Cerita Dai Internasional di Korea Selatan, 2 Kali Alami 1 Ramadhan
Kamis, 6 Maret 2025 | 15:15 WIB

Salah satu dai internasional, Ustadz Ahmad Mundzir saat menyampaikan kultum di depan jamaah shalat Tarawih di Masjid Al-Ihsan, Waegwan, Korea Selatan. (Foto: dok. istimewa/Ahmad Mundzir)
Hari ini adalah hari keenam dari sejak hari pertama datang ke Korea Selatan. Kami bersama 7 orang lainnya berangkat ke sini dalam misi dakwah Islam yang diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU). Agenda ini berlangsung selama 30 hari sejak kami menginjakkan kaki mereka di Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan, Ahad, (31/3/2025).
Sejak Rabu, 26 Februari 2025, seluruh dai Go Global yang berjumlah 23 orang dan dai Nusantara yang terdiri dari 11 orang telah mendapatkan pembekalan di lantai 8 Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya 164, Jakarta. Pembekalan ini berlangsung tepat sebelum detik-detik rukyatul hilal yang dilaksanakan di berbagai negara muslim seluruh dunia.
Suasana di PBNU pada detik-detik menjelang maghrib tampak sibuk. Kiai Zulfa Mustofa tampak buru-buru datang dan bercerita bahwa ia ditelepon untuk datang ke PBNU sore itu. Salah satu Pengurus Lembaga Falak PBNU bercerita, saking sibuknya, dalam sehari, dia rapat bersama pengurus syuriyah dan tanfidziyah PBNU hingga tiga kali. Suasana yang tak lazim dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Ramadhan tahun ini memang beda. Menurut data hitungan Lembaga Falak PBNU (LF PBNU), hilal hanya mungkin dilihat dari Aceh saja. Adapun di daerah lain, sangat kecil kemungkinan atau bahkan ada beberapa daerah lain mustahil dilakukan ditemukan hilal.
Pada 28 Februari 2025, ketinggian hilal di Aceh mencapai 4,67 derajat dengan elongasi hingga 6,4 derajat. Ini memenuhi kriteria Imkanur Rukyah MABIMS (ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat), sementara di wilayah lain di Indonesia ketinggian dan elongasi hilal tidak sepenuhnya memenuhi syarat.
Ulin Nuha Karim, salah satu peserta dai seperti saya dengan penugasan berbeda. Saya ditugaskan ke Korea Selatan, dia mendapatkan amanat untuk ke Jepang, duduk persis di samping saya dan menunjukkan sebuah foto kiriman dari kerabatnya. Foto itu menunjukkan para jamaah masjid yang sudah melaksanakan shalat Isya’, lalu duduk di dalam masjid sembari menyaksikan siaran langsung penetapan tanggal 1 Ramadhan 1446 H.
Siaran langsung NU Online yang sudah tayang sejak sore dihujani komentar dari masyarakat yang tidak sabar menunggu pengumuman awal Ramadhan tahun ini. Mereka yang berada di timur Jakarta sudah selesai melaksanakan shalat Isya’ dan menunggu informasi apakah mereka bisa melaksanakan tarawih atau tidak.
Fenomena ini memang tidak lazim terjadi. Indonesia yang sedemikian luas, namun yang memungkinkan untuk rukyah hanya yang paling ujung barat, yang berarti seluruh Indonesia disuruh menunggu lokasi yang paling ujung dan terakhir dari Indonesia. Sejak kecil, saya tidak pernah merasakan pengumuman yang selarut malam ini.
Setelah maghrib di Jakarta, PBNU mengeluarkan ikhbar bahwa 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 1 Maret 2024 sesuai saksi yang telah bersumpah di depan hakim di Aceh sana. Kementerian Agama Republik Indonesia isbat Ramadhan juga jatuh di hari yang sama. Namun, di sisi lain, saya kemudian mendapatkan informasi dari salah satu Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan, Irfan, yang menyatakan bahwa di Korea Selatan 1 Ramadhan jatuh pada hari Ahad, 2 Maret 2025.
Suka tidak suka, secara fiqih saya harus mengikuti keputusan di Indonesia. Saya harus memulai puasa pada hari Sabtu sebagai tanggal 1 Ramadhan 1446 H karena posisi saya masih di Jakarta, Indonesia. Saya tidak boleh mengikuti Korea Selatan karena tubuh saya belum sampai di sana, walaupun besoknya saya akan berada di sana. Jadi tahun ini saya mengalami dua kali 1 Ramadhan. Sabtu adalah 1 Ramadhan 1 versi Indonesia, sedangkan Ahad adalah 1 Ramadhan saya versi Korea.
Kami berdelapan akan punya malam ganjil sendiri jika mengikuti hitungan kami dari Jakarta. Sedangkan jika mengacu pada hitungan para pemeluk Islam di Korea Selatan, hitungan ganjil mereka adalah hitungan genap bagi kami.
Jadi, jika malam lailatul qadar itu kebanyakan jatuh di malam ganjil, maka ganjilnya saya ikut hitungan saya, atau ikut orang-orang Korea?