Internasional

Enak Tak Enak Puasa di Australia

Senin, 28 Mei 2018 | 15:00 WIB

Enak Tak Enak Puasa di Australia

Mahasiswa Indonesia di Depan Opera House Sydney Australia

Kata orang Jawa, ‘hidup itu sawang sinawang’. Menjalani hidup kadang terlihat lebih berat dari pada yang tampak di mata orang lain yang melihatnya. Hukum sawang sinawang itu juga berlaku bagi mereka yang menjalani Ramadhan di Australia, yang ada enaknya juga tidak enaknya.

Bisa dikata, melaksanakan ibadah puasa di Australia yang bertepatan dengan musim dingin banyak untungnya. Pertama karena waktunya yang relatif lebih pendek dibanding Indonesia. Durasi puasa di sana hanya sekitar 12 jam, di mulai jam 05.00 pagi dan ditutup sekitar jam 05.00 sore. Satu jam lebih pendek dibanding durasi berpuasa di Indonesia.

Lalu keuntungan yang kedua adalah karena puasa dilaksanakan pada musim dingin, yang artinya kita tidak perlu kuatir pada terik matahari yang sering membuat kita semakin haus. Suhu tertinggi Australia apalagi Canberra saat musim sekitar 16 derajat celcius. Berbeda dengan Indonesia yang mencapai 33 derajat celcius.

Namun sebenarnya puasa di sana tidak melulu enak. Sewaktu penulis hidup di Canberra sepanjang tahun 2015 hingga 2016, rasa tidak enak hidup di sana juga banyak rupa dan jenisnya. Yang sederhana misalnya, kangen suara adzan. Saya hampir tidak pernah mendengar suara adzan di sana. Satu-satunya sumber adzan adalah dari Masjid Canberra yang terletak di Yarraramla di Selatan Ibu Kota, yang jaraknya sekitar belasan kilometer dari tempat saya tinggal di kampung O’Connor di bagian utara kota. Karena tak ada adzan, maka warga di sana menyiasatinya dengan mendownload aplikasi adzan.

Kedua, jangan berharap Anda akan menemukan orang menjual gorengan dan kolak pisang di pinggir jalan seperti umum ditemukan di seluruh sudut Jakarta selama bulan puasa. Selain karena ketatnya aturan yang diterapkan pemerintah negara Kangguru ini terhadap hal yang berhubungan dengan makanan, juga karena tak umum bagi mereka untuk jualan di pinggir jalan, apalagi pada musim dingin. Maka cara alternatif untuk menyantap aneka gorengan dan jajanan pasar tanah air adalah dengan memesan pada orang Indoenesia agar membuatkannya untuk Anda.

Ketiga, ini yang paling menyedihkan dari puasa di sana, adalah waktu lebaran. Tidak ada kekhususan bagi hari besar umat islam ini. Jadi jika lebaran jatuh pada hari kerja biasa, maka aktivitas ‘harus’ berjalan masih berjalan seperti hari biasa. Pada titik itu, saya pikir benar bahwa Indonesia lebih toleran dalam urusan hari besar pada seluruh agama yang ‘resmi’.

Jadi menggelar puasa di Canberra atau Australia umumnya tidak mesti lebih bahagia dari pada berpuasa di tanah air. Apalagi pada lebaran kita tidak bisa sungkem sama orang tua dan keluarga besar. Jadi menurut Anda enak mana berpuasa di Australia atau Indonesia?

Ahmad Rozali 


Terkait