Wina, NU Online
Pemerintah Austria mewajibkan semua imam Muslim mendaftarkan diri ke otoritas setempat. Kebijakan ini diperkenalkan oleh pemerintah sayap kanan Kanselir Sebastian Kurz sejak awal 2021.
Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi terorisme, terutama setelah terjadi serangan teror pada 2 November 2020 di Ibu Kota Wina—di mana seorang pria (20) simpatisan ISIS menembak mati empat orang dan melukai 23 orang lainnya. Karena itu, sejak 2021 Austria mewajibkan semua imam untuk didata.
Lebih dari itu, Austria juga menyerukan agar Uni Eropa (UE) menerapkan kebijakan yang sama seperti yang diambilnya, yaitu pendataan dan pendaftaran imam Muslim. Menurut Menteri Austria untuk Urusan Uni Eropa, Karoline Edtstadler, pendaftaran imam merupakan kunci untuk memerangi Islam politik.
“Kebanyakan imam bergerak melalui banyak negara Uni Eropa, jadi otoritas keamanan perlu mengetahui siapa saja yang berkhutbah di masjid mana pada waktu tertentu,” kata Edtstadler, dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar Jerman, Die Welt, dilansir laman DW, Sabtu (2/1).
Dia menambahkan, pemerintah Austria juga sudah menerapkan larangan pembiayaan asing untuk masjid di negara yang beribukotakan Wina itu. Bagi dia, negara-negara Uni Eropa juga harus menerapkan kebijakan serupa.
Dia menuturkan, dana Uni Eropa harus dikontrol dengan ketat di masa depan untuk memastikan agar dana tersebut tidak masuk ke organisasi dan asosiasi yang mendukung Islamis dan anti-Semit. Di samping itu, untuk memerangi terorisme, Edtstadler ingin kerja sama dan pertukaran data antara otoritas peradilan dan keamanan negara-negara Uni Eropa ditingkatkan lebih lanjut.
Setelah serangan teror di Wina pada awal November tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Austria mendeklarasikan perang terhadap terorisme. Salah satu langkah yang diambil adalah, pendataan imam yang ditugaskan kepada Komunitas Agama Islam di Austria (IGG0).
Beberapa langkah anti-teror baru yang diterapkan pemerintah Austria adalah memperluas larangan penggunaan simbol terkait dengan organisasi ekstremis; memasukkan kategori pelanggaran perkumpulan ekstremis bermotivasi agama ke dalam hukum pidana; menyiapkan konferensi sebelum pembebasan bersyarat bagi pelaku terorisme yang dipenjara; dan membuat daftar pelaku terorisme.
Ketegangan antara pemerintah Austria dan komunitas Muslim di sana juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2017, Kanselir Kurz mengusulkan UU larangan jilbab bagi siswi Muslim. Berdasarkan UU ini, anak-anak—hingga berusia 10 tahun- dilarang mengenakan ‘pakaian yang dipengaruhi ideologis atau agama, yang terkait dengan penutup kepala’.
Langkah itu memicu kritik dari kalangan Muslim Austria. Pada 12 Desember 2020 lalu, Mahkamah Konstitusi Austria membatalkan Undang-Undang (UU) tersebut karena itu dinilai diskriminatif dan inkonstitusional—hanya menarget siswi Muslim, sementara penutup kepala yang dipakai siswa beragama Sikh atau kippah untuk umat Yahudi tidak termasuk pakaian yang dilarang dalam UU itu.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad