Jember, NU Online
Hari Santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober 2018, merupakan bukti pengakuan pemerintah terhadap jasa-jasa santri dalam membangun bangsa maupun saat berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Demikian diungkapkan A’wan PWNU Jawa Timur, H. Babun Suharto kepada NU Online di Jember, Senin (15/10) malam.
Menurutnya, peran santri dan kiainya sungguh tidak kecil bagi lahirnya NKRI (Negara Kesantuan Repbulik Indonesia). Mereka ikut berdarah-darah dalam memperjungkan, menjaga dan merawat NKRI.
“Itu adalah realitas sejarah yang tak bisa dibantah,” tukasnya.
Oleh karenanya, lanjut Babun, jika akhirnya pemerintah mengapresiasi peran santri dengan menetapkan Hari Santri, itu adalah suatu kewajaran.
Yang penting diingat bahwa dalam peringatan Hari Santri tidak semata-mata dieksplorasi kegiatan seremonial dengan melibatkan jutaan santri, tapi juga sebagai momentum untuk memastikan pesantren tetap sebagai penjaga moral, yang melahirkan kader-kader ikhlas dalam membangun bangsa.
“Itu tugas pesantren yang tak boleh dilupakan,” jelas Rektor IAIN Jember tersebut.
Untuk itu, pesantren tidak perlu terlalu aktif menceburkan diri dalam genangan politik praktis. Pengasuh pesantren tidak harus menjauhi politik, tapi perlu menjaga jarak dengan kekuatan politik untuk menjaga kemurnian cita-cita pesantren.
“Kalau semua pengasuh pesantren sudah berafiliasi dan terkotak-kotak dalam kapling-kapling politik, tentu ada yang terabaikan, yaitu hilangnya fokus dalam pembinaan santri,” tambah H Babun.
Mantan Ketua PC GP Ansor Jember itu mengaku setuju ulama dan umaro menjalin sinergi. Namun sinergitas itu harus diletakkan secara paralel dan proporsional.
“Jangan sampai dikesankan ulama butuh umaro. Seharusnya umaro yang butuh ulama,” urainya (Red: Aryudi AR).