Madrasah Shaulatiyah, Makkah, pada suatu siang, di tahun 1934. Zulkifli, seorang pelajar, menerima kiriman Majalah Berita Nahdlatoel Oelama dari Indonesia. Sebagaimana biasanya, adik KH Zubair (Salatiga, kelak menjadi Rektor Pertama IAIN Walisongo) ini membacanya dengan antusias bersama kawan-kawannya sesama orang Indonesia. Tak disangka, gurunya tahu lalu memaksa mengambil majalah tersebut, merobek-robeknya dan membuangnya ke arah jendela di lantai tiga lembaga pendidikan tersebut. Peristiwa ini membuat para siswa sewot. Namun yang lebih membuat muntab mereka adalah kalimat penghinaan yang dilontarkan guru tersebut: “Kalian orang-orang Jawa [Indonesia] adalah bangsa yang berbudi rendah!”
Kejadian di siang hari itu benar-benar menyakiti hati para pelajar. Mereka dengan kompak mogok belajar. Kegiatan di madrasah pun lumpuh. Sebab, 95% siswa di Shaulatiyah berasal dari Indonesia. Demikian juga sebagian pengajarnya. Karena sudah terlanjur sakit hati, maka aksi ini berlanjut dengan tindakan yang tak kalah mencengangkan: para pengajar asal Indonesia memutuskan mendirikan sebuah madrasah sendiri.
Para orangtua siswa menghimpun dana, dibantu oleh para “syekh haji Indonesia” yang ada di Makkah. Syekh Abdul Manan ditunjuk sebagai penggerak proyek pendidikan ini. Hingga pada akhirnya, rencana ini berhasil diwujudkan. Lokasinya ada di Suq al-Layl. Gedungnya disediakan oleh Syekh Ya’qub, yang berasal dari Perak, Malaysia.
Lembaga gres ini diberi nama Madrasah Darul Ulum, siswanya merupakan pindahan dari Shaulatiyah, dan Sayyid Muhsin al-Musawa, seorang ulama muda kelahiran Palembang yang cakap ilmunya, disepakati menjadi pimpinan. Sejak saat itu, Darul Ulum mulai menapak jejaknya sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berpengaruh di Makkah, khususnya bagi para pelajar dari kawasan Nusantara. Selain Syekh Muhsin al-Musawa, ada juga Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, ulama keturunan Indonesia, yang punya reputasi jempolan di bidang hadits. Syekh Yasin ini memimpin Darul Ulum sampai beliau wafat, 20 Juli 1990.
Kejadian di atas ditulis dengan detail oleh H. Abubakar Atjeh dalam biografi KH. A. Wahid Hasyim, Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957: 90). Sebuah peristiwa yang membuka Kotak Pandora pasang surut hubungan antara ulama Nusantara dengan India.
Bukan kejadian di atas yang hendak saya komentari, melainkan bacaan para santri madrasah tersebut. Ya, Majalah Berita Nahdlatoel Oelama. Melalui kejadian di atas kita paham jika di era lawas tersebut, majalah berbahasa Melayu yang digawangi oleh KH Mahfudz Shiddiq dan KH A. Wahab Chasbullah ini bukan hanya dibaca Nahdliyyin di dalam negeri, melainkan di Mekkah, pusat inkubator ulama Nusantara. Sebuah revolusi kecil berawal dari insinden perobekan majalah.
Selain Berita Nahdlatoel Olama, NU juga punya Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (Arab Pegon berbahasa Jawa, terbit awal 1927), Majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama (berbahasa Melayu, menggunakan aksara latin), dan Soeloeh NU (1940). Hal ini membuktikan apabila di era pergerakan, kaum santri tidak mau kalah dalam urusan pers.
Ketika politik liberal berkecambah di Indonesia, dan setiap partai politik mempunyai corong ideologis berupa harian dan majalah, NU mendirikan Duta Masjarakat. Rintisannya sejak 1955, terbit dengan edisi bagus sejak 1958. Dengan moto "Menggalang Kerjasama Islam dan Nasionalis", Duta Masjarakat ikut dalam kontestasi politik nasional, meskipun dalam pemberitaan tidak segalak harian lainnya. Jika mengkritik pemerintah pun masih berlandaskan etika. Hal ini kadang diprotes pembaca, mengapa kurang menyalak? KH Saifuddin Zuhri, sekjend PBNU era 1950-60 an, dengan khas menjawab, ".....Ingatlah bahwa tujuan membidik dengan peluru, ialah agar supaya mengenai sasarannya dengan tepat, sekalipun letusan peluru tidak berbunyi sama sekali! Kami bukanlah orang yang memuaskan hatinya sendiri karena letusan peluru itu sangat nyaring sekedar nyaring, tetapi tidak mengenai sasarannya, apalagi yang meledak sebelum dibidikkan dan berakibat mengenai diri kita sendiri!"
Duta Masjarakat akhirnya berhenti terbit setelah dibredel pemerintah Orde Baru. Edisi terakhir yang ditemukan tanggal 30 Oktober 1971. Pembredelan ini, kata sebagian orang, karena Duta Masjarakat memuat beberapa indikator kecurangan Orde Baru di Pemilu 1971.
Selain KH. Mahfudz Siddiq, tokoh pers NU antara lain: KH. A. Wahid Hasyim, KH. Saifuddin Zuhri, Asa Bafaqih, A.A. Achsien, dan Mahbub Djunaidi. Masing-masing memiliki cirikhas dalam penulisan.
Majalah AULA adalah di antara majalah yang bertahan hingga usia 40 tahun. Dirintis tahun 1978, dan mulai rutin beredar sejak Muktamar NU 1984. Hingga kini, majalah milik PWNU Jatim ini mengalami evolusi dari bentuk awalnya. Saya bangga pernah menjadi bagian dari redaktur AULA sejak 2005-2010. Kini majalah ini juga memiliki lini penerbitan buku dan sebuah majalah yang menyasar pembaca perempuan: AULA-NISA. Adapun majalah AULEEA dikelola oleh PW Fatayat NU Jatim.
Kalau Anda ke terminal Bungurasih, Sidoarjo, anda akan menjumpai kios makanan ringan yang juga berjualan koran, tabloid, dan majalah. Di era 2000-an, majalah yang nyantol di kios ini sangat variatif: Popular, Aula, Hidayatullah, Sabili, Bolavaganza, Tempo, Forum, Gatra, Bobo, Mentari Putra Harapan, Commando, Trubus, Angkasa dan sebagainya. Tapi sejak tahun 2017, saya cermati, hanya dua majalah yang bertahan: AULA dan HIDAYATULLAH. Sisanya nggak dijual. Alasannya? Sebagian sudah almarhum, sedangkan lainnya sudah tidak dititipi sama agennya. Dua majalah ini saya kira juga mewakili kubu non-bombastis dalam unsur pemberitaan. Bandingkan dengan Sabili, Panji Masyarakat, dan Assunnah, yang lebih gahar.
Bagi saya, ketidaksangaran AULA dan HIDAYATULLAH inilah yang menjadi kekuatan utama bertahan hingga kini. Sebab, yang terlampau menggebu-gebu biasanya juga cepat kehabisan tenaga. Di dunia pers Indonesia, Kompas adalah contoh sebuah produk pers yang bisa bertahan hingha usia setengah abad. Kekuatannya, bagi saya, adalah ketidakgalakannya. Koran ini menghindari berita bombastis selama puluhan tahun.
Dulu, NU punya tabloid. WARTA NU (1984) dan MASA (2000). Keduanya sudah almarhum. WARTA NU liputannya bagus, sayang ambruk sejak 2005.
Media nu online adalah salah satu rujukan terpercaya soal ke-NU-an sejak 2003. Media ini menjadi salah satu media daring yang kemasannya bagus, cenderung hati-hati dalam menyampaikan informasi, dan menghindari unsur bombastis. Dari sini saya jadi paham, berbagai media NU biasanya berformat informatif, argumentatif, dan klarifikatif. Aspek terakhir ini yang penting. Sebab, melalui medianya, orang NU bisa melakukan klarifikasi atas berbagai tudingan yang berkaitan soal furuiyah. Misalnya Berita NO tahun 1940 an membela Majalah Al-Mizan milik PERTI, mengenai tuduhan Buya Hamka soal tarekat. Atau klarifikasi lainnya: benarkah tahlilan njiplak budaya Hindu? Apakah berziarah kubur sama dengan menyembah kubur? Dan sebagainya.
Selain nu online yang bertahan di tengah kepungan media abal-abal dan pengobral fitnah, Majalah Risalah NU mendapat penghargaan kepeloporan di bidang media dalam rangka Hari Pers Nasional 2018 untuk Kategori Media Dakwah Perjuangan Bangsa. Majalah ini bergerak di bawah naungan LTN PBNU.
Belajar dari berbagai kontribusi orang NU di bidang pers yang dikelola, setidaknya ada dua hal utama yang merela lakukan: menjadi ujung tombak sekaligus ujung tomobok alias siap tekor soal fulus. Wallahu a'lam bisshawab. (Rijal Mumazziq)