Internasional

Protes Rakyat Guncang Rezim di Tunisia

Selasa, 12 Februari 2013 | 10:32 WIB

Jakarta, NU Online
Puluhan ribu warga Tunisia, Jumat lalu, meratapi kematian politisi oposisi sekuler Chokri Belaid dan menuntut lengsernya pemerintah Islamis yang didukung AS itu.
<>
Pemogokan seharian penuh yang diorganisir oleh Serikat Pekerja Umum Tunisia (UGTT) itu telah menutup pabrik, bank, perkantoran, sekolah dan toko-toko di ibukota dan kota-kota lainnya. Tunis Air, perusahaan penerbangan milik negara, membatalkan semua jadwal penerbangannya. Tapi layanan bus teta berjalan.

Ini adalah pemogokan bersama pertama kalinya di Tunisia sejak 35 tahun terakhir.

Belaid, 48 tahun, seorang anggota terkemuka dari Gerakan Patriots Demokratik beraliran kiri-liberal, salah satu dari 12 partai yang membentuk koalisi Front Rakyat, ditembak dan tewas hari Rabu, 6 Febuari, ketika ia meninggalkan rumahnya di distrik Jebel al-Jaloud dan menuju tempat kerjanya. 

Dia ditembak mati oleh seorang pembunuh yang melarikan diri mengendarai sepeda motor.

Tak ada yang diuntungkan dari pembunuhan ini. Namun janda Belaid menuduh pemerintah Partai Ennahda berkolusi dengan kaum sayap kanan Salafis untuk membunuh suaminya.

Selama ini Belaid adalah pengkritik tajam Ennahda, turunan dari organisasi Ikhwanul Muslimin. Partai Islamis ini dikritik karena dianggap mencuri revolusi. Mereka telah membiarkan kaum Salafis menyerang bioskop, teater, bar dan kelompok sekuler dalam beberapa bulan terakhir. Belaid pun tahu ia menjadi target ancaman pembunuhan berulang kali, dan telah meminta perlindungan kepolisian.

Lebih dari 50 ribu orang berkumpul di dekat rumah Belaid, Jumat lalu, dan berbaris ke pemakaman Jallaz, tempat Belaid dimakamkan. Slogan-slogan revolusioner dan antipemerintah diteriakkan. “Rakyat ingin revolusi baru” dan “Rakyat ingin rezim ini mundur,” teriak mereka.

Tak ketinggalan para pelayat juga membentangkan poster “Roti, Kebebasan dan Keadilan sosial," yang menyerupai slogan utama revolusi 2011 lalu. Di pemakaman, demonstran menyebut Rachid Ghannouchi, seorang pemimpin Ennahda, sebagai “pembunuh.” Demontrasi ini juga mendorong sentimen anti-Islam 

Yang menakutkan, seorang pejabat Ennahda segera muncul di televisi Al Jazeera dan menyalahkan kekerasan itu sebagai produk “tangan asing” dan menyatakan bahwa “ada aparat intelijen asing yang beroperasi di Tunisia.”

Dua helikopter meraung-raung di angkasa. Pemerintah mengerahkan tentara, bukan polisi keamanan yang seringkali dibenci, untuk membendung pawai besar. Namun, polisi menembakkan gas air mata pada pengunjuk rasa di pinggiran pawai dan terhadap demonstran yang berbaris menuju Kantor Kementerian Dalam Negeri. Seorang juru bicara kementerian mengatakan polisi menangkap 150 demonstran di Tunis.

Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa antipemerintah di kota Gafsa bagian selatan, pusat industri pertambangan penting Potas di kabupaten itu dan terhadap kubu pendukung Belaid. Di Sousse, pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri gubernur provinsi tersebut.

Sekitar 10 ribu demonstran berbaris di Sidi Bouzid, kota selatan yang dikenal sebagai tempat kelahiran revolusi Tunisia. Di sanalah, pada Desember 2010, Mohamed Bouazizi membakar dirinya sebagai protes atas penyitaan gerobak sayurnya oleh polisi. Kematian Bouazizi ini memicu ledakan protes massal dan pemogokan oleh Serikat Pekerja (UGTT) yang pro-rezim dan menyebabkan diktator Zine al-Abidine Ben Ali  yang didukung AS melarikan diri pada bulan berikutnya.

Hanya seminggu kemudian, sebuah revolusi pecah di Mesir, yang menyebabkan jatuhnya Hosni Mubarak yang didukung AS dan Israel. Letusan protes saat ini di Tunisia, yang paling gegap gempita sejak peristiwa akhir 2010 dan awal 2011 lalu, terjadi hanya beberapa hari menjelang tahun kedua jatuhnya Mubarak.

Pembunuhan Belaid membuat negara itu terkaget-kaget. Peristiwa itu pun jadi pemicu ledakan kemarahan sosial yang terpendam lama setelah Partai Ennahda berkuasa. Sumber kemarahan itu tidak hanya tindakan represi pihak kepolisian dan kekerasan yang dilancarkan kaum Salafis terhadap lawan-lawannya. Lebih dari itu, kekerasan berasal dari pengangguran massal dan kemiskinan yang melilit rakyat dan akhirnya memicu perlawanan kelas pekerja dulu yang menggulingkan Ben Ali lebih dari dua tahun yang lalu.

Pertaruangan Politik
Sebagaimana diketahui pemerintahan Tunisia dibentuk oleh koalisi besar yang dipimpin oleh Partai Islam Ennahda untuk membentuk pemerintah mayoritas. Koalisi tersebut terdiri dari Ennahda, Kongres untuk Republik (CPR) dan Partai Ettakol. Ennahda menempatkan sekjen partai, Hamadi Jebali sebagai perdana menteri, sementara itu CPR yang merupakan pemenang pemilu kedua setelah Ennahda mendudukkan Moncef Marzouki sebagai Presiden Tunisia.

Rezim Islam di Tunisia, seperti rezim Mursi Ikhwanul Muslimin di Mesir, adalah sebuah rezim borjuis yang didukung oleh Washington. Pemerintah Ennahda mendukung perang yang dilancarkan AS-NATO untuk perubahan rezim di Libya. Saat ini negosiasi persyaratan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) tengah berlangsung, yang mencakup langkah-langkah penghematan yang akan menyasar nasib para pekerja Tunisia.

Beberapa jam setelah berita pembunuhan Belaid, Rabu lalu, sebuah barikade terjun di Tunis dan massa menyerang kantor Ennahda di 12 kota. Pada Kamis, Perdana Menteri Hamadi Jebali, Sekretaris Jenderal Ennahda, mengumumkan di televisi nasional bahwa ia akan membubarkan pemerintahannya dan menggantinya dengan para teknokrat yang dianggap independen, yang akan memerintah sampai pemilu yang dijadwalkan Juni mendatang.

Pengumuman yang dimaksudkan untuk menenangkan kemarahan rakyat di atas, justeru menjadi pemicu. Ratusan pemuda menyerbu kantor polisi di pusat kota Tunis, melemparkan barang-barang furnitur dan aneka peralatan seadanya ke jalanan. Polisi menanggapinya dengan menembakkan gas air mata.

Di Gafsa, ratusan demonstran bersenjata batu dihadapi oleh polisi anti huru hara yang menembakkan gas air mata. Tentara juga dikerahkan untuk mengendalikan protes massa di Sidi Bouzid.

Krisis rezim Tunisia diperparah pada hari Kamis malam ketika usulan Perdana Menteri Jebali untuk memilih sendiri pejabat pemerintah teknokratis dan “non-partisan” ditolak oleh partainya sendiri. Partai Ennahda mengeluarkan pernyataan bahwa Tunisia membutuhkan suatu “politik pemerintah” berdasarkan hasil pemilihan umum 2011 Oktober.

Pada hari yang sama, empat kelompok oposisi: blok Front Rakyat dimana Belaid menjadi anggota, Partai An-Nidaa, Partai Al-Massar dan Partai Republik, mengumumkan bahwa mereka menarik diri dari majelis konstituante nasional dan menyerukan pemogokan umum. Namun Serikat Pekerja Umum Tunisia (UGTT), karena takut protes massal akan meningkat menjadi pergolakan baru yang lebih revolusioner, segera mendahului dengan mengumumkan pemogokan umum seharian penuh pada hari Jumat sebagai upaya untuk membendung gerakan tersebut.

Blok Front Rakyat dipimpin oleh Partai Pekerja Maois, dan diketuai oleh Hamma Hammami. Hammami dan partainya telah lama difungsikan untuk menghadang setiap gerakan politik independen dari kelas pekerja dan menjaga agar pekerja Tunisia terikat dengan faksi liberal dan sekuler dari kelas borjuasi. Mereka memainkan peran yang sama dalam krisis saat ini.

Salah satu dari empat kelompok oposisi borjuis dimana Front Rakyat bersekutu, yakni Partai Nidaa dipimpin oleh Beji Caid Essebsi, 86 tahun, adalah seorang pejabat lama di bawah rezim diktator Habib Bourguiba dan Ben Ali.

Pada hari Jumat, Perdana Menteri Jebali yang moderat mengulangi seruannya untuk mendirikan pemerintahan baru dalam bentuk yang agak berubah. Dia mengatakan tidak memerlukan persetujuan dari majelis konstituante dan dirinya yakin akan mendapat dukungan dari partainya karena ia tidak membubarkan pemerintah, tetapi hanya mengganti semua anggotanya. Tapi jika rencananya ini diblokir oleh partainya sendiri, ia mengindikasikan akan mengundurkan diri sebagai perdana menteri.

Namun pada Ahad lalu (10/2), Partai Republik (CPR) yang sekuler dimana Presiden Tunisia Moncef Marzouki berasal, telah menarik tiga menterinya karena tuntutan reshuffle cabinet pemerintah Islamis itu tidak dipenuhi. 

“Kami sudah bicara minggu lalu jika menteri luar negeri dan menteri keadilan tidak diganti, kami akan menarik diri dari pemerintah,” katanya. Rencana perombakan kabinet yang hendak diisi kaum teknokrat oleh PM Jebali telah memperdalam krisis politik Tunisia.

 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : Mh Nurul Huda


Terkait