Instruksi KH Wahab Chasbullah saat Belanda akan Kembali Menduduki Indonesia
Sabtu, 17 Agustus 2019 | 23:50 WIB
Baru saja mengumumkan kemerdekaannya, tentara Jepang pun mendatanginya. Dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2000), Bapak Proklamasi itu menceritakan, mereka mengingatkan dirinya bahwa proklamasi kemerdekaan tidak bisa diterima karena dalam perjanjian Jepang dengan pihak sekutu, pemerintahan harus diserahkan sepenuhnya kepada sekutu. Saat itu Belanda (NICA) membonceng tentara sekutu untuk kembali menduduki Indonesia.
Sukarno yang baru saja dibangunkan dari pembaringannya itu menjawab bahwa proklamasi kemerdekaan sudah dilakukan. Seorang tentara Jepang maju seakan mengancam dengan tangannya naik ke pinggang. Tetapi, ia melihat ratusan wajah yang tengah bersiap dengan senjata seadanya, bambu runcing, kapak, sabit, di sekeliling rumah tersebut.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (1985) mencatat, pada mulanya pemerintah Jepang merencanakan tanggal 19 Agustus 1945 sebagai hari sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Namun, manusia hanya berencana, Allah SWT yang memutuskan. Mengutip pernyataan Kiai Ahmad Syatibi di Gedung Waqfiyah NU Sokaraja, Kiai Saifuddin mengungkapkan bahwa segala yang direncanakan manusia tidak bisa mengoyak takdir Ilahi.
Rencana tanggal 19 Agustus 1945 itu telah kedahuluan takdir Allah. Jepang bertekuk lutut pada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 melalui pernyataan resmi Kaisarnya. Kemudian, Sekutu pun mengumumkan kemenangannya. Tetapi, Indonesia pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kiai Saifuddin menyebutnya sebagai wa yaumaidzin yafrohul mukminun, “Pada hari itu, orang-orang Mukmin bersuka cita.”
Ketidaksetujuan sekutu akan proklamasi itu dibuktikan dengan kehadirannya kembali ke tanah yang pernah ia kuasai ratusan tahun. Mereka kembali akan mengerahkan upayanya untuk merebut tanah jajahannya. Belanda dan Inggris pada tanggal 24 Agustus 1945 membuat kesepakatan yang dikenal sebagai Civil Affairs Agreement untuk kembali berkuasa. Pada tanggal 10 September 1945, Jepang mengumumkan penyerahan pemerintahan kepada Sekutu.
Tentu saja, hal itu berarti menganggap pemerintah Indonesia tidak ada. Sejak tanggal 16 September 1945, serombongan orang Belanda di bawah pimpinan Van Der Plas, bekas Gubernur Hindia Belanda di Surabaya, ikut mendarat dengan kapal perang Inggris ‘Cumberland’ yang dipimpin oleh Laksamana Muda W.R. Patterson mewakili Laksamana Lord Luis Mountbatten, Panglima Sekutu di Asia Tenggara.
Para kiai yang mengetahui peristiwa demikian bakal terjadi tentu tidak tinggal diam. Mereka langsung membuat gerakan. KH Saifuddin Zuhri sendiri menceritakan bahwa dirinya menggelar rapat Konsul NU daerah Kedu di kediaman mertuanya yang juga ia tinggali di Purworejo pada akhir bulan September 1945.
Ia menggelar kegiatan tersebut atas perintah dari KH Abdul Wahab Chasbullah saat mengikuti penggemblengan di Jombang sejak tanggal 9 Agustus 1945 sampai lepas merdeka. Saat itu, Kiai Wahab datang bersama anaknya, Muhammad Wahib, dan langsung menaiki podium guna menyampaikan pidato. Kiai Wahab meminta kepada 200 Nahdliyin yang mengikuti pelatihan tersebut agar lekas kembali ke daerah masing-masing guna mempertahankan kemerdekaan Indoneisa.
“Saya instruksikan saudara-saudara segera pulang ke daerah-daerah untuk menyusun perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Allahu Akbar wa lillahil hamdu!”
Saat itu, Kiai Wahab meneriakkan takbir mengabarkan kemerdekaan Indonesia. Menggemalah takbir berulang-ulang dalam acara itu. Ia juga menyebut bahwa kemerdekaan itu betul-betul sebagai pertolongan Allah SWT. “Bi nashrillahi yanshuru man yasyaa’ wa huwal Azizur Rahim, dengan pertolongan Allah, Dia menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya, Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,” katanya.
Pelatihan itu diisi dengan berbagai penguatan spiritual yang dipimpin langsung oleh Kiai Wahab. Ia memberikan ijazah doa Hizbur Rifai dan Shalawat Kamilah dengan segala cara dan tatakramanya. Kedua wirid itu dipilih karena dinilai sangat tepat di tengah situasi yang berkecamuk mengingat saat itu para peserta juga diingatkan bakal terjadi perjuangan yang hebat. Karenanya, bekal kekuatan lahir dan batin harus betul-betul disiapkan pada kegiatan tersebut.
Selain Kiai Wahab, kegiatan itu juga diisi oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri, KH Sahal Mansur, KH M. Dahlan, KH Thohir Bakri, KH Ahmad Munif Bangkalan, KH Abdul Jalil Kudus, dan lain-lain. (Syakir NF)