Internasional

Mungkinkah Kerusuhan akan Terjadi Jika Trump Kalah?

Rabu, 6 November 2024 | 06:00 WIB

Mungkinkah Kerusuhan akan Terjadi Jika Trump Kalah?

Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump. (Foto; Instagram Donald Trump)

Chicago, NU Online

Pemilu Amerika Serikat pada November 2024 memicu kekhawatiran tentang potensi kerusuhan jika Donald Trump kalah. Berbagai sumber memperingatkan bahwa kekalahan tipis atau penolakan Trump untuk menerima hasil pemilu bisa memicu kekerasan. 


“Saya kira tidak bakal terjadi. Sebab, pihak keamanan pasti akan langsung bertindak," kata Ikram Amal, pemerhati politik Amerika Serikat, kepada NU Online pada Senin (4/11/2024) malam.


Kemungkinan itu memang bisa saja terjadi sebagaimana pada 6 Januari 2021 lalu, para pendukung Trump menyerbu Gedung Capitol AS. "Mereka mungkin saja melakukan itu, cuma separah apa nanti saya belum tahu pasti,” ujar Elena, pemerhati Kebijakan Publik, dari Universitas Chicago, kepada NU Online pada beberapa waktu lalu.


Para ahli keamanan dan analis politik mengatakan bahwa ketegangan ini merupakan akibat dari retorika Trump dan pengaruhnya yang mendalam terhadap Partai Republik serta pemilih Amerika.


Menurut artikel The Times yang ditulis oleh Tom Newton Dunn, ada kekhawatiran tentang “kecenderungan menuju pemberontakan nasional berkelanjutan” jika Trump kalah dalam pemilu. Profesor Barbara F. Walter dari Universitas California di San Diego, salah satu pakar perang saudara terkemuka, memperingatkan bahwa AS sedang memasuki periode “minggu dan bulan yang benar-benar berat.”


Dalam hal kekerasan pasca-pemilu, “Kami benar-benar memeriksa semua kemungkinan,” ujarnya menyebut kondisi saat ini sebagai “ketenangan sebelum badai” dan memprediksi bahwa AS bisa melihat kembali bulan-bulan ini sebagai awal dari konflik yang lebih besar.


Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. USA Today, dalam artikel yang ditulis oleh Zac Anderson dan David Jackson, melaporkan bahwa Trump tidak hanya mengubah Partai Republik menjadi lebih ekstrem, populis, dan kelas pekerja, tetapi juga mengabaikan norma-norma demokrasi yang selama ini menjadi landasan politik Amerika.


“Trump tidak peduli dengan aturan, dia tidak percaya aturan berlaku untuknya,” kata Ty Cobb, mantan pengacara di Gedung Putih Trump, yang kini menjadi kritikus, sebagaimana dilansir USA Today.


Cobb juga menyoroti bagaimana pengaruh Trump dapat bertahan lama, terlepas dari hasil pemilu, karena telah menormalisasi retorika yang sebelumnya bisa mendiskualifikasi politisi dari pencalonan.


Menurut laporan dari International SOS, salah satu perusahaan manajemen risiko terbesar di dunia, skenario terburuk adalah kerusuhan yang dipicu oleh protes massa terhadap hasil pemilu. Laporan ini menyebutkan bahwa gedung-gedung pemerintah dan pusat-pusat pemilu di beberapa negara bagian yang krusial, seperti Pennsylvania, Georgia, dan Arizona, berisiko mengalami kekacauan dan serangan dari pendukung yang tidak puas.


The Times menambahkan bahwa International SOS telah memberi tahu kliennya bahwa dua minggu setelah pemilu, yaitu 5-19 November, merupakan periode berisiko tinggi.


Mike Rogers, analis keamanan utama di International SOS, menyatakan bahwa “Pihak berwenang telah melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam menyusup ke sejumlah kelompok ekstremis dan membongkarnya.” Namun, ia juga memperingatkan kemungkinan serangan dari individu tanpa jejak digital yang bisa memicu aksi kekerasan yang lebih luas.


Retorika Trump mengenai “kecurangan” dalam pemilu juga menjadi sorotan. USA Today melaporkan bahwa retorika ini telah mengikis kepercayaan terhadap sistem pemilu di kalangan jutaan warga Amerika. 


Hasil jajak pendapat USA Today/Suffolk University pada Januari menunjukkan bahwa 67 persen pendukung Trump tidak percaya bahwa Presiden Joe Biden terpilih secara sah, dan 52 persen ragu bahwa hasil pemilu 2024 akan dihitung secara akurat. Kondisi ini membuat kepercayaan publik sulit dipulihkan jika Trump terus mempertanyakan hasil pemilu jika ia kalah.


Dalam beberapa bulan terakhir, retorika Trump yang semakin keras, bahkan menyebut lawan-lawan politiknya sebagai “musuh dari dalam” dan “hama,” memicu kekhawatiran bahwa bahasa yang menghasut ini dapat diterima secara luas dalam Partai Republik. 


Gwenda Blair, penulis biografi Trump, mengatakan kepada USA Today, “Apa yang dia tunjukkan adalah bahwa tidak masalah menghancurkan seseorang, memelintir lengan mereka, dan mendapatkan sorakan dari orang-orang untuk itu, itu sangat menarik bagi banyak orang.


Sementara itu, jajak pendapat veteran dari Partai Republik, Frank Luntz, juga menyoroti ketegangan dalam tubuh Partai Republik jika Trump kalah. “Jika Trump kalah, ‘akan ada banyak penyesalan dan tuding-menuding yang akan dimulai segera,’” kata Luntz, dilansir dari USA Today.


Baik menang maupun kalah, pengaruh Trump tampaknya akan terus bertahan di Partai Republik. Begitu juga The Lincoln Project, sebuah kelompok anti-Trump, menegaskan bahwa pengaruh Trump akan tetap ada meskipun dia kalah.


“Ketika Trump hilang, noda yang ditinggalkannya akan tetap ada pada Partai Republik yang tunduk pada impian fasisnya. Itu sebabnya kita harus terus berjuang, bahkan setelah Selasa,” seperti dilansir dari akun X The Lincoln Project.