Fragmen

Usir Penjajah Sejak Wali Songo hingga KH Hasyim Asy’ari

Jumat, 25 Mei 2018 | 11:30 WIB

Berdasarkan data sejarah, Portugis masuk ke Nusantara di bawah pimpinan pelaut terkenal Alfonso de Albuquerque (1453–1515). Pada saat itu beberapa ulama yang dikenal sebagai bagian Wali Songo masih hidup. 

Menurut sejarawan KH Abdul Mun’im DZ, Wali Songo sudah membaca ada gelagat tidak baik atas kedatangan orang-orang asing itu. Meskipun tujuan utamanya berdagang pada mulanya, mereka memiliki gelagat untuk menguasai negeri ini. Tidak hanya itu, mereka juga menyerbarkan agama mereka. Pada tahun 1511 misalnya mereka menguasai pelabuhan Malaka.   

“Masa sunan Kalijaga itu udah datang. Maka dari itu beliau membuat skenaraio besar untuk mengusir dengan memberangkatkan Pati Unus, Kalinyamat, dan raja-raja lain,” katanya di Gedung PBNU, Senin (21/5). 

Dalam catatan sejarah, Pati Unus merupakan sultan kedua Kerajaan Islam Demak menggantikan Sultan Raden Fatah. Ia memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Ia gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik kandungnya, raja Trenggana.

Menurut Abdul Mun’im yang turut mendesain penyerangan Pati Unus itu adalah Sunan Kudus. 

“Dari Pati Unus dilanjutkan Fatahillah itu masa sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah Cirebon). Udah periode kedua itu. Mereka bisa mempertahankan Jayakarta sampai 80 tahun. Baru tahun 1600 datang Belanda,” tambahnya. 

Umat Islam Indonesa, dari tahun ke tahun, secara sporadis terus melakukan perlawanan. Dihancurkan, tumbuh lagi. Dihancurkan tumbuh lagi. Itu terjadi di berbagai daerah dari Aceh sampai Maluku. 

Menurut Abdul Mun’im pada periode selanjutnya, abad 19, perjuangan juga terus dilanjutkan. Strateginya berganti melalui organisasi, misalnya dilakukan para kiai di Jawa dengan mendirikan Nahdlatul Ulama. 

Pada saat itu, lanjutnya, NU melakukan strategi dengna tidak melakukan perlawanan terbuka seperti periode sebelumnya. Namun, juga tidak berkolaborasi atau nonkoperatif. Bahkan dari yang terkcil, misalnya cara berpakaian hingga pendidikan. 

Karena tidak bekerja sama itulah, lembaga pendidikan NU dianggap liar dan tidak mendapatkan sumbangan dari penjajah. 

Sementara dari sisi berpakaian, para kiai mengharamkan berbusana mirip penjajah dengan ungkapan populer: barangsiapa yang meniru suatu kaum, ia menjadi bagian dari kaum itu. 

Pada saat detik-detik kemerdekaan RI, NU merupakan salah satu pendukungnya. Salah seorang tokohnya, KH Wahid Hasyim duduk di PPKI. 

Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, NU juga turut berjuang dengan mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945. Fatwa itu dikeluarkan karena ada upaya-upaya Belanda yang membonceng Sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Puncaknya terjadi pertempuran hebat antara rakyat dan Sekutu di Surabaya pada 10 November. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

“Jadi, perlawanan dan perjuangan untuk kemerdakaan terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Ulama semua itu. Secara silsilah ketemu itu baik secara pemikiran maupun gen. KH Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang terhubung dengan pemikiran dan gen itu,” kata Mun’im. (Abdullah Alawi)
 


Terkait