Seorang Nahdliyin asal Cikampek atas nama Hasboellah berkirim surat kepada Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari pada tanggal 11 Agustus 1938 dan dimuat majalah Berita Nahdlatoel Oelama, Nomor 22 Tahun ke-7, 20 Rejeb 1357/15 September 1938.
Suratnya hanya beberapa baris dari seseorang kepada seseorang itu tidak sesederhana hubungan personal, tapi mencakup sejarah perjalanan NU. Dari isinya, kita bisa mengetahui orang paling dimuliakan Nahdliyin sepanjang sejarah itu, pernah diisukan keluar dari NU. Mari kita simak surat itu:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepada Tuan Guru yang sangat alim yang terhormat di Tebuireng, Jombang.
Hamba menyurat ini tiada ada keperluan, melainkan salam ta'zim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh kepada Tuan Guru, dan hamba minta tolong kepada Tuan Guru, yaitu minta dikirim surat, khabar dari Tuan Guru, apakah betul Tuan Guru sudah keluar dari kepresidenan Nahdlatul Ulama atau tidak. Hamba sangat menunggu khabar dari Tuan Guru, sebab sudah ada beberapa orang menceritakan Tuan Guru sudah keluar.
Hamba yang sangat menunggu khabar dari Tuan Guru.
H Hasboellah, Jatiragas, Cikampek.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sepertinya menganggap pertanyaan seorang Nahdliyin desa itu penting untuk dibalas. Maka, segera ia membalasnya. Balasan itu dimuat pada edisi yang sama di Berita Nahdlatoel Oelama, Nomor 22 Tahun ke-7, 20 Rejeb 1357/15 September 1938:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Kepada Tuan H Hasboellah yang bertempat di Jatiragas, Cikampek.
Membalas surat yang tertulis pada tanggal 11 Agustus 1938 bahwa kabar yang menerangkan keluar saya dari Jam'iyah Nahdhatul Ulama itu tiada betul karena saya tiada pernah menceritakan hal sebagai khabar yang terjadi itu, maka dari itu jangan ragu-ragu lagi bahwa diri saya masih tetap dalam kalangan Jam'iyah Nahdhatul Ulama.
Dan agar supaya menjadi tahu Tuan adanya.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alfaqir ilaihi ta'ala.
Mochammad Hasjim Asj'ari.
Baca Juga
Sejarah NU Menentang Bughot
Khadimu Jam'iyati Nahdhatul Ulama wa thalabatil 'ilmi bi Tebuireng.
Jatiragas 1933
Jatiragas, alamat yang dicantumkan H. Hasboellah pada surat tahun 1938 itu, merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat saat ini. Pada saat itu, desa tersebut masuk ke dalam Keresidenan Batavia atau Jakarta.
Terkait hal itu, bisa ditengok berdasarkan peraturan Hindia Belanda pada Staatblaad 1925 No. 378 tanggal 14 Agustus tentang Provinisi Jawa Barat terbagi ke dalam lima wilayah keresidenan, salah satunya Keresidenan Batavia yang terdiri dari Kabupaten Batavia, Kabupaten Meester Cornelis, dan Kabupaten Karawang. Sementara Karawang pada masa itu mencakup Purwakarta dan Subang saat ini.
Meski nama kabupatennya Karawang, tapi para pengurus NU pada saat itu mendaftarkan cabangnya atas nama Purwakarta, yaitu berdasarkan majalah Swara Nahdlatoel Oelama No 5 tahun ke-4 Rabius Tsani 1352 H, yang memberitakan tentang berdirinya NU Purwakarta pada 1933 selepas berlangsungnya Muktamar ke-9 NU di Jakarta.
Pada lanjutan berita Swara Nahdlatoel Oelama itu dicantumkan susunan pengurus lengkap dengan nama-nama dan asal daerahnya. Ternyata semua pengurus, baik syuriyah maupun tanfidziyah, berasal dari Jatiragas. Padahal sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam peraturan anggaran rumah tangga NU, luas cabang sama dengan luasnya kabupaten.
Kemungkinan besar, pada saat pembentukan kepengurusan yang kemudian dilaporkan kepada HBNO (PBNU), belum melakukan semacam konsolidasi ke daerah sekitarnya sehingga hanya melibatkan kiai setempat.
Pertanyaannya, kenapa NU Cabang Purwakarta dimulai di Jatiragas? Belum ada jawaban yang pasti terkait hal ini. Namun mungkin untuk mengetahuinya bisa dimulai dari informasi absensi kehadiran muktamar di Jakarta. Pada saat itu, ada tiga nama kiai berasal dari Purwakarta yaitu Kiai Raden Haji Natadilaga, Marzuki, dan H Nu’man.
Kedua, informasi yang dituangkan sebuah arsip di perpustakaan PBNU berjudul Laporan Singkat Muktamar NU Keempat hingga Kesepuluh (Tanpa penulis, Laporan Singkat Muktamar NU Keempat hingga Kesepuluh, hal. 5-6 (pada jilid muka laporan tersebut terdapat keterangan dicopy dari LINO No 6 awal Juli 1971) yang mengatakan:
Djuga turut baik dalam penyelenggaran maupun dalam pembicaraan dengan aktif ulama2 dan pemimpin-pemimpin NU baru seperti KH Jasin, KH Abdurrahman, K. Saleh, K. Supri, K. Abdul Latif Tjibeber, K. Ali Misri, K. Ms. Natadilaga, terutama pemimpin-pemimpin NU di Jakarta, seperti sdr. Zainul Arifin.
Dalam laporan tersebut menyebut salah satu nama, K. Ms. Natadilaga. Pada absensi kehadiran muktamar, majalah Swara Nahdlatoel Oelama menuliskannya dengan Kiai Raden Haji Natadilaga dari Purwakarta.
Dalam laporan yang dikutip di atas, ia termasuk ke dalam kalimat ulama-ulama, pemimpin-pemimpin baru NU. Keulamaannya terungkap pada sebuah catatan tentang salah satu kitab K. Ms. Natadilaga berjudul Al-Mawazinul Khamsah fil Bahts ‘an Ikhtilafil ‘Ulama fi Mas’alah Tarjamah Khutbatil Jum’ah. Kitab tersebut berisi kumpulan polemik fatwa-fatwa ulama Nusantara dan Timur Tengah terkait masalah boleh atau tidaknya diterjemahkan khutbah Jumat dari bahasa Arab ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab). Kitab itu ditulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan Melayu beraksara Arab (Jawi/Pegon).
Baca Juga
Kitab Ringkas Memahami Sejarah NU
Profil Kiai Raden Haji Natadilaga ini merupakan seorang ulama-menak (bangsawan) Sunda dari Dawuan, Cikampek (kini Karawang, Jawa Barat), yang juga pemimpin organisasi Syafa’atul Ikhwan (President Sjafaatoel Ichwan) yang berhaluan tradisionalis, juga pemimpin redaksi sebuah majalah berbahasa Melayu aksara Arab bernama Al-Thabib yang terbit secara berkala.
Dari gambaran di atas bisa dikatakan bahwa NU Purwakarta diupayakan pendiriannya oleh kiai-kiai di Jatiragas, Cikampek, pada tahun 1933, selepas muktamar ke-8 di Jakarta. Kemungkinan besar, NU Purwakarta berdiri di Jatiragas karena, sekali lagi mungkin, oleh dorongan seorang ulama yang hadir di muktamar Jakarta.
Dorongan NU Bandung di Subang
Dua tahun setelah catatan yang dimuat Swara Nahdlatoel Oelama tersebut, ditemukan informasi dari majalah Al-Mawaidz yang memberitakan kegiatan NU Bandung di Subang.
NU Cabang Bandung masamoan deui. Dina poé Minggu tanggal 7 April 1935 di Subang geus diayakeun saperti nu kasebut di luhur sarta anu ditempatkeunana di Sakola Arjuna. Nu daratang kacida loba anu teu kabagéan tempat. Wakil-wakil kumpulan nu geus daratang nyaéta pihak PGI, POB, BPNS, BKI, BPRI, Lumbung, jst. Nya kitu kénéh ti pihak pamaréntah Juragan Wadana jeung Juragan Camat araya. Wakil-wakil surat kabar ogé henteu tinggaleun. Nu geus daratang téh nyaéta ti Galih Pakuan, Al-Mawaidz, jeung ti Sipatahoenan.
(NU Cabang Bandung mengadakan acara kembali. Pada Minggu 7 April 1935 di Subang diadakan sebuah acara yang berlangsung di Sekolah Arjuna. Peserta yang hadir banyak sekali sehinga banyak yang tidak kebagian tempat. Peserta undangan dari perkumpulan lain pun berdatangan di antaranya dari PGI, POB, BPNS, BKI, BPRI, Lumbung, dll. Perwakilan dari pemerintah juga hadir, yaitu wedana dan camat setempat. Dari pihak pers juga tak ketinggalan ada dari Galih Pakuan, Al-Mawaidz, dan Sipatahoenan.
Kira-kira satengan sapuluh dibuka ku voorzitter Juragan Darmo anu nganuhunkeun ka sakabéh anu geus merelukeun datang babakuna ka sakabéh anu geus kasebut di luhur nyaéta ka wakil-wakil kumpulan, pamaréntah, jeung surat kabar. Sabot keur nyarita kitu, jol mobil datang sihoréng éta téh anu didago-dago ti tadi sabab nu tumpakna Juragan Voorzitter Cabang Bandung. Sawatara menit, vergadering disetop heula. Sanggeusna bérés vergadering, diteruskeun deui sarta nu nyarita voorzitter kénéh.
(Kira-kira pukul 09.30, kegiatan dibuka oleh Ketua Darmo yang menyampaikan terima kasih kepada semua yang hadir, termasuk wakil-wakil dari perkumpulan, wakil pemerintah, dan surat kabar. Pada saat ia berpidato, orang yang ditunggu-tunggu itu hadir, Ketua NU Cabang Bandung (SWARHA). Beberapa menit pertemuan ditunda terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan, masih oleh Darmo.)
Informasi lain, berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Subang pada bagian sejarah, menyisipkan selintas keterangan bahwa NU berdiri di wilayah itu pada tahun 1935 atas upaya seorang bernama Darmodiharjo yang juga pendiri Paguyuban Pasundan di daerah tersebut.
Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengemukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.
Selanjutnya, berdasarkan majalah Al-Mawaidz edisi sebulan kemudian, NU Subang mengadakan openbaar vergadering atau pengajian umum dengan nasihat disampaikan adviseur (penasihat) NU Subang Ajengan Mh Tohir. Majalah itu melaporkan bahwa cabang itu belum lama berdiri. Artinya sudah berstatus cabang, tapi belum lama berdiri.
Subang gé teu katinggaleun cacak umurna tacan sabaraha lilana mah. Malam Salasa nu geus kaliwat ieu cabang geus geus ngayakeun naséhat di Pasir Carumbi, Subang kalawan ditungkulan ku publik di eta tempat.
(Subang juga tidak ketinggalan meskipun umurnya belum seberapa lama. Pada malam Selasa yang lalu, cabang (NU) ini sudah mengadakan nasihat di Pasir Carumbi, Subang, yang dihadiri masyarakat setempat.)
Pada laporan tersebut, majalah Al-Mawaidz secara tersurat menyebutkan Subang sebagai cabang NU. Jika dilihat titimangsanya laporan tersebut adalah 21 Mei 1935. Jadi, NU Subang sudah berdiri sebelum tanggal tersebut. Setahun sebelumnya, upaya membentuk Cabang NU Subang sudah dilakukan. Pada satu persidangan, di Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi pada 1934, membahas pengajuan para kiai tentang pendirian cabang NU. Salah satu yang dibahas adalah Subang. Setelah muktamar itu, Subang berstatus sebagai kandididat cabang. Pada muktamar berikutnya, ke-10 di Surakarta (Solo) HBNO menerima surat dari kandidat cabang NU Subang:
Lajnah Tanfidziyah telah menerima satu surat dari candidat cabang N.O. Soebang, dengan perantaraan congres dan dengan permintaan H.B. supaya voorstel dari Cabang Subang itu bermaksud tentang examen penghoeloe, supaya dirembuk. Permintaan mana telah dikabulkan dan voorstel itu telah dirembuk dan diputus akan memasukkan mosi pada pemerintah.
Berdasarkan informasi-informasi di atas, dapat disimpulkan, NU di wilayah Purwakarta, Subang, dan Karawang dimulai dari Jatiragas Cikampek pada 1933 berdasarkan Swara Nahdlatoel Oelama. Lalu, NU Bandung mengadakan acara di Sekolah Arjuna di Subang. Salah satu agenda dalam acara tersebut adalah memperkenalkan NU ke publik Subang.
Tidak diketahui bagaimana proses NU Bandung mengadakan acara di luar wilayahnya. Namun, satu hal yang pasti, pengurus NU Bandung dan panitia acara kegiatan tersebut sebelumnya telah terjalin hubungan dan sepertinya siap mendirikan cabang. Kepastian itu dibuktikan dengan dinyatakan Juragan Darmo sebagai ketua NU pada edisi selanjutnya di majalah Al-Mawaidz.
Babak selanjutnya, Subang mengajukan diri untuk menjadi cabang tersendiri sebagaimana mereka usahakan di muktamar ke-10 di Surakarta pada 1935. Namun karena aturan dalam Rumah Tangga NU mengatakan bahwa dalam satu kabupaten hanya berdiri satu cabang, maka diputuskan menjadi bagian NU Cabang Purwakarta.