Internasional

Jejak Islam di Kamboja (4): Sebab Mak Lampir, Pemuda Ini Nyantri ke Magelang

Rabu, 22 November 2017 | 23:03 WIB

Phnom Penh, NU Online
Pada tulisan bagian ini,saya akan memaparkan sekelumit kisah seorang pemuda asli keturunan Kamboja yang nyantri ke Indonesia, tepatnya di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin, Magelang, Jawa Tengah. Santri itu bernama Nashirin Syamsuddin.

Ia bersama Ustadz Amir bin Ismail mengurus Masjid Al-Jamee’ Al-Islam di ibu kota Phnom Penh, sebagaimana yang pernah saya ulas tentang sejarah perkembangan Islam dan tradisi Aswaja di tulisan bagian satu dan dua.

Saya mengenal Nashirin dari Ustadz Amir usai menunaikan shalat JUMAT (17/11) di Masjid Al-Jamee’. Saat itu jamaah berkumpul di bagian luar masjid untuk menikmati jamuan makan berupa gulai kambing dalam rangka tolak bala’ di akhir bulan Shafar.

Di tengah keramian itu, saya bertanya dengan bahasa Inggris, Ustadz Amir langsung bertanya balik, “Dari Indonesia?”

Saya langsung menjawab, “Iya saya dari Indonesia. Anda dari Indonesia juga?” Ustadz Amir mengaku asli dari Kamboja, hanya saja dia memang  bisa bahasa Melayu.

“Dia itu pernah mondok di Indonesia,” kata Ustadz Amir sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah pria yang sedangkan menyantap gulai halal, makanan yang sulit saya dapatkan di Kamboja. Seketika setelah jamuan makan selesai, saya langsung berkenalan dan mengajak bicara kesana-kemari tentang pengalaman masing-masing.

Nashirin mengisahkan bahwa ada seorang bernama kiai Muchlasin asal Magelang pernah ke Malaysia, dan disana kiai itu berjumpa dengan kakaknya Nashirin. Singkat cerita, kakaknya bersama 17 orang lainnya datang ke Indonesia, sebab mereka tertarik untuk mondok di Sirojul Mukhlasin, Magelang.

Tidak lama berselang, pada tahun 2009 Nashirin tanpa ragu juga mau berangkat mondok ke Indonesia setelah diajak oleh kakaknya. Namun ia mengaku sejak kecil memang sudah mendengar bahwa Indonesia terkenal alim-alim. Dalam benaknya, ada rasa ingin tahu tentang pendidikan Islam di Indonesia, apalagi didorong minat sebab saat kecil ia sering menonton drama di televisi asal Indonesia yang berjudul Misteri Gunung Merapi.

"Dulu di sini terkenal Mak Lampir, saya lupa judulnya. Kayaknya Misteri Gunung Berapi ya? Saya tertarik sekali, apalagi dalam film itu ada orang baca Al-Qur'an. Karena di sini tidak ada film yang orang membaca Al-Qur'an. Gara-gara film itu saya ingin ke sana (Indonesia, red)," ungkap Nashirin yang membuat saya tercengang karena terheran-heran sambil ketawa pelan lebar.

Kenangan Mondok
Dalam kenangannya dulu ketika mondok di Magelang, ia banyak belajar berbagai judul kitab kuning, seperti halnya kitab Jurumiyah, Qawaidul I'rob, Alfiyyah Ibn 'Aqil."Dulu disana saya suka ngaji kitab 'Asmawi (Khasiyah kitab Jurumiyah)," kenangnya dengan bahasa Melayu yang cukup lancar.

Ia mengungkapkan bahwa pesantren Indonesia itu luar biasa. Ia mengumpamakan jika ada orang sudah nyantri di Indonesia lalu melanjutkan di Kamboja itu bukan levelnya. Dan memang seharusnya melanjutkan ke Mesir ataupun Arab, nanti levelnya akan naik.

"Waktu saya di sini, saya merasa di sini semacam sudah tahu banget. Pas di Indonesia, saya kok merasa bodoh banget ya. Soalnya di sana orangnya alim-alim. Ilmu ustadz di sini dengan di Indonesia itu sangat jauh sekali,” papar Nashirin yang saat itu memakai baju koko, sarung dan peci putih.

Perihal pandangannya tentang karakter ulama Indonesia, Nashirin menilai kiai-kiai di Indonesia sangat ramah dan tidak suka marah-marah.Ia juga suka dengan metode membaca kitab yang menggunakan logat jawa, seperti tradisi memaknai utawi iki iku.

Sekembali ke Kamboja pada tahun 2014, ia dan beberapa santri asal Kamboja lainnya saat ini sudah menyebar di berbagai penjuru negeri Kamboja, terutama di madrasah-madrasah atau kalau di Indonesia disebut sebagai pondok pesantren.

Saat ini Nashirin menjadi pembina di madrasah Jami’ul Muslim, sebuah pesantren di tengah kota Phnom Penh yang fokus untuk menghafalkan Al-Qur’an. Selain itu, ia menceritakan bahwa muslim di Kamboja kesulitan mencari akses dan keterbatasan tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam.

“Kalau ada tempatnya, saya berani menerima hingga 100 santri di sini,” harapnya. (M. Zidni Nafi’, santri asal Qudsiyyah Kudus, peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri 2017 dari Kemenpora RI)


Terkait