Kata orang Jawa, ‘hidup itu sawang sinawang’. Menjalani hidup kadang terlihat lebih berat dari
pada yang tampak di mata orang lain yang melihatnya. Hukum sawang sinawang itu juga berlaku bagi mereka yang menjalani
Ramadhan di Australia, yang ada enaknya juga tidak enaknya.
Bisa dikata, melaksanakan
ibadah puasa di Australia yang bertepatan dengan musim dingin banyak
untungnya. Pertama karena waktunya yang relatif lebih
pendek dibanding Indonesia. Durasi puasa di sana hanya sekitar 12 jam, di mulai
jam 05.00 pagi dan ditutup sekitar jam 05.00 sore. Satu jam lebih pendek dibanding
durasi berpuasa di Indonesia.
Lalu keuntungan yang kedua adalah karena puasa dilaksanakan
pada musim dingin, yang artinya kita tidak perlu kuatir pada terik matahari
yang sering membuat kita semakin haus. Suhu tertinggi Australia apalagi Canberra
saat musim sekitar 16 derajat celcius.
Berbeda dengan Indonesia yang mencapai 33 derajat celcius.
Namun sebenarnya puasa di sana tidak melulu enak. Sewaktu penulis
hidup di Canberra sepanjang tahun 2015 hingga 2016, rasa tidak enak hidup di
sana juga banyak rupa dan jenisnya. Yang sederhana misalnya, kangen suara adzan.
Saya hampir tidak pernah mendengar suara adzan di sana. Satu-satunya sumber adzan
adalah dari Masjid Canberra yang terletak di Yarraramla di Selatan Ibu Kota,
yang jaraknya sekitar belasan kilometer dari tempat saya tinggal di kampung O’Connor
di bagian utara kota. Karena tak ada adzan, maka warga di sana menyiasatinya dengan
mendownload aplikasi adzan.
Kedua, jangan berharap Anda akan menemukan orang menjual
gorengan dan kolak pisang di pinggir jalan seperti umum ditemukan di seluruh sudut
Jakarta selama bulan puasa. Selain karena ketatnya aturan yang diterapkan pemerintah
negara Kangguru ini terhadap hal yang berhubungan dengan makanan, juga karena
tak umum bagi mereka untuk jualan di pinggir jalan, apalagi pada musim dingin. Maka
cara alternatif untuk menyantap aneka gorengan dan jajanan pasar tanah air
adalah dengan memesan pada orang Indoenesia agar membuatkannya untuk Anda.
Ketiga, ini yang paling menyedihkan dari puasa di sana,
adalah waktu lebaran. Tidak ada kekhususan bagi hari besar umat islam ini. Jadi
jika lebaran jatuh pada hari kerja biasa, maka aktivitas ‘harus’ berjalan masih
berjalan seperti hari biasa. Pada titik itu, saya pikir benar bahwa Indonesia
lebih toleran dalam urusan hari besar pada seluruh agama yang ‘resmi’.
Jadi menggelar puasa di Canberra atau Australia umumnya
tidak mesti lebih bahagia dari pada berpuasa di tanah air. Apalagi pada lebaran
kita tidak bisa sungkem sama orang tua dan keluarga besar. Jadi menurut Anda enak
mana berpuasa di Australia atau Indonesia?