28 Oktober 1928 tidak saja lahir Sumpah Pemuda sebagai satu ikrar yang mempersatukan Indonesia, tetapi juga lahir sosok pemersatu bangsa negeri zamrud khatulistiwa. Ia tidak lain adalah KH Maimoen Zubair.
Lahir dan besar di Rembang, Mbah Moen tumbuh dengan bekal pengetahuan dari orang tuanya, KH Zubair Dahlan. Lalu, ia melanjutkan pendalaman pengetahuannya dengan menetap di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim atau akrab dikenal Mbah Manab.
Pengetahuannya semakin luas setelah turut menimba ilmu di Kota Suci Makkah kepada para masyayikh di sana, seperti Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Amin Quthbi, dan sebagainya.
Mbah Moen kian matang dengan berguru kepada para ulama kharismatik Indonesia, seperti KH Baidlowi dan KH Ma’shum di Lasem Rembang, KH Bisri Mustofa di Leteh Rembang, KH Abdul Wahab Chasbullah Tambak Beras Jombang, KH Mushlih Mranggen Demak, KH Abbas Abdul Jamil Buntet Cirebon, KH Ihsan Dahlan Jampes Kediri, dan KH Abul Fadhol Senori Pasuruan.
Pengetahuan dan pengalamannya yang sedemikian meluas dan mendalam tersebut membuat sikapnya begitu halus meski berasal dari wilayah Pantai Utara Jawa yang lebih dikenal berkarakter keras.
Meredam Konflik
Pemilihan Umum (Pemilu) melahirkan konflik horisontal yang cukup pelik. Antarpendukung saling melempar keburukan calon lawan, kampanye hitam, hingga ujaran kebencian sehingga suasana kehidupan yang nyaman pun terasa begitu memanas. Mbah Moen sebagai ulama sepuh hadir menjadi pengayom bagi semua dan mempersatukan mereka yang berkonflik.
Hal tersebut ditunjukkan dengan menerima semua calon yang tengah berjuang merebut hati rakyat, tanpa melihat latar belakangnya dari partai mana, meskipun beliau sendiri merupakan Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meskipun secara jelas mendukung salah satu pasangan calon, Mbah Moen tidak menutup diri dari pasangan calon lainnya. Ia menerimanya selayaknya tamu pada umumnya. Hal ini tentu dilandasi atas perintah Nabi untuk memuliakan tamu.
Sebelum bertolak ke tanah suci untuk menunaikan haji pada 2019 lalu, Mbah Moen juga menemui Megawati Soekarnoputri. Ini seakan memberikan sinyal untuk senantiasa bergandengan tangan antara kelompok agama dan nasional guna menjaga persatuan Indonesia.
Konsistensi Mbah Moen tidak saja pada bidang politiknya yang memegang teguh politik kebangsaan, tetapi juga pada khidmatnya kepada ilmu, yakni mengajar. Di usianya yang sudah begitu sepuh, 90 tahun, Mbah Moen tetap istiqomah memberikan pengajian kepada segenap santrinya, juga melalui pengajian umum.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah itu hampir tak pernah absen membaca kitab di hadapan para santrinya. Di tengah kesibukannya yang begitu padat, ia selalu menyempatkan untuk membagikan pengetahuan kepada murid-muridnya yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia itu.
Untuk seusianya, Mbah Moen merupakan sosok yang sangat luar biasa kuat dalam mengajar. Pada Ramadhan tahun 2017 misalnya, saat penulis turut mengaji kitab Ithaf Ahli al-Islam bi Khushusiyyat al-Shiyam, Mbah Moen membaca kitab sejak matahari terbit hingga menjelang pukul 10 sampai 11 siang. Kemudian malamnya, selepas tarawih sekitar pukul 20.30, beliau membaca kitab tersebut hingga pukul 11 malam.
Bukan perkara mudah untuk bertahan sedemikian lama duduk memperhatikan kalimat demi kalimat dalam kitab. Tak sedikit di antara santri yang terkantuk-kantuk atau bahkan tertidur, mengubah posisi duduk, dan sebagainya. Mbah Moen bertahan dengan durasi waktu yang berjam-jam itu.
Ada ribuan santri yang mengaji kepadanya setiap kali pengajiannya berlangsung. Jalanan di Pesantren Sarang akan penuh dengan para santri yang sibuk memaknai kitabnya. Betul-betul penuh, hampir tak ada celah untuk lewat di jalur utama.
Banyak juga yang duduk di lorong-lorong kamar, di warung-warung, hingga di teras-teras warga karena tidak mendapat tempat terdekat, saking penuhnya. Sekian banyaknya santri dari berbagai daerah itu dipersatukan olehnya sebagai sesama santri Mbah Moen.
Begitulah ulama Khos itu mempersatukan bangsa Indonesia dari beragam latar belakangnya. Siapa saja merasa menjadi santrinya dan berhak menganggapnya sebagai gurunya karena keterbukaannya terhadap semua orang dan keluasan serta kedalaman ilmunya yang mewujud dalam lakunya.
Penulis: Muhammad Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad