Tradisi Sedekah Bumi dan Jamasan Pusaka Bende Satukan Keragaman Masyarakat di Bumijawa
Selasa, 29 Oktober 2024 | 08:30 WIB
Tradisi Sedekah Bumi dan Jamasan Pusaka Bende di Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. (Foto: dok. istimewa/Suci Amaliyah)
Kabupaten Tegal, Jawa Tengah dikenal dengan julukan sebagai Jepang-nya Indonesia berkat industri logam. Letaknya yang strategis sebagai penghubung jalur perekonomian lintas nasional dan regional menjadikan daerah ini berkembang pula menjadi sentra industri dan perdagangan.
Kabupaten Tegal juga dikenal pula dengan beragam seni dan budaya. Ketergantungan dengan alam dan hasil bumi, membentuk masyarakat desa setempat sangat menjaga keasrian dan kelestarian sumberdaya alam di sekitarnya.
Di Bumijawa, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Slamet ini dikenal sebagai desa penghasil sayur-sayuran, buah-buahan, teh, kayu, maupun kopi terbesar di Kabupaten Tegal. Sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa karena telah diberkahi alam yang menopang kelangsungan kehidupan mereka masyarakat setempat memiliki sebuah tradisi atau perayaan adat.
Misalnya, di Desa Cawitali, Bumijawa. Setiap Muharram masyarakat menggelar sedekah dan ruwat bumi di petilasan Syekh Siti Jenar. Penyelenggaraan ruwat bumi dimulai dengan tahlil dan doa bersama, esok harinya arak-arakan atau karnaval, memotong kambing kendit hingga grebek gunungan hasil bumi.
Ruwatan ini mengandung makna menjaga, melestarikan dan merawat, serta nguri-uri budaya Jawa. Ruwatan sebagai penghormatan kepada para leluhur, para pendahulu yang telah mewariskan kekayaan alam kepada anak-cucunya berupa hamparan lahan pertanian yang tetap subur, udara dan air yang tidak tercemar, serta hutan yang terjaga kelestariannya.
Tradisi Jamasan Pusaka Bende
Masih di Bumijawa, terdapat tradisi Jamasan Pusaka Bende. Tradisi ini sudah berjalan ratusan tahun sebagaimana tertulis di Manuskrip Belanda pada 1902. Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan berupa mengalirnya mata air bulakan yang hingga saat ini dapat mengaliri perkebunan serta kehidupan di Desa Bumijawa, dan juga menjadi sumber mata air untuk keperluan PDAM serta perusahaan air minum daerah di Tegal. Pelaksanaannya dilakukan setiap tanggal 10 Maulud/Rabiul awal oleh masyarakat Desa Bumijawa dan pemerintah desa setempat.
Jamasan berasal dari bahasa krama inggil (bahasa Jawa pada tingkatan paling tinggi), yakni jamas yang memiliki arti menyucikan, membersihkan, memandikan, merawat maupun memelihara. Hal tersebut merupakan bentuk rasa terima kasih, menghormati dan menghargai adanya peninggalan suatu karya seni budaya leluhur kepada generasi selanjutnya.
Sedangkan bende merupakan sejenis gong kecil pada gamelan Jawa yang terbuat dari perunggu atau tembaga. Suara khas dapat dihasilkan dari bende ketika dipukul pada permukaan perunggu atau tembaga tersebut.
Bende Camuluk diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai celah munculnya sumber air yang kini disebut dengan Tuk Jimat Kali Bulakan. Masyarakat Bumijawa rutin menjamas Bende Camuluk setahun sekali bertepatan dengan peringatan maulid nabi pada keesokan harinya.
"Jadi ini tradisi Maulid Nabi diiringi membawa benda pusaka untuk dicuci," kata Pengurus Penggiat Cagar Budaya Bumijawa (Pagar Bumi) Ari Sanjaya diwawancarai NU Online, Senin (28/10/2024).
Latar belakang tradisi itu berasal dari sejarah Bumijawa sebagai satu wilayah yang masuk peradaban Hindu-Buddha hal ini ditunjukkan dengan beberapa bukti masih ada Candi Batur, Candi Dandang, Candi Siwa. Ada pula bangunan zaman megalitikum dan kapitayan.
Di desa tersebut terdapat salah satu sumber mata air yang keramat dan bersejarah. Sumber mata air tersebut di kenal dengan Mata Air Bulakan atau masyarakat biasa mengenalnya dengan sebutan Tuk Jimat Kali Bulakan.
Menurut juru kunci Mata Air Bulakan Siswoyo sejarah Mata Air Bulakan atau Tuk Jimat Kali Bulakan ini dimulai ketika Desa Bumijawa mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang panjang, sehingga menyebabkan masyarakat kekurangan air minum bahkan sawah dan lahan pertanian yang ada di Desa Bumijawa mengalami kekeringan. Sumber mata air ini ditemukan oleh pendakwah Sunan Mayakerti atau Mbah Camuluk.
Sumber mata air bulakan ini sangat berjasa untuk warga masyarakat Desa Bumijawa, akan tetapi manfaatnya juga dirasakan oleh masyarakat yang ada di Kabupaten Tegal sebagai sumber air minum melalui perusahaan air minum yang menyalurkan air dari sumber mata air ke seluruh masyarakat kabupaten Tegal.
"Tradisi ini jadi ikon Bumijawa karena itu memang sudah berjalan ratusan tahun," tuturnya.
Perkembangan tradisi
Tradisi di Bumi Jawa terus berkembang seiring dengan perubahan zaman, namun tetap mempertahankan pakem-pakem yang ada. Salah satu contohnya adalah Jamasan yang dilakukan di sumber asalnya, Tuk Jimat Kali. Di masa lalu, arak-arakan Bende yang mengelilingi desa menjadi bagian penting, dan saat ini, perayaannya telah dimodifikasi.
Masyarakat membuat replika yang menggambarkan kebaikan seperti masjid, tokoh-tokoh Islam, Ababil, Buraq, sebagai gambaran perjalanan Nabi Muhammad saat Isra Mi'raj yang sebelumnya dibuat dari patung-patung.
Sekitar 48 RT berpartisipasi dalam karnaval, di mana 65 mushala berkontribusi dengan membuat berbagai replika, menciptakan suasana yang lebih meriah dari perayaan Idul Fitri.
"Ini event yang paling dinanti masyarakat Bumi Jawa malah sepertinya lebih meriah ini ketimbang Idul Fitri," jelas Dia.
Mengenalkan Tradisi kepada Generasi Muda
Untuk memperkenalkan tradisi kepada generasi muda, Ari dan rekan-rekannya menginisiasi komunitas Pagar Bumi. Komunitas ini fokus pada cagar budaya dan tradisi serta sejarah. Salah satunya menjaga situs budaya mukai dari Candi, petilasan dan bangunan bersejarah.
"Beberapa mengumpulkan literasi yang ada di Bumi Jawa begitu pula dengan sejarah-sejarahnya secara empiris atau itu data primernya," kata dia.
Sejak tahun 2019, Pagar Bumi berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran pemuda terhadap budaya. Di era digitalisasi ini, banyak generasi muda yang kurang peduli terhadap sejarah dan tradisi. Setiap Sabtu pahing ia bersama rekannya menggelar diskusi kebudayaan yang diberi nama Tanda Tinemu.
Sebelum kegiatan dimulai, ia melakukan reksa situs seperti menelusuri satu tempat bersejarah dan membersihkan candi-candi, dan ekspedisi di salah satu desa yang sudah tidak berpenghuni.
Diskusi ini juga disiarkan langsung melalui media sosial Pagar Bumi dan komunitas literasi se-kabupaten Tegal. Diskusi ini juga berawal dari Bumi Jawa saat ini mengalami perubahan signifikan. Dahulu, masyarakatnya didominasi oleh penduduk asli, namun kini banyak yang merantau dan pendatang baru.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra terkait tradisi. Beberapa masyarakat yang belum memahami nilai-nilai dalam tradisi berasumsi sebagai bentuk kemusyrikan, seperti dalam tradisi Jamasan. Mereka tidak mengerti makna dibalik ritual tersebut dan berpikir tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Melalui diskusi tentang tujuan dan makna Jamasan, perlahan-lahan mereka yang kontra mulai paham. "Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena perlu diskusi kenapa budaya ini masih ada. Misalnya Jamasan ini dilakukan di sumber mata air di mana pusaka benda ini merupakan warisan Mbah Camuluk yang berperan penting menemukan sumber mata air," jelasnya.
Selain itu cara menjaga tradisi terus menumbuhkan kesadaran ekologis bahwa ada air harus dijaga tidak bisa semena-mena kepada alam salah satu nilai-nilainya seperti itu.
Keharmonisan di Tengah Keragaman
Masyarakat Bumijawa mayoritas beragama Islam (sekitar 98 persen), namun terdapat juga beberapa non-Muslim. Menariknya, pro dan kontra sering muncul dari kalangan pendatang. Meskipun ada perbedaan, masyarakat non-Muslim saling menghormati dan berusaha beradaptasi dengan tradisi setempat. Misalnya, saat masyarakat non-Muslim mengadakan acara sunat, mereka mengundang masyarakat setempat untuk gelar doa bersama.
Sebaliknya, ketika umat muslim merayakan Maulid Nabi mereka akan membantu mengulurkan tangan dan meramaikan karnaval. "Bagi saya, Kebudayaan adalah benteng terakhir bagi sebuah bangsa. Di era digitalisasi yang pesat, jika kita tidak mengenal budaya sendiri, kita akan tergerus oleh budaya lain dan kehilangan identitas," kata Ari.
"Penting untuk memahami budaya sendiri agar kita mengetahui siapa diri kita, apa yang harus dilakukan, serta mengenal sejarah. Selain itu, pemahaman budaya juga menumbuhkan kepekaan terhadap sekitar," jelasnya.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI