Fragmen

Hidup Guru Marzuqi untuk Ngaji

Selasa, 25 September 2012 | 09:03 WIB

Saat matahari naik sepenggalah, asap mulai mengepul dari dapur rumah. Asap yang menjulang, menepuk-tepuk rimbunan pohon Nangka, lalu perlahan memudar. Ia berasal dari tungku yang sedang mengukus Singkong.
<>
Sebentar-sebentar api tungku meletupkan sesuatu. Lidahnya terus merayap dan melahap belahan-belahan kayu bakar yang sebagian masih basah. Kicau burung Cerokcok yang menjejakkan kaki di dahan Nangka, mengaburkan detak-detak letupan api.

Sementara di beranda, sang empunya rumah, yang masyhur dengan sebutan Guru Marzuqi, tengah memberikan tashwir di hadapan belasan santrinya. Ia menghadapi dua kitab berlapik sebuah lekar. Satu terbuka, sedang dibaca. Satu masih tertutup, menunggu dibaca.

Usai pembacaan satu kitab, dua tiga nampan berisi singkong kukus keluar dari balik tirai pintu. Seorang bujang menuangkan teh panas tanpa gula dari cerek besar. Sebentar kemudian gelas-gelas yang berjajar rapi pada sebuah talam besar, terisi seperlunya. Dalam beberapa hitungan, gelas berisi teh tanpa gula sudah sampai di tangan semua hadirin.

Ini merupakan satu hidangan lazim dunia santri di Betawi. Kecuali itu, hidangan semacam ini adalah bentuk penghargaan Guru Marzuqi kepada santrinya yang datang dari sejumlah daerah di Jabodetabek. Maklum, santri Guru Marzuqi kebanyakan orang-orang tua. Mereka juga guru-guru besar di desanya.

Lepas menyantap potongan singkong kukus, mereka melanjutkan kitab lainnya. Mereka sedikit berbincang usai membaca dua kitab. Lalu dengan doa sang guru, mereka bubar entah ke mana membawa diri, keberkahan doa, dan ilmu.

Guru Marzuqi berjalan ke halaman belakang. Mengambil air sembahyang, lalu masuk ke dalam rumah. “Gua mau ngajar dulu di masjid,” kata Guru Marzuqi kepada istrinya di pintu rumah.

Mendekap dua kitab, sang guru berjalan menuju masjid di tetangga kampung. Menyusuri pohon-pohon rindang di kiri-kanan jalan, Guru Marzuqi terus melangkah menikmati kicauan burung. Sesekali guru Marzuqi menerima tawaran mampir dari tetangga.

Sampai di masjid, puluhan santri yang sudah menanti, mengecup bolak-balik tangan sang guru. Mereka melakukannya secara bergantian hingga tidak terasa sang guru sudah duduk di dalam masjid menghadapi kitab terbuka.

Tashwir sang guru atas dua kitab, selesai sebelum beduk Zuhur berdebam. Dalam tashwir, Guru Marqzuqi menyampaikan semua pemahaman yang didapatnya saat mengaji di Mekah dulu. Tidak satu pun pemahaman dari guru-gurunya disembunyikan.

Usai sembahyang Isya, ribuan butir air menitik di atap genting. Kilatan cahaya di langit diiringi suara guntur yang menggelegar. Sedangkan rimbunan daun Nangka di belakang rumah menjadi berat. Warna hijau dan merahnya semakin pekat disapu tetesan air langit.

Di beranda Guru Marzuqi seperti malam biasanya, tetap memberikan tashwir. Kali ini sang guru menghadapi santri-santri berseragam putih menghadapi lekar. Dengan setia mereka mendengarkan sang guru hingga selesai dua kitab. Hanya saja, malam ini tidak ada teh hangat, apalagi singkong kukus.

“Dul, Guru Marzuqi semalam ngajar siapa ya? Semalam kan hujan gelanturan (hujan lebat disertai angin hebat dan sambaran petir), gua kagak lihat guru-guru pada datang ke rumah Guru Marzuqi,” kata Mamat kepada Abdul, tetangga Guru Marzuqi yang mau mengangkut dagangannya ke pasar Meester Cornelis atau Jatinegara di pagi hari.

“Nah iya. Mereka itu siapa? Gua lihat agak samar, sedikit terhalang pagar dan hujan. Yang gua lihat mereka berpakaian putih semua. Itu kagak jamak, kayak di malam-malam biasanya,” sambut Dul sembari menaikkan dagangannya ke atas andong untuk menyusuri jalan berbecek.

“Kalau orang pada kagak datang, terusan siapa dong?”

“Kalau yang gua dengar dari guru-guru, cuman malaikat yang pakaiannya putih-putih begitu,” jawab Dul bertepatan dengan roda andong yang mulai berderak.

Mamat masuk ke rumah. Pertanyaan di hatinya terjawab. Ia cerita kepada istrinya. Siang hari itu, sebuah kabar tersiar luas bahwa Guru Marzuqi mengajar malaikat di malam yang hujan.

Pada saat yang sama, istri Guru Marzuqi menjemur bantal-bantal putih di belakang rumah. Bantal-bantal ini dijemur karena terpaan udara lembab semalam sebagai pengganti para santri yang tidak hadir.

“Abang gua emang doyan baca kitab. Ampe santri kagak datang, tetap aja diakalin caranya dia harus tetap baca kitab,” ujar istri Guru Marzuqi saat memukul kasur yang sedang telentang menghadang matahari.

Riwayat Guru Marzuqi
Guru Marzuqi adalah satu dari sejumlah guru besar di tanah Betawi selain Guru Abdul Majid, Guru Mansur, dan Guru Mughni. Kiai terkemuka di Jakarta Timur ini lahir pada Ahad 16 Ramadlan 1293/1876 di Rawa Bangke, Jatinegara.

Bapaknya bernama Ahmad Mirshad. Ia tidak lain keturunan keempat Sultan Laksana Melayang, salah seorang pangeran dari Kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Sementara ibunya bernama Fathimah binti Syihabuddin Maghrobi al-Maduri, berasal dari Madura dan keturunan Maulana Ishaq Gresik, seorang khatib di Masjid Al-Jamiul Anwar Rawa Bangke.

Usia 12 tahun, ia belajar Alquran kepada H. Anwar. Di usia ke-enam belas, ia belajar kitab kepada seorang keturunan Arab bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Tidak lama kemudian, ia menuntut ilmu di kota Mekah untuk menetap selama tujuh tahun. Di kota ini, Guru Marzuqi menuntut ilmu dari para ulama sepuh. Mereka antara lain Syekh Makhfud Tremasi, Syekh Umar bin Abubakar Bajunaid Alhadrami, Syekh Mukhtar Atharid, Syekh Muhammad Umar Syatha, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abdul Karim Al-Dagestani, dan ulama lainnya.

Dari mereka, ia menimba pelbagai ilmu seperti fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, manthiq (logika), dan lainnya. Ia pun menerima ijazah tarekat Alawiyah dari Muhamad Umar Syatha yang mendapat silsilahnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan.

Pulang ke tanah air, ia mengajar di masjid Al-Jamiul Anwar Rawa Bangke. Guru Marzuqi adalah pembawa organisasi NU di Jakarta. Ia mendengar kabar bahwa KH. Hasyim Asyari, teman mengaji di Mekah, mendirikan organisasi NU di Jawa Timur. Ia pergi ke Jombang untuk mengejar kejelasan tentang NU. Setelah menemukan kesepahaman dari segi fiqih dan akidah, ia mendirikan NU di Jakarta pada tahun 1928. Guru Marzuqi pula yang menjabat Rois Syuriah hingga wafat 1934.

Ia wafat pada 25 Rajab 1352 H, bertepatan dengan 2 November 1934 M. Guru Marzuqi dimakamkan di kompleks Masjid Al-Marzuqiyah, jalan Masjid Al-Marzuqiyah, Cipinang Muara, Jakarta Timur. (Alhafiz Kurniawan)


Terkait