Internasional

Menu Asraty ala Uzbekistan dan Khuf di Korea Selatan

Selasa, 18 Maret 2025 | 13:00 WIB

Menu Asraty ala Uzbekistan dan Khuf di Korea Selatan

Masjid Al-Furqan, masjid kecil di Seonnam, Korea Selatan. (Foto: NU Online/Ahmad Mundzir)

Perjalanan sering kali membawa kita pada penemuan-penemuan hal-hal baru yang tak terduga, bahkan di tempat yang paling tidak kita sangka. Bisa jadi hal yang baru tersebut bagi sebagian orang lain dianggap biasa-biasa saja karena sudah menjadi kebiasaan mereka. Begitulah yang saya alami ketika berkunjung ke Masjid Al-Furqan, masjid kecil di Seonnam, Korea Selatan, sebuah negara yang dikenal dengan hampir seluruh penduduknya tidak beragama Islam.


Sore itu, bertepatan pada Kamis (13/3/2025) seusai saya menjalankan kegiatan bersama teman-teman baru saya - Widianto, laki-laki asal Jember yang telah lama menetap di Korea, dan Sufyan, pria asal Jawa Barat - kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama. Kami menuju sebuah rumah makan halal yang beralamatkan di Jalan Naseon-ro 1023, Desa Seonnam, Kabupaten Seongju, Provinsi Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan.


Lantai dasar bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian: toko elektronik yang menjual komputer, CCTV, AC, dan peralatan elektronik. Di sampingnya terdapat rumah makan dengan logo halal dalam huruf Arab dan berdampingan dengan tulisan nama restoran "TOSHKENT". Di bawah tulisan itu, terdapat tulisan dalam alfabet Hangeul “토스켄트”.  Tashkent tentu merujuk pada nama ibu kota Uzbekistan. Jika melihat tanda-tanda ini, warung ini hampir bisa dipastikan sebagai warung milik orang Uzbekistan. 


Di pintu masuk, tertempel pemberitahuan dalam tiga bahasa, Uzbek, Korea, dan bahasa Inggris. Ramazon oyi munosabati bilan kunduz kunlari oshxonamizni ishlatmaymiz (salam sejahtera, rahmat Allah, dan berkah-Nya. Selama bulan Ramadhan, kami tidak membuka restoran pada siang hari.” Di situ ada tulisan tangan tambahan dalam Bahasa Uzbek yang artinya “Restoran buka mulai pukul 16:00 (jam 4 sore).”


Kami bertiga mulai masuk ke dalam rumah makan dengan menekan tombol “push”, kemudian pintu otomatis terbuka. Ruangan restoran ini tampak sederhana namun nyaman, dengan suasana yang hangat. Meja-meja kayu kecil tersusun rapi, dilengkapi kursi-kursi berwarna hijau yang memberikan kesan alami dengan jumlah 7 ruang partisi.


Pemilik warung sengaja membuat sekat-sekat rotan yang menambah nuansa tradisional sekaligus memberikan privasi bagi pengunjung. Lantai restoran terlihat bersih, dan pencahayaan dari lampu-lampu putih di langit-langit memberikan kesan terang yang menenangkan. Di bagian belakang tampak orang-orang Uzbekistan dan kru warung sedang menikmati berbuka puasa. 


Tidak berselang lama dari saya masuk, terdapat dua orang berkulit hitam, salah satunya mengenakan pakaian US Army yang juga hendak berbuka puasa. Aku tidak heran, tidak jauh dari lokasi kami makan ini terdapat pangkalan militer Amerika Serikat berada.

 

Saya berulang kali bertemu dengan tentara Amerika saat saya memasuki restoran. Menurut dugaan saya, tidak sedikit tentara Amerika yang ditempatkan di Korsel ini beragama Islam. Di masjid tempat saya tinggal juga pernah ada tentara Amerika yang ikut beribadah shalat Jumat.


Saya memilih duduk di barisan meja lajur kiri karena tampak lebih luas. Kursinya pakai kursi panjang, bukan di sebelah kanan yang kursinya satu orang satu kursi. Kami langsung disodori beberapa menu makanan. Mataku langsung tertuju dengan menu bertuliskan Asraty. Menu ini memang menu yang kami tuju sesuai dengan rekomendasi teman saya, Widi.


Sejurus kemudian, kami disuguhi menu buka puasa berupa air putih dan makanan yang menurut dugaan saya bernama "saltoh", makanan pembuka khas Yaman yang terdiri dari adonan tepung, roti, sayuran, dan rempah-rempah pedas. Saya meyakini kalau sajian ini bernama “saltoh” karena salah satu pramusajinya mengenalkan diri berasal dari Yaman Utara.


Sembari menunggu hidangan pesanan tersaji, kami naik ke lantai dua untuk menunaikan shalat Maghrib di Masjid Al-Furqan. Kami keluar warung lalu berjalan ke arah kanan kemudian naik ke arah masjid. Kami menaiki 14 anak tangga bersela satu bordes dengan pembagian 11 anak tangga di bawah dan 3 anak tangga di atas bordes.


Saya tidak merasa perlu ambil air wudhu karena saya masih punya wudhu dari shalat Ashar saya tadi. Ketika imam memimpin shalat, saya menyimak bacaan fatihahnya fasih. Ia tidak membaca basmalah dengan keras. Tampaknya dia pengikut mazhab Hanbali, mazhab paling banyak diikuti oleh Muslim Uzbek.


Setelah fatihah, ia membaca QS. As-Shaf, juz 28 sebanyak sekitar 7 ayat di rakaat pertama dan sekitar 2 ayat di rakaat kedua. Saya merasa dapat oase di tengah perjalan di Korea Selatan yang penduduk muslimnya tidak sampai 1 persen dari total penduduk. Ini saya menemukan masjid dengan imamnya sefasih ini. Kalau hal ini saya menemukan di Indonesia atau di negara Islam, itu biasa rasanya, tapi ini di Korsel.


Tidak lama kemudian, mata saya tertuju pada sesuatu yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Benda itu bernama khuf atau selop yang dipakai imam Uzbek itu. Bukannya saya tidak pernah melihatnya sama sekali. Saya berulang kali memegang benda yang mirip dengan kaos kaki ini sewaktu masih nyantri dulu di Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah. 


Namun, hanya memegang, belum pernah mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini, saya hanya mengenal khuf dari pelajaran fiqih di pesantren sebagai teori, menganggapnya sebagai artefak sejarah yang tidak lagi digunakan di zaman modern ini.


Khuf adalah alas kaki berbahan kulit yang memungkinkan pemakainya untuk tidak membasuh kaki saat berwudhu. Pemakainya cukup dengan mengusap bagian luarnya saja, tanpa harus melepasnya saat berwudhu. Di antara aturannya, khuf yang boleh digunakan adalah yang tidak tembus air dan tidak rapuh saat digunakan berjalan.


Apabila ada orang di dalam rumahnya memakai khuf dalam keadaan suci (sudah mempunyai wudhu), maka selama 24 jam terhitung sejak ia batal wudhu setelah ia memakainya, ia boleh tidak melepas khuf sama sekali. Dispensasinya, ketika berwudhu, ia cukup mengusap luarnya saja. Berbeda jika bagi orang yang sedang perjalanan, durasi melepasnya bahkan tidak 24 jam, tapi 3 x 24 jam.


Bagi saya yang orang Indonesia dan di pesisir, tidak pernah merasa perlu memakai sepasang khuf (khuffain) itu, karena tidak ada kebutuhan memakainya. Seberapa susahnya melepas alas kaki ketika wudhu. Menurut saya tidak susah-susah amat. 


Namun, bagi orang yang berada di wilayah musim dingin, bersentuhan air sehari lima kali bisa jadi problem bagi mereka. Setidaknya, ketika mereka hendak berwudhu, hanya perlu membasahi muka dan kedua tangan di atas wastafel saja sudah cukup. Sedangkan sebagian kepala dan kaki diusap saja, itu sudah cukup.


Yang aneh dan anugerah adalah saya belajar di pesantren sejak kecil, menjelaskan khuf panjang lebar, tapi saya mendapatkan orang mempraktikkan pemakaian khuf justru di ‘negara atheis’. Saya mencari khuf di Saudi ketika umrah untuk saya beli pun, belum pernah mendapatkan. Di Korsel malah ada yang menjualnya juga.


Kami telah selesai menunaikan ibadah shalat maghrib di ruangan masjid bersama dengan sekitar 9 orang lain. Kami shalat di atas karpet bermotif garis-garis yang membentang rapi, dilengkapi dengan pencahayaan terang dari lampu di langit-langit.


Setelah jamaah, beberapa orang terlihat sedang melaksanakan ba’diyah maghrib. Saya mencoba menengok ke sebelah kiri ruangan. Di sana terdapat perpustakaan kecil dengan rak-rak berisi buku-buku Islami, termasuk Al-Qur'an, buku doa, dan literatur keagamaan lainnya dalam bahasa Uzbek.


Hanya ada 2 buku terbitan Indonesia yaitu buku Iqra’ karya KH As’ad Humam. Di dekat rak, terdapat beberapa jam dinding yang menunjukkan waktu dari berbagai zona waktu, memberikan suasana yang terorganisir dan mendukung kebutuhan ibadah umat Muslim.


Kami lalu turun dan kembali ke meja makan. Tidak berselang lama, Asraty yang kami pesan disajikan dari pelayan asal Pakistan. Setiap piring disajikan di atas alas kayu, terdiri dari nasi briyani berbumbu dengan daging dan satu telur puyuh, ayam panggang berwarna keemasan, kentang goreng yang dihiasi saus, serta sayuran segar seperti mentimun dan wortel parut.


Kami menikmati hidangan lezat ini. Selamat berbuka puasa!