan orangtua yang masih bersikap konservatif,” imbuhnya pada forum kajian ilmiah “Arah Pendidikan Nasional di Era Global” yang diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Jawa Timur di The Sun Hotel, Selasa (14/5).

Kehebohan yang melingkupi penerapan wacana kurikulum baru, sebenarnya lebih disebabkan ketidaksiapan guru. “Mayoritas guru baru memahami KTSP, tiba-tiba ada rencana perubahan menjadi Kurikulum 2013 ini,” tandasnya.

Menurut salah seorang tim perumus kurikulum yang ditunjuk Mendikbud ini, kurikulum yang diberi label Kurikulum 2013 tersebut adalah kombinasi cara belajar siswa aktif (CBSA) dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), “Jadi, Kurikulum 2013 bukanlah sesuatu yang sama sekali baru.”

Namun, pria yang akrab dipanggil Tyas ini juga memberikan syarat untuk pemberlakuan kurikulum baru. Ia mendukung jika evaluasinya tidak melalui Ujian Nasional (UN), “Saya setuju UN, sepanjang tidak dimaksudkan untuk penentu kelulusan. Tapi hanya sebagai alat pemetaan kualitas. Kalau kurikulum baru diterapkan, tapi evaluasinya menggunakan metode UN yang sekarang, berarti ada inkonsistensi,” tegasnya.

Sebagai alat pemetaan, pelaksanaan UN tidak mesti di ujung (kelas akhir). Tapi bisa di tahun kedua. Pelaksanaannya juga tidak harus tiap tahun, tapi bisa dua tahun sekali. Hasilnya, sekolah yang nilai hasil UN-nya rendah, justru harus disupport oleh pemerintah dengan dukungan anggaran dan program.

Sehingga, pada tingkat tertentu, akan terjadi pemerataan kualitas pendidikan. “Kalau seperti sekarang, hasil UN justru memicu kesenjangan antara sekolah maju dan sekolah pinggiran. Yang menjadi korban adalah sekolah pinggiran,” imbuhnya.

Dengan cara itu, pendidikan akan berkontribusi dalam terciptanya ketahanan nasional dan ketahanan sosial. Kalau pendidikan hanya memicu kesenjangan, akan muncul kecemburuan dan hilangnya solidaritas antara si kaya dan si miskin. “Karena alasan itu pula, saya dan teman-teman menolak RSBI. Sebab, RSBI justru menciptakan kesenjangan dan kastanisasi di masyarakat,” tuturnya.

 

Redaktur        : Abdullah Alawi
Kontributor    : Syaifullah Ibnu Nawawi


Terkait