Nahdliyin Soroti Penggunaan Gajah untuk Angkut Puing Pascabencana di Pidie Jaya
Senin, 15 Desember 2025 | 11:00 WIB
Pidie Jaya, NU Online
Penggunaan gajah Sumatra sebagai penarik puing di lokasi banjir bandang Gampong Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, memantik perdebatan di tengah masyarakat. Meski Kementerian Kehutanan menyatakan pengerahan gajah telah melalui perencanaan matang dan memperhatikan prinsip kesejahteraan satwa, sejumlah tokoh muda Nahdliyin di Pidie Jaya menyampaikan catatan kritis.
Dua tokoh muda Nahdliyin Pidie Jaya, Tgk Barral Muharram dan Tgk Masrur, menilai bahwa penggunaan gajah dalam penanganan bencana perlu dikaji secara lebih bijak, tidak hanya dari sisi efektivitas teknis, tetapi juga dari aspek etika dan konservasi satwa.
Tgk Barral Muharram menyampaikan bahwa kondisi darurat bencana tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengorbankan satwa dilindungi. Menurutnya, gajah memiliki peran ekologis yang penting dan harus dijaga keberlangsungannya.
“Penanganan bencana memang bersifat darurat, tetapi bukan berarti kita boleh mengorbankan makhluk lain. Gajah adalah satwa lindung. Keterbatasan alat berat jangan sampai menjadikan satwa sebagai alternatif,” ujar Bendahara PC GP Ansor Pidie Jaya itu, Jumat (12/12/2025).
Ia menilai, keterlibatan gajah di lokasi bencana justru mencerminkan lemahnya kesiapsiagaan pemerintah daerah. Menurutnya, Pidie Jaya bukan kali pertama mengalami banjir bandang, sehingga semestinya terdapat skenario penanganan darurat yang lebih matang, termasuk ketersediaan alat berat.
“Ini bukan semata soal gajah, tetapi soal kesiapsiagaan. Bencana yang berulang seharusnya membuat kita semakin siap, bukan mengulang pola yang sama,” tegasnya.
Pandangan senada disampaikan oleh Tgk Masrur, mantan Ketua GP Ansor Pidie Jaya. Ia mengapresiasi kerja para petugas di lapangan, namun mengingatkan bahwa percepatan pembersihan puing tetap harus memperhatikan batas kemampuan biologis satwa.
“Kami menghargai upaya KSDA dan seluruh pihak. Namun gajah tetap makhluk hidup yang bisa mengalami stres dan cedera. Jangan sampai niat baik justru berujung pada risiko keselamatan satwa,” ujarnya.
Ia menambahkan, situasi bencana tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga pada satwa yang kehilangan habitat akibat kerusakan lingkungan. Karena itu, penanganan bencana seharusnya tidak menambah beban bagi satwa dilindungi.
“Bencana ini sudah berat bagi manusia. Jangan sampai kita juga menambah penderitaan satwa yang sama-sama terdampak,” katanya.
Menurut Tgk Masrur, Aceh memiliki sumber daya relawan yang cukup untuk bekerja di medan sulit. Yang dibutuhkan, lanjutnya, adalah koordinasi yang cepat serta dukungan alat berat sesuai prioritas wilayah terisolasi.
“Kekuatan relawan manusia itu besar. Tinggal bagaimana manajemen dan alat berat bisa digerakkan secara serempak,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata, menjelaskan bahwa pengerahan empat gajah jinak, Abu, Mido, Ajis, dan Noni, telah melalui survei dan pertimbangan keamanan satwa. Ia menegaskan bahwa aspek kesejahteraan gajah tetap menjadi perhatian utama.
“Gajah diangkut menggunakan truk langsir menuju titik penanganan untuk menghindari stres sebelum bekerja di area terdampak. Seluruh proses dilakukan dengan pengawasan,” jelasnya.
Meski demikian, keterlibatan satwa dilindungi dalam pekerjaan berat tetap menuai sorotan publik. Di Pidie Jaya, suara kritis dari tokoh muda Nahdliyin menjadi pengingat bahwa penanganan bencana tidak hanya membutuhkan kecepatan, tetapi juga kesiapsiagaan yang lebih baik, pendekatan yang manusiawi, serta komitmen menjaga kelestarian satwa di masa depan.