Soal Pembakaran Al-Qur’an di Swedia, PCINU Belgia: Kebebasan Berekspresi Ada Batasnya
Senin, 23 Januari 2023 | 20:00 WIB
Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belgia, Ayang Utriza Yakin. (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta, NU Online
Nama Rasmus Paludan kembali mencuat setelah tersangkut dalam aksi demonstrasi pembakaran Al-Qur’an di luar gedung Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia pada Sabtu (21/1/2023).
Demonstrasi tersebut memprotes pemerintah Turki yang dianggap menutup pintu Swedia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Baca Juga
PBB Kecam Pembakaran Al-Qur’an di Swedia
Kantor berita Turki Anadolu Agency menyebut, Paludan melancarkan aksinya atas izin pemerintah dan perlindungan polisi. Otoritas Swedia mengizinkan aksi tersebut atas dasar kebebasan berekspresi.
Merespons hal itu, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belgia, Ayang Utriza Yakin menilai bahwa kejadian tersebut tidak berterima apapun alasannya, termasuk narasi kebebasan berekspresi.
“Hal seperti ini tidak bisa diterima atas dasar ‘kebebasan berekspresi’,” ugkap Ayang Utriza Yakin kepada NU Online, Senin (23/1/2023).
Bahwa betul Hukum Dasar Swedia dan Piagam Hak Asasi Uni Eropa menjamin hak berpendapat yang merupakan bagian dari HAM. Namun, Cendekiawan NU itu melihat bahwa aksi Islamofobia yang ditunjukkan Rasmus Paludan terlampau kelewatan.
“Kebebasan berekspresi juga ada batasannya,” tutur Peneliti di SciencesPO Bourdeaux Prancis itu dan UCLouvain, Belgia itu.
Dosen Fakultas Teologi Universitas KU Leuven, Belgia itu mengungkapkan, dalam pemahaman kebebasan berekspresi harusnya terkandung pula nilai saling menghormati.
“Salah satu batasannya adalah ia harus bertanggung-jawab dan dalam bingkai saling-menghormati,” terang pria yang menuntaskan studi master dan doktoralnya di EHESS Paris itu.
Ia melanjutnya, aksi yang dilakukan oleh politisi ekstrem-kanan Paludan itu adalah bentuk kebebasan yang tidak bertanggungjawab dan penuh kebencian terhadap Islam.
“Kenapa harus Al- Qur’an yang dibakar?” tutur pria yang sempat menjadi Visiting Professor in Arabic and Islamic Studies di Universitas Ghent, Belgia tersebut.
Ia melihat, aksi protes Paludan memang ditujukan untuk mendulang atensi masyarakat global. Al-Qur’an sebagai target bulan-bulan, tambah Ayang, dianggap Paludan mampu memuluskan tujuannya.
“Pembakaran Al- Qur’an ini tentu menyakiti perasaan masyarakat Muslim, khususnya di Swedia, dan umumnya di Eropa,” ujarnya.
Kendati demikian, Penulis buku Islam Praksis itu mengimbau agar umat Islam tidak terpancing aksi provokatif di Swedia.
“Kita tidak perlu terpancing melakukan tindakan balasan. Pun jika masyarakat Muslim mau berunjukrasa atas kejadian pembakaran Al-Qur’an ini, maka harus dilakukan dengan santun dan dalam bingkai hukum,” paparnya.
“Kita harus ajarkan ke Dunia Barat bahwa umat Islam sudah dewasa dalam menanggapi hal-hal provokatif seperti ini,” tutupnya.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin