Jakarta, NU Online
Rabia adalah seorang perempuan asal Kabul, Afganistan. Ia merupakan salah satu mahasiswi asal Afganistan yang beruntung mendapat beasiswa NU-Care LAZISNU (Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh Nahdlatul Ulama). Sekarang ia belajar di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.
Rabia datang ke Indonesia sekitar tahun 2013 bersama sekitar 17 perempuan Afganistan yang mendapatkan kesempatan yang sama. Ia mengaku sangat senang sekali bisa mendapat kesempatan belajar di negeri Islam terbesar di dunia tersebut. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang sangat luar biasa besar dan hebat karena meskipun Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, ras, bahasa dan budaya tapi bisa rukun. Ia kagum dengan Indonesia karena mereka yang berbeda tersebut bisa bersatu di bawah bendera merah putih. Semuanya rukun dan saling menghargai antarsatu dengan yang lainnya.
Selama hampir tiga tahun di Indonesia, Rabia mendapatkan banyak pengalaman tentang Indonesia. Ia mengaku sudah banyak berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia seperti candi Borobudur, Pare, ziarah ke makam Gus Dur dan tempat lainnya. Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa ia berteman dengan orang-orang non-Muslim saat di Pare, namun mereka saling menghormati dan saling membantu. Ia merasa heran karena ia belajar dengan non-Muslim dalam satu ruangan untuk belajar bahasa Inggris. Sesuatu yang tidak pernah ia temukan di negaranya. Ia belajar di Pare selama dua minggu.
Satu lagi pengalaman Rabia terkait dengan keragaman dan kerukunan masyarakat Indonesia adalah saat perayaan tahun baru. Suatu hari, ia merayakan tahun baru dan berkumpul dengan teman-teman lain. Menariknya, dan ini yang menjadi pengalam barunya, dalam perayaan itu ikut berkumpul teman-teman non-Muslim. Mereka makan bersama dan semuanya akrab dan saling menghormati. Baginya, itu hal yang sangat menarik dan luar biasa.
Di Indonesia, Rabia menilai bahwa kesempatan untuk belajar antara laki-laki dan perempuan itu sama. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi di negaranya, meski dari tahun ke tahun peran dan posisi perempuan di ruang publik semakin mendapatkan tempat dan terus berkembang.
Ia menuturkan bahwa masih banyak perempuan Afganistan yang mencicipi dunia pendidikan, apalagi sampai perguruan tinggi. Maka dari itu, dia sangat bersyukur bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Ia mengaku bahwa ia tidak tertarik dengan posisi di kedutaan, ia lebih tertarik untuk menjadi pekerja sosial. Setelah lulus nanti, ia sangat ingin kembali ke negaranya, ke kotanya, untuk memberdayakan anak-anak dan perempuan.
Rabia melihat bahwa anak-anak dan perempuan Afganistan memiliki permasalahan yang besar. Banyak anak-anak dan perempuan yang belum bisa bersekolah karena berbagai faktor diantaranya adalah adat tradisi yang melarang perempuan mengenyam sekolah, kemiskinan yang menghalang anak-anak untuk sekolah, dan lain sebagainya. Maka dari itu, ia berniat untuk menjadi pekerja sosial bagi masyarakatnya dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya.
Kondisi masyarakatnya tersebut tentu menjadi cambuk bagi Rabia. Maka tidak heran jika ia sangat bersungguh-sungguh belajar di Indonesia. Ia tidak hanya belajar tentang teori-teori hubungan internasional sebagaimana yang diajarkan di perkuliahan, ia bertekad akan belajar apapun dari Indonesia termasuk diantaranya adalah terkait dengan budaya, bahasa, tradisi, dan terutama tentang konsep Islam Indonesia yang moderat. Ia menilai bahwa Islam Indonesia sangatlah bagus dan luar biasa karena toleran dan ramah. Suatu saat jika ia sudah kembali ke negara asalnya, ia mengaku tidak akan segan-segan untuk mengajarkan dan menyebarkan Islam Indonesia. Islam yang moderat dan ramah. (Ahmad Muchlishon/Mukafi Niam)