Upaya KH Wahab Chasbullah Memperbaiki Sistem Pemerintahan
Rabu, 25 November 2020 | 15:00 WIB
KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) kerap mengambil jalan tengah untuk kemaslahatan secara luas dalam mengambil keputusan-keputusan politik. Hal ini disebut politik jalan tengah Kiai Wahab ketika para ulama tidak sepakat untuk melibatkan diri dalam pemerintahan disebabkan pandangan pemerintah tidak sesuai dengan jalan pikiran para ulama.
Namun, Kiai Wahab selalu bisa meyakinkan para ulama agar tetap membuka diri dalam berkontribusi di pemerintahan. Sederhana bagi Kiai Wahab karena justru jika para ulama di luar pagar pemerintahan, mudarat yang ditimbulkan malah lebih besar.
Suatu ketika Bung Karno membubarkan Konstituante dan DPR kemudian membentuk DPR Gotong Royong, Kiai Bisri menganggap langkah Bung Karno itu ghosob (penjarahan) terhadap hak rakyat. Karena itu, Kiai Bisri menolak NU bergabung di DPR GR maupun dalam pemerintahan Soekarno. (baca Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017)
Baca juga: Soekarno Minta Pertimbangan Mbah Wahab dalam Pembebasan Papua Barat
Pandangan Kiai Bisri tersebut berbanding terbalik dengan pemikiran Kiai Wahab. Kiai Wahab berpandangan, untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, NU harus terlibat di DPR GR maupun di kabinet. Kata Kiai Wahab, yang penting masuk dulu dan berjuang dari dalam. Jika tidak cocok, keluar dari rezim bukan persoalan rumit. Akhirnya, NU masuk dalam DPR GR dan kabinet.
Politik jalan tengah juga ditunjukkan Kiai Wahab saat para ulama menolak hasil Persetujuan Renville. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara Indonesia dan pihak Belanda di atas Kapal Renville Amerika Serikat. Salah satu isinya ialah, pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat atau RIS.
Poin-poin dalam Perjanjian Renville dinilai lebih buruk ketimbang Perjanjian Linggarjati yang dilakukan sebelumnya, 11 November 1946 di Jawa Barat. Hasil Perundingan Renville ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang tergabung dalam “Benteng Republik Indonesia”, terutama oleh golongan Islam. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013)
Baca juga: Tiga Strategi Jitu KH Wahab Chasbullah Topang Pendirian NU
Singkatnya, hasil Perundingan Renville ini menjadi sebab jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. Kabinet ini hanya berumur 6 bulan dan digantikan oleh Kabinet Hatta (Presidensil) yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948.
Pada Kabinet Hatta, Bung Hatta selaku pembentuk kabinet ingin merangkul berbagai golongan, termasuk golongan Islam yang getol menolak Perjanjian Renville. Kabinet Hatta yang salah satu program kabinetnya ialah melaksanakan hasil Perundingan Renville, menyebabkan umat Islam yang tergabung dalam Partai Masyumi menolak untuk bergabung.
Namun demikian, Masyumi sebagai partai besar tetap mengadakan rapat untuk menentukan sikap persetujuan duduk tidaknya DPP Masyumi dalam Kabinet yang sedang disusun Bung Hatta.
Baca juga: Fondasi Kokoh itu Bernama KH Wahab Chasbullah
Malam pertama, rapat dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan. Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.
“Saya usulkan agar kita menerima tawaran Bung Hatta,” ujar Kiai Wahab dengan suara cukup lantang. “Tapi orang-orang kita yang duduk dalam kabinet itu atas nama pribadi sebagai warga negara yang loyal kepada negara. Jadi yang duduk di kabinet itu bukan Masyumi sebagai partai yang tegas-tegas menentang Persetujuan Renville dan Persetujuan Linggarjati!”
Pemikiran Kiai Wahab tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya, meskipun secara organisasi menolak hasil Perundingan Renville, tetapi sebagai warga negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas kenegaraan namun menolaknya.
Tetapi, usulan Kiai Wahab mendapat respons sebaliknya dari Kiai Raden Hajid. “Loh, alasannya apa kita duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan Renville padahal sejak semula kita menolak Renville? Apa ini tidak melakukan perbuatan munkar?” kata Kiai Raden Hajid tidak kalah lantangnya.
Baca juga: Kebebasan Bermazhab di Haramain: Legacy KH Wahab Chasbullah
“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya, kita hendak melenyapkan munkar,” tutur Kiai Wahab merespons reaksi Kiai Raden Hajid. Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan perbuatan.
Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melaksanakan misi perbaikan sistem tersebut. Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya mampu teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa.
“Bahkan bisa dituduh sebagai pengacau (pemberontak, pen),” tegas Kiai Wahab. Akhirnya, Kiai Raden Hajid bisa menerima usulan dan pandangan Kiai Wahab.
Penulis: FathoniAhmad
Editor: Muchlishon