Fragmen

Lekra Menyabot Film Lesbumi

Kamis, 2 November 2006 | 10:40 WIB

Produk unggulan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim (Lesbumi) adalah film. Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang menguasai sastra dan seni lukis, merasa tak berdaya menghadapi produksi film Lesbumi yang sangat berpengaruh itu. Dari segi pengaruh politik dan finansial, memang film belum bisa dikalahkan oleh produksi seni manapun.

Karena itu sangat kebetulan kalau Lesbumi menguasai dunia perfilman, yang merupakan teknologi kesenian paling tinggi saat itu.

<>

Salah satu cara paling efektif adalah melakukan sabotase, apalagi semua cara halal dilakukan untuk mencapai hasil. Lalu didekatilah salah seorang produser film Lesbumi, yaitu Munir Abu Sudjak. Kerana kedekatan itu sang produser mau mengedarkan film lewat teman dekat tersebut. Sebenarnya Asrul Sani telah mengingingatkan sangat riskan bekerja sama dengan Lekra atau PKI, karena mereka halal melakukan segala cara. Tetapi dengan ketulusannya Abu Sudjak tetap memberikan akses untuk mengedarkan film Lesbumi.

Film yang terkenal seperti Pagar Kawat Berduri, Tauhid, dan sebaginya, itu yang menjadi favorit masyarakat saat itu.

Tetapi teman hanyalah sebatas kenalan, secara ideologi adalah lawan dan itu harus dihancurkan demikian prinsip Lekra-PKI. Dengan prinsip semacam itu maka film tersebut digunting-gunting dan disambung secara acak, sehingga jungkar balik alur ceritanya. Ini sungguh merepotkan, apalagi jaman itu film belum bisa digandakan secara massal, sehingga masternya itu yang jadi andalan. Karena itu Lesbumi kelabakan untuk menata kembali film tersebut.

Malang tidak bisa dihindarkan, walaupun alur kembali bisa disambung, tetapi beberapa adegan telah hilang, bahkan menurut Asrul Sani bagian depan film itu yang hilang sehingga tidak bisa dipertunjukkan. Hal itu dilakukan karena memang Lekra tidak memiliki pengetahuan di bidang teknologi sinematografi, sementara kemampun Lesbumi sudah menguasai teknologi perfilman yang sangat canggih saat itu.

Saat ini film tersebut disimpan di Cinematex dalam keadaan tidak utuh. Tentu saja ini merupakan tindakan tidak berbudaya yang dilakukan oleh sebuah lembaga kebudayaan, yang mengklaim sebagai kebudayaan rakyat. Di situ anehnya, padahal rakyat Indonesia tidak sebrutal mereka, lebih santun dalam menghadapi perbedaan padangan. Tidak seperti Lekra-PKI, yang gelap mata menghadapi perbedaan, sehingga dengan teganya merusak kreasi budaya. (Mun’im DZ)


Terkait