Fragmen

Kedigdayaan Kiai Wahab Hasbullah

Jumat, 3 Agustus 2007 | 03:05 WIB

Bagi masyarakat pesantren, Kiai Wahab Hasbullah dikenal luas sebagai figur ulama kontroversial karena ijtihad politiknya yang kerap berseberangan dengan formalisme fikih para ulama NU. Namun hal itu diterima secara luas, mengingat pengetahuan keagamaan kiai itu sangat mendalam dan memiliki instink politik yang tinggi. Tetapi  siapa kira Kiai Wahab juga sebenarnya adalah ulama yang digdaya dalam ilmu silat. Tidak hanya silat kanuragan tetapi juga jago dalam silat lidah dalam arti beretorika bahkan ketika menggunakan bahasa Arab, kemampuannnya juga tinggi.

Dalam kesaksian seorang santri yang sempat menimba ilmu di kota suci Mekkah sekitar tahun 1930-an, saat itu kota Hijaz belum stabil akibat revolusi Wahabi dan ulama-ulama Indonesia sendiri sedang sibuk menagkis gerakan puritanisme kaum modernis itu. Dalam situasi begitu Kiai Wahab datang ke kota suci itu, tujuannya adalah untuk memberikan semangat kepada para pelajar Islam Nusantara agar tetap berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama`ah sebagaimana yang diwariskan oleh para ulama sebelumnya.

<>

Ketika tiba di kota Mekkah, beberapa santri Indonesia yang sudah mengenalnya berusaha menemui Kiai kharismatik dari Nusantara itu. Setelah pertemuan tersebut mereka pun segera mengumpulkan para pelajar Nusantara (termasuk pelajar dari negeri jiran seperti pelajar Malaysia, Filipina dan Thailand) khusus untuk memberikan waktu Kiai Wahab menyampaikan maksudnya.

Singkat cerita, para pelajar pun dapat dikumpulkan dalam sebuah majlis. Setelah menunggu beberapa lama Kiai Wahab pun muncul. Akan tetapi ketika Kiai Wahab muncul di tengah-tengah para hadirin, sebagian besar pelajar yang belum mengenal Kiai Wahab tidak menaruh perhatian. Bahkan sebagian ada yang meremehkan. Pasalnya, pakaian Kiai nyentrik ini sangat sederhana, hanya menggunakan setelan kopiah hitam, jas dan sarung sama sekali tidak menunjukkan penampilan seorang ulama, tidak seperti pakaian para syeikh Arab yang menggunakan surban tebal dan jubah keulamaan. 

Namun setelah Kiai Wahab membuka pembicaraan, pandangan para pelajar pun kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat. Kefasihan lidah, kekuatan hujjah serta keindahan retorika yang disampaikan dalam berbahasa Arab sangat memukau para pelajar yang hadir. Di luar sangkaan mereka, ternyata ulama Indonesia yang berpenampilan sederhana tidak kalah fasih dan canggih dengan para syeikh Arab dalam beretorika. Hal itu bisa dipahami, karena selain belajar dengan para syek di Mekah Kiai Wahab juga belajar ilmu alat, mantiq dan retorika dari para ulama Nusantara terkemuka, Kiai Zainuddin Mojosari, Kiai Cholil Bangkalan dan sebagainya.

Akhirnya, semua pelajar yang semula meremehkan Kiai Wahab kemudian berbalik mengelu-elukan serta memperlakukannya dengan penuh hormat. Mereka juga tak segan-segan bertanya segala hal tentang perkembangan dunia Islam Nusantara yang saat itu masih berada di bawah kendali para penguasa kolonial Hindia-Belanda.(Rifqil Halim Muhammad)


Terkait