Selembar bendera berlambang NU yang dibuat secara manual pada tahun 1962 masih tersimpan rapi di kediamaan KH Thola’ Al-Badr Karim, pengasuh Pesantren Al-Karimiyah, Pungangan, Patokbeusi, Subang, Jawa Barat.
<>
Bendera yang berukuran 150 cm x 60 cm itu berwarna hijau tua dengan lafadh Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab warna putih. Di bawah lambang itu tertulis “Tjabang NU Subang”.
Kata cabang masih ditulis “tjabang” karena aturan “tj” menjadi “c” diberlakukan sejak tahun 1972 dalam aturan Ejaan Yang Disempurnakan. Sementara kata “NU” sudah tidak lagi “NO” karena pada tahun 1947 pun sudah diubah.
Bendera tersebut milik pribadi Mama Ajengan KH Syamsuddin. Kata “mama” adalah panggilan akrab “rama” yang berarti ayah. Sebagaimana di Jawa, penyematan “mama”, digunakan juga kepada tokoh agama, di samping untuk ayah.
Mama Syamsuddin adalah tokoh NU di MWC Pabuaran, ketika Subang masih menjadi bagian Kabupaten Purwakarta. Ia adalah tokoh agama yang lari dari Garut karena tidak mau menerima tawaran bergabung menjadi bagian DI/TII. Kemudian ia tinggal daerah Subang, dan bekerja di perkebunan tebu.
Kendati ia menyembunyikan diri, karena prilakunya berbeda dengan pekerja lain, lama kelamaan ia tercium juga sebagai seorang ahli agama. Kemudian ia diambil warga Pungangan untuk mengajar masyarakat.
Menurut Kiai Thola’ Al-Badr Karim bendera dibuat oleh kakeknya sendiri, Mama Syamsuddin dengan alat tulis kapas. Selain itu, sambil puasa juga. Bahkan bendera terebut pernah “dijiad” atau diberi bacaan-bacaan bertuah oleh kiai di Buntet.
Kemudian bendera tersebut disimpan di kamar pribadi Mama Syamsuddin. Setelah ia wafat, bendera itu raib tanpa jejak.
Bertahun-tahun Kiai Thola’ Al-Badr Karim mencari bendera itu. Usahanya membuahkan hasil sebelum bulan puasa tahun ini. Bendera tersebut rupanya diamanatkan kepada Kiai Munir, seorang santri Mama Syamsuddin.
Selain itu, KH Thola’ Al-Badr juga menyimpan dua surat dan satu SK struktur kepengurusan NU Kabupaten Subang pada tahun 1979. (Abdullah Alawi)