Pengakuan Eks-Tahanan Uighur di Kamp Xinjiang: Dipaksa Makan Babi
Sabtu, 12 Desember 2020 | 11:00 WIB
Muslim Uighur yang pernah ditahan di ‘kamp pendidikan ulang atau kamp konsentrasi’ di Provinsi Xinjiang, China, Sayragul Sautbay, mengaku, dia dan minoritas Muslim lainnya dipaksa untuk memakan daging babi. (Iustrasi: AFP/GETTY via BBC)
Stockholm, NU Online
Muslim Uighur yang pernah ditahan di ‘kamp pendidikan ulang atau kamp konsentrasi’ di Provinsi Xinjiang, China, Sayragul Sautbay, menceritakan bagaimana dia dan minoritas Muslim lainnya dipaksa untuk memakan daging babi.
“Setiap Jumat kami dipaksa makan daging babi. Mereka sengaja memilih hari yang suci bagi umat Islam. Dan jika kamu menolaknya, maka kamu akan mendapatkan hukuman yang berat,” kata Sautbay, diberitakan Aljazeera, Jumat (4/12).
Sautbay sudah dua tahun lebih dibebaskan dari kamp pendidikan ulang, namun dia mengaku masih mengalami mimpi buruk dan kilas balik dari ‘kekerasan’ yang dialaminya selama di sana. Saat ini, dia tinggal di Swedia, menjadi seorang doktor medis dan pendidik. Baru-baru ini, ibu dua anak ini menerbitkan sebuah buku tentang pengalamannya selama di kamp konsentrasi. Dia juga menyampaikan penyaksiannya atas praktik pemukulan, dugaan pelecehan seksual, strerilisasi secara paksa, dan penghinaan lainnya yang dialami Uighur dan minoritas Muslim lainnya, termasuk pemaksaan mengonsumsi daging babi—sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam.
Menurutnya, kebijakan itu dirancang untuk menimbulkan rasa malu dan bersalah pada diri seorang Muslim. Ketika memakan daging babi, dia mengatakan susah menjelaskannya dengan kata-kata karena dia sulit menerimanya dan merasa menjadi orang yang berbeda.
“Saya merasa seperti orang yang berbeda. Di sekitarku menjadi gelap. Sangat sulit menerimanya,” tegasnya.
#Sayragul #Sautbay released a book about her experience at Chinese concentration camp (part 1). Chinese Genocide policy against the Native People of #EastTurkistan #Uygurs #Kazakhs #Kyrgyz #Uzbeks and #Tatars #IndepenceToEastTurkistan #FreeKazakhs pic.twitter.com/otlXJ9X6QQ
— FreeKazakhs (@FreeKazakhs) August 20, 2020
Lebih dari itu, lanjut Sautbay, praktik membuat Muslim memakan daging babi juga terjadi di luar kamp konsentrasi. Disebutkan, siswa di satu sekolah di Altay—sebuah kota di utara Xinjiang- juga dipaksa untuk memakan daging babi. Ketika mereka menolak dan mendemo sekolah, maka pemerintah mengirimkan tentara ke sana.
Pemerintah Xinjiang juga memulai inisiatif yang disebut ‘makanan gratis’ untuk anak-anak Muslim di taman kanak-kanak. Sajian yang disajikan di inisitif itu adalah daging babi dan anak-anak Muslim tidak mengetahuinya. Kata Sautbay, China akan menggunakan taktik yang berbeda untuk memaksa Uighur dan populasi Muslim lainnya memakan babi.
Muslim Uighur Eks-tahanan kamp Xinjiang lainnya, Zumret Dawut, kurang lebih juga mengalami hal yang sama. Dia ‘dijemput’ pada Maret 2018 di Urumqi, kota kelahirannya. Dia mengaku mengalami penghinaan dan kekerasan ketika di sana, seperti ditampar wajahnya setelah dia membuat interogatornya tidak senang. Petugas menanyainya banyak hal, seperti hubungannya dengan Pakistan—tanah air suaminya, jumlah anak dan kegiatannya—apakah belajar Al-Qur’an atau tidak.
Menurutnya, dirinya berulang kali mendapatkan jatah makan daging babi. “Ketika kamu di kamp konsentrasi, kamu tidak memutuskan apakah makan atau tidak. Untuk bisa hidup, kami harus memakan daging yang disajikan kepada kami,” terang pebisnis Uighur yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS) ini.
Seorang antropolog Jerman dan sarjana Uighur, Adrian Zenz, mengatakan, ada upaya aktif untuk mempromosikan dan memperluas peternakan babi di wilayah tersebut. Merujuk pada sebuah artikel yang diterbitkan pada Mei lalu, Zenz menyebut, ada sebuah peternakan baru—yang diproyeksikan menempati lahan seluas 25 ribu meter persegi- di wilayah Kashgar Selatan yang bertujuan untuk menghasilkan 40 ribu babi setiap tahunnya.
Peternakan babi ini bukan dimaksudkan untuk diekspor, tetapi untuk memastikan pasokan daging babi di wilayah Kashgar, yang 90 persen dari total populasi adalah Muslim Uighur. Zenz menilai, ini merupakan upaya untuk memberantas secara penuh budaya dan agama orang-orang di Xinjiang.
“Ini merupakan bagian dari strategi sekularisasi, yang mengubah orang-orang Uighur menjadi sekuler dan mengindoktrinasi mereka untuk mengikuti Partai Komunis dan menjadi agnostik atau ateis,” lanjutnya.
Pemerintah China tidak bicara banyak tentang masalah ini, meski berbagai publikasi yang dikendalikan negara mempertanyakan kredibilitas Sautbay dan Dawut ketika mereka membuat tuduhan pelanggaran di Xinjiang. Di samping itu, China menuduh antropolog Jerman dan sarjana Uighur, Adrian Zenz, telah memalsukan fakta dan data. Zenz dituduh memilih kaitan dengan faksi ‘sayap kanan’ pemerintah AS.
Beijing membela kebijakannya di wilayah Xinjiang. Otoritas China menyebut, pendekatan itu diperlukan untuk melawan tiga kejahatan, yaitu ekstremisme, terorisme, dan separatisme, menyusul kerusuhan mematikan di ibu kota Urumqi pada 2009 lalu.
“Tapi demikian masih ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme,” kata Dubes China untuk Indonesia Xiao Qian melalui penerjemahnya, ketika berkunjung ke Gedung PBNU, Jakarta pada 24 Desember 2018 lalu.
Otoritas China juga membantah adanya kamp pendidikan ulang di mana lebih dari sejuta orang ditahan di dalamnya, sebagaimana dituduhkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebaliknya, China menyebut bahwa pihaknya tengah menyelenggarakan pusat kejuruan untuk melatih kembali warga Uighur dan mengajari mereka keterampilan baru untuk mendapatkan pekerjaan.
“Dan mendapatkan pendapatan yang stabil,” lanjutnya.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad