“Pilihlah salah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamatkan saudaramu-saudaramu di Andalusia atau engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.”
Isi surat dari penulis kitab Ihya’ Ulumiddin tersebut diungkap B. Wiwoho dalam buku karyanya Bertasawuf di Zaman Edan: Hidup Bersih, Sederhana, dan Mengabdi (2006). Sikap tegas Al-Ghazali tentu tidak lepas dari konteks perjuangan Islam di Andalusia saat itu. Kelemahan dalam kepemimpinan, konflik internal, dan kekuatan musuh yang semakin banyak adalah di antara sebab jatuhnya masa-masa kejayaan Islam di Andalusia.
Al-Ghazali sendiri merupakan salah seorang ulama masyhur yang hidup ketika Islam di Andalusia mencapai kejayaan emasnya. Tercatat ilmuwan-ilmuwan Muslim yang lahir dari kemajuan peradaban Islam di Spanyol, Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Kejayaan Islam di Andalusia tidak lepas dari perkembangan peradaban ilmu pengetahuan.
Sejumlah displin ilmu dan berbagai teori yang ditemukan oleh para ilmuwan Muslim merupakan pintu masuk bagi perkembangan Islam di Barat, khususnya Eropa. Namun, kepemimpinan yang lemah kerap menjadi faktor runtuhnya masa Islam. Meski demikian, ilmu pengetahuan yang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim tetap masyhur meskipun saat ini masyarakat justru lebih banyak mengenal teori-teori pembaruan yang lahir dari para ilmuwan Barat.
Ketegasan Al-Ghazali dalam merespon kepemimpinan Islam di Andalusia merupakan kegelisahan seorang ulama kepada umara-nya. Kritisnya Imam Al-Ghazali tidak lebih dari perhatian dan kasih sayang kepada seorang pemimpin untuk tujuan yang lebih luas, kesejahteraan rakyatnya. Seorang pemimpin wajib melindungi rakyatnya jika mereka dalam kondisi menderita sebab perang. Seperti yang dimaksud Al-Ghazali dalam isi suratnya di atas.
Mengenai rakyat, penguasa, dan ulama, Al-Ghazali dalam kitab At-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk atau Nasihat Bagi Penguasa menjelaskan bahwa watak dan perangai rakyat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai pemimpinnya.
Sebab menurut Al-Ghazali, keburukan yang dilakukan orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan para pemimpinnya. Pemimpin di sini tidak hanya ditujukan kepada satu orang saja dalam pemerintahan, tetapi juga para pemangku kebijakan di segala sektor.
Yusuf Ibn Tasyfin dikenal sebagai pendiri serta penguasa pertama Dinasti Murabitun yang berada di Maroko, Afrika Utara. Ketika masih memegang tampuk kepemimpinan, Ibn Tasyfin membawa Islam kembali berjaya di Andalusia setelah sebelumnya berada dalam ancaman kekuatan Eropa.
Kekuasaan Ibn Tasyfin berlangsung dari tahun 1061 hingga 1107. Dia bergelar Amir al-Muslimin dan Nasiruddin. Dalam upaya melegitimasi serta memperkuat kekuasaannya, dia meminta pengakuan dan restu dari khalifah Abu Abbas di Baghdad, Irak.
Baru setelah itu, dia melakukan upaya konsolidasi intern. Antara lain dengan membenahi dan menata struktur administrasi pemerintahan, mempersatukan serta mengoordinasikan kekuatan berbagai suku yang ada, dan juga membentuk satu formasi militer yang tangguh.
Namun persoalan besar menghadang. Saat berjayanya Dinasti Murabitun di bawah kepemimpinan Ibn Tasyfin, nun di seberang sana, kerajaan Islam Andalusia tengah berada di ambang kehancuran. Hal ini dipicu oleh perbutan kekuasaan dan pertentangan antar-muluk at-tawa'if (raja, penguasa kelompok suku). Selain itu, ancaman lebih besar dari kekuatan Kristen yang menunggu momentum untuk menyerang.
Pada tahun 1107, Ibn Tasyfin meninggal dunia dan langsung digantikan oleh putranya yang bernama Ali bin Yusuf (1107-1143). Sepeninggalnya berangsur-angsur popularitas dan kekuatan Dinasti Murabitun menurun. Dan pada masa pemerintahan Ishaq bin Ali (1146-1147), kekuatan dinasti ini pun hancur dan digantikan Dinasti Muwahidun.
Penulis: Fathoni Ahmad