Tercatat yang menyimak pidatonya adalah KH Wahab Chasbullah, KH Asnawi Kudus, KH Bisri Syansoeri, KH Ma’sum Lasem, Habib Abdullah Ghatmayr Palembang, KH Abdul Latif Cilegon, KH Mas Abdurrahman, KH Zainul Arifin, dan lain-lain. Hanya saja Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tidak hadir waktu itu.
Perempuan yang berpidato adalah Nyai Djuaesih dari Bandung.
Di dalam verslag (laporan) muktamar NU ke-13 diceritakan proses perempuan itu berpidato, demikian:
“Kemudian dari pada itu, tampillah ke muka, Ny Djunaesih, voorzitter Muslimat NU Bandung yang telah memerlukan datang di kongres ini, berhubung kecintaan dan tertarik beliau kepadanya.
Dengan panjang lebar menerangkan akan asas dan tujuan dari NU adalah suatu perkumpulan yang sengaja mendidik umat Islam ke jurusan agamanya dengan seluas-luasnya. Di dalam agama Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik tentang soal-soal yang berkenaan dengan agamanya, bahkan kaum perempuan juga harus mendapat didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntunan agama, sebagai(mana) lakinya. Inilah natinya yang akan dapat membawa keamanan dunia dan akhirat.
Saya, atas nama Muslimatun Bandung turut menggembirakan adanya Kongres NU di Menes ini. Mudah-mudahan segala keputusan-keputusan yang diambil olehnya ini akan dapatlah kiranya menambahkan pesat dan beresnya hal-hal atau keadaan-keadaan yang ada di dalam kalangan muslimin umumnya.
Mendengar dan melihat pidato beliau yang amat hebat itu, kaum-kaum ibu yang sama mendengarkan yang jumlahnya beberapa ribu itu memanggut-manggutkan dagunya (entah karena heran mereka, entah karena mengertinya).”
Selintas Nyai Djuaesih
Kemudian, masa dewasanya ia menikah dengan Danoeatmaja. Suaminya ini kebetulan adalah wakil ketua NU Bandung. Kemungkinan besar dari suaminya ini ia mengetahui seluk organisasi dan juga NU.
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan formal, Nyai Djuaesih menyadari betul pentingnya pendidikan bagi masa depan. Karenanya, begitu ada kesempatan ia pun menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan formal yang dibuka pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Tiga anaknya berhasil menamatkan pendidikan di MULO, sedangkan lainnya di HIS.
Kendati dalam penulisan sejarah Muslimat NU ia dianggap sosok perintis, tapi dalam bidang organisasi sepak terjangnya tak begitu menonjol. Dia lebih populer sebagai mubalighah dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat. Sehingga, saat kepengurusan awal Muslimat tahun 1946, Nyai Djuaesih belum masuk susunan pengurus pusat yang saat itu ketua Muslimat NU dijabat Nyai Saodah Natsir. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih tampil sebagai ketua.