Fragmen

Sekolah-Sekolah NU Berubah Nama di Masa Orba

Rabu, 25 September 2024 | 12:16 WIB

Sekolah-Sekolah NU Berubah Nama di Masa Orba

Salah satu madrasah milik NU di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang pernah berganti nama pada masa Orde Baru (Foto: Ajie Najmuddin/NU Online)

Mustain masih ingat saat bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah Desa Kebumen, Tersono, Kabupaten batang, Jawa Tengah pada 1977. Di beberapa meja di dalam kelasnya, ia menemukan tulisan: MINU. Karena penasaran, di kemudian hari ia menanyakan soal tulisan MINU di meja kepada ayahnya, KH Achmad Mudhofir, seorang aktivis NU yang juga menjadi salah satu pendiri madrasah tersebut.


Berdasarkan informasi dari ayahnya itu, tulisan MINU menunjukkan status sekolah sebagai madrasah milik NU atau Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) yang kemudian berganti menjadi MI Islamiyah. Tulisan MINU di meja kelas penanda inventaris barang-barang yang dimiliki oleh madrasah tersebut. 


Kemudian, madrasah itu berubah nama. Mungkin sekitar tahun 1970-an, kalau namanya tidak diganti (masih berafiliasi NU), maka murid-murid madrasah itu tidak boleh ikut ujian negara.


Rupanya, tidak hanya MINU Kebumen yang terpaksa mengalami pergantian nama. Menurut Mustain, di desa tetangga, tepatnya di Harjowinangun, Tersono, Batang juga mengalami hal serupa. Nama MINU Harjowinangun kemudian berganti menjadi MI Nurul Huda (MINHA) Harjowinangun.


Kasus MINU di Kebumen itu hanya satu dari sekian kasus lain. Di daerah lain di Indonesia, banyak sekolah juga kampus/universitas NU yang kemudian menyesuaikan kebijakan pemerintah dengan mengganti nama sekolah, dengan menghilangkan identitas nama Ma'arif ataupun NU pada nama sekolah mereka. Biasanya diganti dengan nama-nama tokoh Islam setempat. Hal itu sebagai siasat agar sekolah mereka dapat tetap bertahan dan tidak bubar.


Siti Fathiya Dwi Utami dkk dalam Transformasi Dan Pengaruh Kebijakan Pendidikan Pada Masa Orde Baru di Indonesia pada jurnal Dewaruci, Vol 3 No 1 2024 menuliskan pendidikan pada masa Orde Baru di Indonesia (1968-1998) mengalami transformasi signifikan dalam bentuk kebijakan pendidikan yang terpusat dan sentralistik. Pemerintahan Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, memandang pendidikan sebagai alat utama untuk memajukan pembangunan ekonomi nasional dan stabilitas nasional.


Pada masa Orde Baru, pendidikan dijalankan secara otoriter dan birokratis, dengan fokus pada pengembangan ekonomi nasional. Pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah Soeharto untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia untuk melanggengkan kekuasaannya.


NU yang saat itu masih menjadi partai politik, menjadi ancaman terbesar Soeharto yang menggunakan Golkar sebagai mesin politiknya. Maka dengan berbagai cara, termasuk di bidang pendidikan, yang kemudian juga terkena imbasnya.


Tidak cukup dengan itu, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Mendagri No. 12 Tahun 1969 yang melarang PNS terlibat aktif dalam partai politik dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 1970 yang mengatur kehidupan politik para pegawai negeri dan meminta kepada yang lainnya untuk melaksanakan “monoloyalitas”, yakni harus setia kepada Golkar saja.


Sebagai contoh kasus, ayah Mustain merupakan PNS di Kemenag, jadi ya terpaksa tetap ber-NU dengan sembunyi-sembunyi. Terutama di daerah yang bukan basis NU, banyak yang takut untuk mengungkapkan identitas NU-nya.


Harapan Baru
Pada Muktamar ke-27 NU tahun 1984, memutuskan NU kembali kepada Khittah 1926, yang berarti mengakhiri sejarah NU dalam arena politik praktis, baik ketika menjadi Partai NU maupun setelah fusi ke dalam PPP. Setelah Muktamar NU di Situbondo ini, lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Ma’arif NU perlahan mulai bangkit kembali. Sebagian dari mereka, juga berani untuk menyematkan nama NU ataupun bernaung di bawah LP Ma'arif. Meski demikian, proses bangkit dan berkembangnya sekolah Ma’arif ini tidak berjalan dengan seketika.


Di Boyolali misalnya, pada tahun 1986 baru dimulai kembali perintisan sekolah NU, yang kemudian baru diresmikan pada tahun 1991 dan diberi nama STM Karya Nugraha. Lagi-lagi pemilihan nama masih menjadi bahan pertimbangan para pengurus NU.


Nama STM Karya Nugraha, menurut catatan sejarah pendirian sekolah tersebut, penyebutan nama Karya merupakan strategi untuk menyesuaikan situasi dan kondisi pada masa itu, ketika Golongan Karya (Golkar) masih berjaya. Sedangkan Nugraha merupakan perpaduan dua kata, yakni NU dan Graha, yang bermakna rumah atau tempat bagi para kader NU.


Demikianlah, dengan cara demikian, sejumlah sekolah yang berafiliasi dengan NU, bisa bertahan hingga sekarang. Sebagian besar dari mereka memutuskan untuk tetap berafiliasi dengan NU, di bawah naungan LP Ma'arif. Namun, adapula karena terputusnya regenerasi kader NU di sekolah tersebut atau kebijakan yayasan setempat, menyebabkan mereka tak lagi berafiliasi atau berada di bawah naungan NU.


Sekolah NU kini kian banyak dan tersebar di mana-mana. Ketua LP Ma'arif PBNU Ali Ramdhani dilansir dari warta NU Online mengatakan, pada peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-95 LP Ma'arif NU, ia mengungkapkan, saat ini jumlah sekolah/madrasah NU di bawah LP Ma'arif NU ada sekitar 21 ribu sekolah/madrasah.