Fatayat Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, Jawa Timur, pada 24 April 1950 M/7 Rajab 1369 H. Secara hitungan kalender masehi, saat ini Fatayat NU telah genap berusia 72 tahun. Berbagai dinamika organisasi dari masa ke masa telah dilalui sebagai bagian dari sejarah yang tak bisa dilupakan.
Baca Juga
Fatayat NU, antara Realita dan Harapan
Salah satu yang paling bersejarah adalah saat roda pemerintahan berganti dari Orde Lama ke Orde Baru di bawah kepemimpinan totaliter Presiden Soeharto. Ketika itu seluruh organisasi NU termasuk badan otonomnya seperti Fatayat NU mengalami ketidak leluasaan dalam beraktivitas.
Pada masa-masa ini selama kurang lebih 12 tahun, Fatayat NU mengalami masa-masa vakum. Kendati demikian, pengurusnya masih tetap ada, tetapi aktivitasnya tidak berjalan. Ketua Umum PP Fatayat NU pada masa ini adalah Malichah Agus. (Naskah Hasil Kongres XV Fatayat Nahdlatul Ulama, 2016).
Barulah pada 1979, Fatayat NU menggelar Kongres di Semarang. Saat itu, ketua umum yang terpilih adalah Nyai Hj Mahfudhoh Ali Ubaid. Bersama pengurus yang lain, ia mulai membangkitkan Fatayat NU dengan memulai kembali konsolidasi organisasi di berbagai wilayah dan cabang se-Indonesia.
Pada mulanya, konsolidasi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi saat Fatayat NU menjalankan program yang sejalan dengan pemerintah yakni Keluarga Berencana (KB), konsolidasi bisa dilakukan secara lebih leluasa.
Fatayat NU pada masa-masa ini harus berkompromi dengan kebijakan pemerintah, agar tidak mengalami penghancuran sebagaimana yang terjadi terhadap organisasi-organisasi lain yang saat itu bertentangan dengan kebijakan pemerintah.
Baca Juga
Tantangan Fatayat NU
Pemerintah Orde Baru melalui organisasi-organisasi perpanjangan tangannya seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menggalakkan program KB, keterampilan-keterampilan seputar rumah tangga serta kesehatan ibu dan anak.
Organisasi Fatayat pun menyokongnya dengan program serupa. Di antara program yang diikuti Fatayat NU adalah posyandu, apotek hidup, dan dasawisma yang seluruhnya masuk dalam program PKK.
Mendapat penolakan
Pada awalnya, PBNU melarang Fatayat (dan Muslimat) beraliansi dengan organisasi-organisasi yang dibentuk pemerintah Orde Baru seperti PKK, Dharma Wanita, dan Dharma Pertiwi. Hal ini karena pada 1984, melalui Muktamar di Situbondo, NU menetapkan dirinya kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi yang berorientasi pada pengembangan sumberdaya manusia melalui gerakan sosial keagamaan.
Kerja sama Fatayat dan Muslimat dengan organisasi-organisasi yang dibentuk pemerintah Orde Baru itu dikhawatirkan akan mengurangi netralitas NU dalam berpolitik dan diafiliasikan kepada partai politik yang berkuasa saat itu, yakni Golongan Karya (Golkar).
Namun, penolakan PBNU berhasil ditepis oleh dua organisasi perempuan yakni Fatayat dan Muslimat NU. Sebab yang mereka lakukan sebenarnya adalah bagian dari strategi menghidupkan kembali organisasi dengan menggerakkan anggota yang tergabung dalam PKK di seluruh wilayah Indonesia. Anggota PKK di daerah-daerah sebenarnya juga anggota Fatayat atau Muslimat NU.
Kemudian Fatayat NU mulai berkenalan dengan organisasi internasional seperti UNICEF dan ADB. Semula kerja sama dengan penyandang dana organisasi asing ini memperoleh penolakan dari sebagian jamiyah NU karena dianggap bekerja sama dengan ‘orang kafir’. Namun tokoh NU seperti Fahmi D Saifuddin Zuhri dan Nyai Hj Solichah Wahid Hasyim berhasil meredam penolakan itu.
Organisasi Fatayat yang semula berkultur agraris mulai bergerak dan beradaptasi dengan dunia modern yang berorientasi pada kerja-kerja profesional, terencana, dan terukur dengan rencana anggaran yang juga harus jelas.
Organisasi kembali hidup
Dari berbagai kegiatan Fatayat NU yang bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan lembaga internasional ini, Fatayat pada masa-masa ini memulai kembali menghidupkan organisasi secara nasional. Dari dana simpanan hasil kerja sama dengan berbagai badan penyandang dana itu, Fatayat NU berhasil mewujudkan program-program organisasi mulai dari pusat, wilayah, cabang dan ranting.
Program pengaderan pun digiatkan kembali yang dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pengaderan formal yang dilaksanakan sesuai dengan modul pelatihan yang dibuat oleh tim kader PP Fatayat NU. Kedua, pelatihan kader non-formal yang berbentuk pelatihan-pelatihan singkat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan organisasi.
Penulis: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin