KH Bisri Syansuri dan KHAbdul Wahab Hasbullah bersama Jend A.H. Nasution, KH Mahrus Aly dan Habib Alwi Alhadad dalam suatu kesempatan kegiatan NU. (Foto: Ist)
Beberapa hari ini, warga NU kembali berduka setelah mendengar Habib Zein bin Umar bin Smith, salah seorang Mustasyar PBNU wafat. Sebagai ungkapan kehilangan, PBNU menginstruksikan kepada seluruh warganya untuk menyelenggarakan shalat ghaib dan tahlil untuk almarhum.
Sosok habib Zein sebagai Mustasyar menunjukkan bahwa NU adalah organisasi yang selalu cinta dan bersama para dzuriah Rasulullah dari awal berdiri sepanjang perjalanan sejarah hingga saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Jika kita membuka sejarah pada masa pertumbuhan NU, peran habaib yang turut serta menyebarkan dan menanamkan NU di tengah-tengan masyarakat begitu terang benderang.
Sejak Muktamar ke-3 di Surabaya pada 1928, para kiai memutuskan untuk menyebarkan NU ke daerah-daerah dengan mengupayakan pembentukan cabang-cabang. Upaya itu dilakukan dengan lahirnya Lajnatun Nashihin yang diketuai langsung Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Para kiai yang terlibat dalam lajnah tersebut adalah KH Bisri Syansuri, KH Raden Asnawi Kudus, KH Ma'shum, KH Mas Alwi, KH Musta'in, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Halim Leuwimunding, dan KH Abdullah Ubaid. Mereka bertugas menyebarkan NU ke wilayah barat, tengah, dan timur.
Dalam laporan-laporan pers saat itu, KH Abdulhalim Leuwimunding berkunjung ke Menes, Banten pada 1928. KH Abdullah Ubayd turun ke Tasikmalaya pada 1931. KH Abdul Wahab Chasbullah datang ke Batavia pada 1932. Pada tahun yang sama, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (Rais Akbar NU), KH Abdullah Faqih (Wakil Rais Akbar NU) dan KH Bisri Syansuri (A’wan Syuriah NU) serta Kiai Abdul Wahab Chasbullah mendatangi Bandung dan Cirebon (Jawa Barat) serta Sokaraja (Jawa Tengah).
Pada Muktamar ke-4 di Semarang pada 1929, Swara Nahdlatoel Oelama edisi Syawal 1348 H bilangan ke-10 melaporkan, peserta semakin banyak. Jika pada muktamar ketiga hanya diikuti 35 daerah, maka di Semarang diikuti 62 daerah, yang terdiri dari para kiai, habaib, saudagar, cacah, dan para tamu yang tak tercatat di buku registrasi.
Majalah itu merinci peserta Muktamar ke-4 terdiri dari 350 kiai. Sementara para penghulu, para habaib dan para pengiring kiai berjumlah 900 orang. Selain itu terdapat pengurus cabang yang berjumlah 200 orang. Dengan demikian jumlah secara keseluruhan adalah 1.450 orang.
Sebagaimana pada muktamar sebelumnya, pada penutupan, para kiai berkumpul di Masjid Agung Semarang diikuti 10 ribu kaum Muslimin antarsuku, mulai Jawa, Arab, India, Melayu, hingga Madura.
Dengan sejumlah daya upaya para kiai, NU secara organisasi menampakkan pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila pada 1935 mempunyai 68 cabang, maka pada 1939 menjadi 80 cabang. Lalu pada 1942, berkembang lagi menjadi 120 cabang yang tersebar di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Padahal sebelumnya, organisasi ini diperkirakan hanya akan berkembang di lokal Surabaya. Pada kenyatannya, hanya berselang 16 tahun saja telah melebarkan sayapnya ke seluruh pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sebagian Maluku.
Para Habaib dan Persebaran NU di 3 Pulau
Pada masa awal persebaran NU ke Sumatera tak lepas dari peran Habib Abdullah Ghatmayr. Heru Sukadri dalam penelitiannya pada 1985 menyebutkan, Habib Abdullah mengikuti Muktamar NU pertama kali saat berlangsung di Surabaya pada 1928. Namun, data lain menyebutkan bahwa Habib Abdullah Ghatmayr memulai aktivitas di NU sejak 1936. Pendapat yang kedua ini dirasa lebih masuk akal mengingat dia kelahiran 1910. Jika ia hadir di Muktamar ke-3 NU, berarti saat itu ia baru berusia 18 tahun, masih terlalu muda.
Lalu, pada Muktamar ke-7 di Bandung pada 1932, peserta muktamar tak hanya dari Sumatera, tetapi dari Kalimantan, misalnya Haji Sulaiman Kurdi Barabai. Berdasarkan koran Bintang Borneo pada sebuah edisi di bulan September 1933, seorang habib di Kalimantan Selatan waktu itu sudah mengembangkan NU, yaitu Sayid Alwi Al-Kaff Alhinduan.
Di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Ampenan, para habaib dan ulama multietnis menjadi tulang punggung NU pada awal berdiri. Tentang NU Ampenan ini, dimulai dari sebuah organisasi lokal Persatuan Islam Lombok (PIL), sumber lain menyebutkan PUIL atau Persatuan Ulama Islam Lombok pada sekira 1934. Organisasi itu didirikan tokoh dan ulama asal Banjarmasin, Palembang, Arab, dan India. Tokoh-tokoh itu di antaranya TGH Mustafa Bakri, Sayid Ahmad Al-Idrus, Sayid Ahmad Al-Kaf (lihat A. Taqiuddin Mansur, NU Lombok; Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat Disertai Do’a Istighotsah dan Wirid Harian, 2017).
Tokoh dan ulama itu menggabungkan dua aktivitas yang terkenal dalam sejarah penyebaran dan perkembangan Islam. Mereka adalah pedagang di samping berdakwah. Karena itulah, pergaulan mereka dengan berbagai kalangan dan wilayah terbentuk dengan baik. Termasuk dengan pulau Jawa.
Kebiasaan bertemu dengan berbagai kalangan itulah, menyebabkan mereka mendapat pengetahuan tentang organisasi mana yang berhaluan Aswaja, selaras dengan PIL dan yang bukan. Baik di tingkat lokal suatu wilayah, maupun yang telah berkembang di tingkat nasional. Mungkin karena ingin memperkuat jaringan Aswaja yang lebih luas, tokoh dan ulama PIL berniat memasuki organisasi berhaluan Aswaja di tingkat nasional. Dari hasil informasi yang mereka dapat, Nahdlatul Ulama adalah organisasi Aswaja yang telah berkembang luas dan bisa dibilang organisasi yang nasional.
Pada akhir 1934, mereka sepakat untuk memasuki Nahdlatul Ulama dengan menghubungi langsung HBNO (PBNU) di Surabaya dengan menjumpai KH M. Dahlan, pengurus HBNO yang membawahi wilayah timur.
Hasil pertemuan itu, mereka direstui mendirikan NU Cabang Ampenan dengan kepengurusan tokoh dan ulama yang berada di PIL. TGH Mustafa Bakri, Sayid Ahmad Al-Idrus duduk di jajaran Syuriyah, sementara Sayuti (kakak kandung TGH Mustafa Bakri), duduk di Tanfidziyah. Hal serupa terjadi di Kalimantan Selatan, sebuah organisasi bernama Hidajatoel Islamiyah Pantai Hambawang melebur ke dalam NU pada 12-13 November 1936.
Di pulau Jawa sendiri, khususnya di DKI Jakarta, persebaran NU tak lepas dari peran para habib, yaitu Habib Ali Kwitang. Informasi tentang perannya mengemuka pada sebuah diskusi yang diselenggarakan Islam Nusantara Center pada kegiatan Kajian Islam Nusantara dengan tema Manaqib Habib Ali Al Habsyi Kwitang & Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Diskusi tersebut berlangsung 27 April 2019.
Narasumber pada diskusi tersebut mengatakan, NU di DKI Jakarta berdiri atas restu Habib Ali Kwitang. Lalu ia meminta salah seorang muridnya KH Marzuki bin Mirshad untuk mengembangkan NU di Betawi. Namun, sampai tahun 1932, perkembangan NU di Betawi cenderung mandek. Penyebabnya adalah Habib Ali Kwitang sendiri hanya merestui, tetapi tidak mau tercantum namanya di kepengurusan.
Karena kondisi NU di Betawi tidak berkembang, KH Marzuki bin Mirshad mengeluhkannya kepada Habib Ali Kwitang. Sampai kemudian Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri sebagai orang NU pada tahun 1933, atau setahun sebelum Guru Marzuki wafat. Deklarasi tersebut setidaknya diabadikan oleh tiga koran Belanda di antaranya Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië.
Abdullah Alawi, Pemerhati kajian sejarah tinggal di Bandung