Daerah

LKNU Aceh Berikan Layanan Kesehatan dan Trauma Healing untuk Warga Terdampak Bencana

Selasa, 23 Desember 2025 | 21:45 WIB

LKNU Aceh Berikan Layanan Kesehatan dan Trauma Healing untuk Warga Terdampak Bencana

Trauma helaing bagi warga terdampak bencana di Aceh oleh LKNU Aceh. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Bireuen, NU Online

Pagi itu udara masih sejuk dalam balutan awan mendung. Kota Madani Banda Aceh tampak menyimpan sisa kelelahan pascabencana. Langit kelabu seakan belum sepenuhnya ikhlas melepas hujan yang beberapa pekan sebelumnya turun tanpa ampun. Dari kota inilah rombongan Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Aceh memulai perjalanan kemanusiaan menuju Samalanga, Bireuen, Aceh.


Rombongan yang dipimpin Ketua LKNU Aceh Neli Ulfiati itu menempuh jalur panjang penuh luka, melewati kawasan Seulawah, ruas jalan tol, hingga bentangan jalan nasional yang di sejumlah titik masih dipenuhi tenda pengungsian. Perjalanan menuju Pidie Jaya dan Samalanga, wilayah yang terdampak parah banjir bandang dan longsor 26 November 2025, menyuguhkan pemandangan yang menggetarkan hati.


Rumah-rumah rusak, lumpur mengering di dinding, sisa batang kayu tersangkut di tepi jalan, serta wajah-wajah letih warga yang perlahan berusaha bangkit dari keterpurukan. Deretan tenda pengungsian di pinggir jalan menjadi penanda bahwa musibah belum sepenuhnya berlalu.


“Kami berangkat bukan hanya membawa obat dan alat kesehatan, tetapi juga amanah kemanusiaan,” tutur Neli Ulfiati kepada NU Online, Ahad lalu.


“Dalam situasi bencana, hadir, mendengar, dan menenangkan batin adalah bagian penting dari penyembuhan. Santri, guru, dan para sesepuh dayah membutuhkan itu,” imbuhnya.


Setibanya di Samalanga, rombongan disambut suasana yang bukan hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga kelelahan batin yang sulit terucap. Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, yang diasuh Abu Syekh H Hasanoel Basri HG (Abu MUDI), Mustasyar PBNU, sempat diterjang air berlumpur hingga memasuki ruang-ruang pendidikan.


Lebih dari dua ribu santri masih bertahan di tengah keterbatasan. Sebagian asrama sempat terendam, ruang belajar menyisakan aroma lumpur, dan aktivitas harian terganggu. Namun sebagaimana watak dayah, kesabaran menjadi napas, doa menjadi pegangan.


Di tengah situasi itu, kehadiran tim LKNU Aceh menghadirkan suasana berbeda. Tanpa hiruk-pikuk, halaman dayah perlahan berubah menjadi ruang harapan. Santriwan dan santriwati berbaris rapi, sebagian masih mengenakan sandal dengan jejak lumpur yang belum sepenuhnya hilang. Tim LKNU Aceh tidak hanya menyalurkan bantuan dan obat-obatan, tetapi juga memberikan pelayanan kesehatan serta pemulihan psikososial (trauma healing) bagi para santri.


Di antara tim medis, tampak dr Makmur yang sejak pagi hingga menjelang Ashar melayani pasien tanpa jeda berarti. Dengan senyum yang nyaris tak lepas dari wajahnya, ia berpindah dari satu santri ke santri lain, menyapa dengan lembut, menenangkan sebelum memeriksa.


“Yang datang ke sini bukan hanya tubuh yang sakit,” ujarnya pelan sambil memeriksa tekanan darah seorang santri.

 

“Banyak dari mereka menyimpan cemas, takut saat hujan turun, dan lelah karena harus kuat di usia yang masih sangat muda. Tugas kami bukan sekadar mengobati, tetapi menenangkan,” katanya.


Setiap pasien disambut dengan sapaan ramah. Santri kecil yang tampak gugup dibuat tersenyum sebelum jarum suntik dikeluarkan. Dewan guru dan para sesepuh dayah, yang biasanya memberi nasihat, kini duduk sebagai pasien, dilayani dengan penuh hormat.


“Santri adalah amanah umat. Jika sehat jasmani dan jiwanya, insyaallah ilmu akan tumbuh dengan baik,” lanjut dr Makmur.


Kegiatan ini juga dihadiri Ketua PWNU Aceh Tgk H Faisal Ali (Abu Sibreh) yang membersamai rombongan sebagai bentuk dukungan jam’iyah. Kehadiran para ulama mempertegas pesan bahwa kerja kemanusiaan adalah napas Nahdlatul Ulama, hidup dalam tindakan, bukan sekadar slogan.


Mustasyar PBNU melalui jajaran pimpinan Dayah MUDI menyambut langsung rombongan LKNU Aceh. Abi MUDI tidak hanya menyapa, tetapi juga ikut menjalani pemeriksaan kesehatan dan berdialog dengan tim medis.


“Banjir bandang ini bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga batin. Healing bagi santri sangat mendesak,” ujar Abi MUDI.

 

“Kami bersyukur LKNU Aceh hadir tidak hanya dengan bantuan dan layanan kesehatan, tetapi juga dengan pendekatan yang menenangkan,” katanya.


Pendekatan serupa juga dilakukan Dokter Lukman bersama tim LKNU Aceh. Mereka hadir bukan sekadar sebagai tenaga medis, tetapi sebagai sahabat bagi para penyintas. Dengan jas sederhana dan nada bicara yang menenangkan, mereka membuka ruang percakapan, mendengarkan cerita tentang hujan yang memicu kecemasan, malam-malam tanpa tidur, dan rasa takut yang tersisa.


“Kadang yang paling dibutuhkan bukan obat, tetapi didengar,” ujar Dokter Lukman.


Bersama dr Makmur, Agus Agandi, Muhammad Khaidir, Amrida, dan Mauliyanti, ia menghidupkan ruang healing sederhana di sudut dayah. Anak-anak diajak tersenyum, remaja dilibatkan dalam aktivitas ringan, sementara guru dan sesepuh diberi ruang menenangkan batin. Sentuhan humanis menjadi kunci: sapaan ramah, senyum tulus, dan doa di setiap akhir pertemuan.


Menjelang sore, aktivitas pemeriksaan perlahan ditutup. Tim medis tampak letih, namun senyum tak benar-benar hilang. Di sela berkemas, dr Makmur berkata lirih, “Kami pulang membawa rasa syukur. Hari ini kami belajar bahwa senyum dan doa santri adalah energi terbesar bagi tenaga medis.”


Langit Samalanga sore itu berwarna keemasan. Lumpur masih ada, luka belum sepenuhnya sembuh, tetapi harapan tumbuh perlahan. Doa bersama menutup rangkaian kegiatan. Atas nama Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Abi MUDI kembali menyampaikan terima kasih atas kehadiran dan pengabdian tim LKNU Aceh.


Di antara lumpur dan doa, LKNU Aceh menunjukkan bahwa pengabdian sejati bukan hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga merawat jiwa. Dari Kota Santri Samalanga, pesan itu bergema: saat musibah datang, kemanusiaan adalah obat paling mujarab,dan NU selalu memilih hadir bersama umat.