Fragmen

NU Ampenan Membela Palestina melalui Peringatan Isra Mi’raj (2 Habis)

Rabu, 25 Maret 2020 | 22:00 WIB

NU Ampenan Membela Palestina melalui Peringatan Isra Mi’raj (2 Habis)

Kota Ampenan (wartantb.com)

Pada bagian sebelumnya dijelaskan awal mula berdirinya NU Cabang Ampenan sebagai pintu masuk persebaran NU ke pulan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
 
Sebagian aktivitas organisasi NU Cabang Ampenan didokumentasikan majalah Berita Nahdlatoel Oelama, di antaranya di edisi No 1 tahun ke-9 1 November 1939, halaman 11. Edisi tersebut memuat peringatan Isra M'raj Nabi Muhammad oleh NU Ampenan yang dihentikan oleh polisi karena menyabit-nyabit perkara perang, Inggris dan Palestina.  
 
 
Berikut petikan lengkap dari laporan berita tersebut:
 
Seperti biasa pimpinan mengucapkan banyak terima kasih kepada sekalian tamu-tamu dan lalu menerangkan dengan ringkas tentang maksud-maksud perayaan Mi’raj tersebut. Kemudian pimpinan mempersilakan sdr Sd. Achmad Alkaf (Rois Kring Ampenan Bagian Syuriyah) buat menerangkan tentang hal Mi’raj. Oleh speaker diterangkan mana-mana yang perlu. Setelah itu dipersilakan pula sdr. Moestafal Bakri (Rois Cbang bagian Syuriyah) untuk menerangkan tentang hal Mi’raj yang lebih lanjut. Speaker lalu menerangkan dengan panjang lebar, serta ditambah juga dengan keadaan kesengsaraan-kesengsaraan di Palestina dan yang berhubungan dengan hal derma.
 
Maka buat menerangkan lebih luas tentang hal tersebut, serta kesengsaraan-kesengsaraan di Palestina itu, speaker bacakan pula tuntunan atau seruan dari Sekretariat MIAI yang ada dimuat dalam Majalah Berita Nahdlatoel Oelama (seruan yang mana ditulis di lain kertas, dengan tidak mengubah, mengurangi, atau menambah, dari apa yang tertulis di situ). Akan tetapi baru saja speaker membacakan itu, ketika ada tersebut kalimat (perkataan Inggris, telah mendapat ketokan dari wakilnya PID dengan katanya, “hai ingat tidak boleh sebut-sebut Inggris.”
 
Dari sebab percuma bersoal jawab dengan politie, speaker teruskan bacaannya dengan lain perkataan, sehingga penghabisan seruan itu tidak menyebut perkataan Inggris lagi. Meskipun demikan, salinanan seruan tersebut oleh wakil PID diminta, dan dijanjikan akan dikembalikan besok (hari Senin).

Sesudah itu, dipersilakan pula H. M. Joesoef (Sekretaris Cabang bahagian Tanfidziyah) buat menguraikan riwayat Palestina sebelumnya perang dunia di tahun 1914, sampai sekarang. Sebelumnya riwayat dimulai, oleh speaker diterangkan maksud-maksudnya yang akan diuraikannya. Riwayat yang mana semuanya menurut berita-berita pers yang sudah tersiar di tanah air kita Indonesia, dengan tidak mengubah arti dan dasar berita-berita tersebut. Artinya, karena hal-hal yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu itu, menurut pendapatannya speaker, tidak bersifat politik sama sekali.
 
Meskipun dalam riwayat ada tersebut perkataan “perang” bukanlah peperangan yang ada sekarang, tetapi ialah peperangan di tahun 1914, ketika penduduk Palestina berontak melawan pemerintah Turki. Akan tetapi sungguh sayang, baru saja speaker menyebutkan perkataan “perang” (belum lagi riwayatnya) dengan lantas mendapat ketokan dari wakil-wakilnya PID dengan berkata: “tidak boleh sebut-sebut “perang”. 

Kemudian dengan segera ia peringatkan kepada voorzitter, jika sampai tiga kali terdengar perkataan-perkataan yang terlarang, rapat akan dibubarkan. Maka oleh sebab speaker berpendapat percuma pula bertentangan dengan wakilnya PID karena menjaga jalannya rapat jangan sampai dibubarkan setengah perjalanan, oleh speaker pembicaraannya lalu dihabisi hingga di situ saja, karena di dalam riwayatnya memang terdapat perkataan-perkataan perang atau Inggris yaitu yang terjadi ketika Palestina masih menjadi jajahannya Turki. Sedangkan jika perkataan-perkataan tersebut ditinggalkan tentu jalannya riwayat akan tidak sempurna dan menghilangkan maksudnya uraian. Walaupun begitu riwayat yang dikumpulkan dari berita-berita dari pers itu, diminta juga oleh politie dan dijanjikan akan dikembalikan besok juga. 

Dan seterusnya wakil PID peringatkan juga kepada voorzitter, yang di dalam itu rapat openbaar ia liha ada banyak anak-anak yang di bawah umur 18 tahun, sedang di dalam rapat sebagai itu, mereka mesti dikeluarkan. Maka oleh karena hal ini ada sangat bertentangan dengan asasnya NU yang tidak bersifat politik itu. Lalu oleh saudara Moestofal Bakri diterangkan bahwa NU bukan perkumpulan politik. Akan tetapi wakilnya PID tetap menerangkan yang itu rapat ada openbaar, meskipun perkumpulan politik atau tidak, tidak boleh dihadiri oleh anak-anak yang di bawah umur 18 tahun, maka dari sebab tidak berguna juga kita membantah di situ permintaannya pun oleh voorzitter diturutkan. 

Melihat keadaan-keadaan yang tersebut di atas, kita atau kami merasa sangat heran, karena apakah menyebutkan perkataan Inggris atau perang tidak boleh alias dianggap perkataan politik dewasa ini jika benar demikian, dalam tiap-tiap rapat yang diadakan oleh bangsa apa saja yang berada di tanah air kita Indonesia ini, orang tidak boleh juga sebut-sebut perkataan Belanda, Tionghoa, Indonesier, dan lain-lainnya, karena itu ada perkataan-perkataan politik. Dan begitu pula kalimat perang, meskipun perkataan-perkataan itu belum mengandung maksud apa-apa sama sekali. 

Selain dari pada itu, di sini perlu juga kita terangkan bahwa sebelumnya rapat dimulai, diadakan arak-arakan (optocht) dan tangloeng (lampion) oleh anak-anak murid sekolah Nahdlatul Ulama di Cakranegara dan Ampenan. Dan di muka arak-arakan tersebut terdapat atau diadakan juga barisan dari pemuda-pemuda Ansor dengan lagu-lagunya (ANO march) dan penghormatan bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang dikarang oleh mereka itu sendiri. Demikian juga sebelum itu rapat dibubarkan, lebih dahulu diadakan pungutan derma Palestina yang dijalankan oleh seorang pemuda Ansor. Pendapatannya ada berjumlah f , 61, belum dipotong ongkos kirim ke Hoofdbestuur di Surabaya. 

Sedang salinan-salinan yang diminta oleh politie itu, sampai hari Rabu 13 September 1939 masih belum dikembalikan. Entah dibeslag atau tidak masih belum tahu (tidak apa-apa).            
 
 
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad